Menjalin Cinta Dengan Paman

Paman, Menolehlah



Paman, Menolehlah

0'Tidak mati!'     

Bo Yan tercengang oleh dua kata itu, jantungnya tiba-tiba mulai berdebar keras. Matanya menatap lekat-lekat sekelompok orang itu, terus mencari. Tapi pada saat yang bersamaan, Ai Rui mendengar lagi suara dering ponsel. Dia pun bergegas mengambilnya dari helikopter.     

'Masih saja nomor tidak dikenal ini…'     

Ai Rui ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima telepon itu.     

Orang-orang itu sudah dibawa naik ke pesawat penyelamat. Bo Yan berlari ke sana, sedangkan Ai Rui hanya tertegun dengan linglung di tempatnya.     

Ai Rui terdiam setelah mengangkat telepon karena suara yang terdengar dari orang yang melakukan panggilan itu...     

'Itu jelas-jelas, jelas-jelas adalah…'     

Pada saat yang bersamaan, Ai Rui jelas merasakan napasnya sendiri berhenti.     

"Bo… Bos, telepon, telepon untukmu…!" Penuh keterkejutannya, Ai Rui bergegas mengejar sambil berteriak untuk menghentikan Bo Yan. Kemudian setelah pria itu ada di depan matanya, dia mengulurkan tangan dan memberikan ponsel itu kepadanya.     

Bo Yan melihat bahwa telepon itu sudah terhubung. Melihat sorot mata Ai Rui yang bersinar tidak sabar, seketika dia pun seolah-olah menyadari sesuatu.     

Langkah Bo Yan terhenti seketika untuk menerima telepon itu.     

Kemudian, dari ponsel terdengar suara yang samar, tapi lembut dan enak didengar. Itu adalah suara seorang gadis.     

"Halo, Paman, apakah kamu ada di sana? Apakah kamu sedang mendengarkan…?"     

Begitu mendengarnya, Bo Yan terkejut, seluruh tubuhnya seketika membeku. Tangannya yang memegang ponsel juga sedikit gemetar, bibirnya yang dingin dan tipis bergerak-gerak.     

Pada saat ini, entah mengapa Bo Yan tidak dapat mengeluarkan suara apa pun.     

Tidak ada yang memerhatikan, tapi mata Bo Yan yang dingin dan sipit itu dipenuhi dengan selapis kabut tipis.     

Kabut tipis itu sedikit membasahi matanya.     

'Dia, belum mati…?'     

'Dia bukan hanya tidak mati, tapi saat ini bahkan dia sedang memanggilku…?'     

Kesedihan dan keterkejutan yang berlebihan diselingi dengan kejutan yang sangat besar. Bo Yan mengangkat matanya dan memandang ke kerumunan orang yang berada tidak terlalu jauh darinya, mencari dengan panik.     

Selama hidupnya, Bo Yan tidak pernah seperti itu. Belum pernah ada momen saat dia sangat ingin melihat seseorang hanya demi membuktikan bahwa orang itu masih hidup. Itu bukan lelucon, dia tidak sanggup membuat lelucon.     

Sungguh, Bo Yan merasa tidak sanggup. Dia tidak sanggup menerima pukulan yang datang sekaligus seperti itu.     

Sementara itu, An Ge'er berbalik sambil memegang ponselnya dan melihat para penumpang itu satu per satu dibawa naik ke pesawat pribadi. Pada saat yang sama, saat dia bernapas lega, dia juga merasa khawatir karena telepon itu.     

'Situasi macam apa ini?'     

'Telepon ini jelas sudah tersambung, tapi tidak ada orang yang berbicara?'     

Namun, An Ge'er tidak ingin menutup panggilannya karena dia merasa mendengar suara yang samar dari sana. Itu seperti suara napas yang agak tergesa-gesa.      

Saat An Ge'er baru saja akan beranjak pergi dari samping semak, dia melihat sesuatu yang mengejutkan. Seketika, ujung jarinya gemetar, ponsel yang dipegangnya nyaris merosot.     

An Ge'er sangat terkejut.     

'Dia… bukankah dia seharusnya berada di Kota A?!'     

Namun detik berikutnya, mata An Ge'er seketika menjadi panas...     

Di tanah kosong yang tidak jauh darinya, An Ge'er melihat sosok ramping itu. Di belakang orang itu juga ada Ai Rui.     

Sosok ramping itu memegang telepon, kakinya terus bergerak seperti sedang mencari keberadaan seseorang di mana-mana.     

Pada saat yang bersamaan, ada sedikit angin di pulau itu.     

Angin itu meniup rambutnya yang bagaikan tinta hingga sedikit berantakan. Namun, itu justru semakin memperlihatkan sosoknya yang ramping dan tegap. Tampak kesepian dan kesuraman yang tak terucapkan dari dirinya, bahkan ada kesedihan yang lebih tidak terkatakan lagi.     

An Ge'er tidak tahu, dia juga tidak dapat memikirkannya.     

'Paman yang jelas-jelas seharusnya berada di Kota A, mengapa tiba-tiba dia bisa muncul di pulau ini?'     

Langkah Bo Yan tergesa-gesa dan kacau, matanya merah. Setelah hening sejenak, lalu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari ponsel yang membuat langkah Bo Yan langsung terhenti.     

Suara itu berkata, "Paman, menolehlah."     

Maka, Bo Yan yang berdiri diam itu pun perlahan-lahan menoleh.     

Tak lama setelah itu, perlahan-lahan muncul sosok putih dan ramping di depan matanya…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.