Menjalin Cinta Dengan Paman

Jangan Pergi, Tetaplah di Sini



Jangan Pergi, Tetaplah di Sini

0Sebenarnya jika Bo Yan berpikir lebih tenang, dia pasti tahu di mana An Ge'er.     

Setelah tertidur seharian, An Ge'er merasa lapar. Pukul empat atau lima pagi, dia keluar untuk membeli makanan. Namun, sekitar hotel adalah area perbelanjaan yang mewah sehingga dia harus pergi ke tempat yang agak jauh.     

Melihat Bo Yan yang tampak sangat lelah hingga tidak berganti pakaian sepanjang malam, An Ge'er pun tidak tega untuk mengganggunya. Alhasil, gadis itu memutuskan untuk keluar sendiri.     

Sebenarnya, An Ge'er memang tidak tahu…     

Setelah An Ge'er tertidur, Bo Yan membersihkan serta mengobatinya. Namun, pria itu sama sekali tidak tidur.     

Bo Yan hanya menatap An Ge'er sepanjang malam di bawah sinar rembulan yang cerah. Dia memeluk gadis itu sepanjang malam, seakan-akan takut kalau sebentar saja dia tidak melihatnya, maka An Ge'er akan menghilang.     

Lagi pula, tidak ada orang yang bisa merasakan gelombang di hati Bo Yan. Apalagi merasakan keputusasaan yang dirasakannya saat tahu pesawat An Ge'er telah dibajak.     

Ketika matahari mulai terbit, barulah Bo Yan tidur sebentar. Wajahnya penuh dengan kelelahan yang berwarna kelabu samar.     

Saat ini, Bo Yan menarik pergelangan tangan An Ge'er dan memeluknya erat-erat di dada. Tenaganya yang besar membuat gadis itu merasa sesak dan sulit bernapas.     

"Pa… Paman…"     

"Kamu pergi ke mana?! Mengapa tidak memberitahuku?!"     

Saat itu, barulah Bo Yan ingat untuk bertanya kepada An Ge'er. Ada sedikit kemarahan yang bercampur dengan kekhawatiran serta ketakutan yang tidak dapat ditutupi dari suaranya.     

Bagaimana Bo Yan tidak panik? Dia hanya tertidur sebentar, tetapi saat bangun An Ge'er sudah tidak ada di sampingnya. Seketika, keputusasaan yang menakutkan itu pun muncul sekali lagi. Dia takut An Ge'er menghilang, takut gadis itu celaka.     

Bo Yan takut kalau semua yang terjadi sebelumnya itu hanyalah ilusi. Dia takut An Ge'er tidak selamat.     

Bo Yan tidak peduli jika orang lain berkata dia sudah gila. Namun, dia ingin bisa melihat An Ge'er setiap saat.     

Setelah insiden pesawat, keinginan semacam itu menjadi lebih kuat dari sebelumnya.     

An Ge'er menghela napas begitu mendengarnya.     

'Ternyata memang karena aku…'     

Setelah itu, An Ge'er bangkit dan ingin keluar untuk mengambil sarapan yang baru saja dibelinya. Namun, Bo Yan menguncinya tubuhnya.     

"Kamu tidak boleh ke mana-mana!"     

Bo Yan menekan An Ge'er dengan postur membelenggu.     

An Ge'er membelai perutnya dan memandang pamannya itu dengan tatapan menyedihkan. "Aku hampir mati kelaparan."     

Mendengar itu, Bo Yan pun bangkit dan mengambilkan kue yang dibelinya.     

An Ge'er makan dengan hati puas, nyaris melahapnya sekaligus. Sudah terlalu lama dia tidak makan apa-apa sampai tidak peduli lagi dengan image-nya.     

Melihat itu, Bo Yan tidak tahu apakah dia merasa bersimpati atau apa. Sambil menyodorkan air minum, dia mengulurkan ujung jarinya dan mengusap sudut bibir An Ge'er yang ternoda remah-remah kue. Dia tidak tega menegur gadis itu, suaranya sedikit melembut, "Makan pelan-pelan."     

Saat An Ge'er makan tanpa peduli dengan image-nya, wajahnya bahkan tidak memerah. Namun entah mengapa, gerakan ujung jari Bo Yan yang sederhana langsung membuat pipinya seketika merona.     

An Ge'er menyodorkan kue ke depan pria itu, lalu bergumam dengan pipi menggembung, "Enak, manis, cobalah."     

"Baiklah."     

Bo Yan menunduk, tetapi dia melewati makanan di tangannya dan langsung mendekat ke bibir An Ge'er. Lalu, dia memejamkan mata dan menjilat cairan madu manis di bibir gadis itu sambil bergumam pelan, "Hmm, memang manis."     

Pipi An Ge'er seketika semakin merona. Detik berikutnya, makanan di tangannya jatuh ke ranjang. Namun, An Ge'er sudah tidak peduli lagi.     

Bibir An Ge'er telah dihisap oleh Bo Yan. Tangan besar pria itu juga melingkari punggungnya dan perlahan melepas gaunnya dari atas ke bawah…     

An Ge'er mengubur wajahnya di dada Bo Yan, membiarkan pria itu membuka kancingnya yang tersembunyi.     

Mata Bo Yan tiba-tiba jadi membara, seakan itu adalah harta paling berharga di dunia. Kemudian, dia mengubur kepalanya di leher An Ge'er, bibirnya yang tipis dan dingin menciumi leher yang putih dan lembut milik gadis itu dengan teliti.     

Ketika suara yang tak tertahankan keluar dari bibir An Ge'er, Bo Yan berbisik pelan, "Gadis kecil, jangan pergi, tetaplah di sampingku, ya?"     

Suara Bo Yan membawa sedikit harapan dan permohonan.     

An Ge'er tertegun, dalam hati dia sudah mengerti apa yang terjadi…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.