Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 214. Pria Frustasi dan Muram Durja



II 214. Pria Frustasi dan Muram Durja

0"Sudah cepat selesaikan makananmu dan berangkat kerja. Nanti siang aku akan antarkan makan siang sekaligus mengambil telpon genggam yang kamu janjikan. Okay?" Ujar Dian dengan senyum memikat.     

"Okay." Jawab Dave dengan singkat. Siapa yang tahu dalam hati pria dingin dan bengis itu, tersembunyi sifat malu-malu.     

Sepeninggal Dave ke kantor, Dian memenuhi janjinya untuk membuatkan makanan sebagai bekal makan siang nanti. Perempuan cantik dengan rambut sebahu itu mengenakan celemek motif tokoh kartun Disney karakter tikus perempuan yang memakai pita warna merah muda. Feni yang selalu setia menemaninya ikut membantu majikannya memasak.     

"Nyonya ingin masak apa?" Feni melihat Dian yang masih berdiri terpaku didepan lemari pendingin penyimpanan segala macam jenis dagin, ikan, dan ayam.     

Dian diam tidak menjawab karena sedang berpikir antara mengolah daging, ikan, atau ayam. Akhirnya dia pun memutuskan untuk membuat ikan bakar bumbu kecap. Dian pun mengeluarkan ikan kakap seekor dan mulai membawanya ke bak wastafel untuk dicuci.     

"Aku ingin masak ikan bakar bumbu kecap. Kamu tidak perlu membantu aku. Nanti saja bantu mencuci perabotan setelah masak. Okay?" Kedip Dian pada Feni. Feni pun mengangguk senang. Majikannya ini mulai tampil ceria per hari ini. Entah apa yang terjadi dengan suasana hatinya yang sedang baik.     

-----     

Namun, tidak dengan suasana hati di tempat berbeda. Setelah ditinggal pergi sang istri di malam pertama mereka satu minggu yang lalu, Lewis memutuskan untuk kembali ke Jakarta karena perusahaan yang dipimpinnya sedang mengalami masalah internal. Mami papinya tidak ada yang mengetahui masalah ini. Karena kalau mereka sampai tahu, sudah pasti Lewis yang akan disalahkan karena tidak bisa menjaga dirinya dengan benar.     

Selama di ruang kerjanya, Lewis lebih banyak diam. Bulu-bulu halus yang tumbuh di rahangnya dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang berani mengajaknya bersenda gurau, bahkan Jack dan Darren sekalipun.     

"Minum?" Ujar Jack sambil menawarkan minuman bersoda didalam kaleng.     

"No, thanks." Lewis menjawab sambil merebahkan lehernya di sandaran sofa.     

"Jadi, kamu sudah menikah dan tidak mengundangku?" Darren yang baru saja datang di siang hari tersebut, mendapat lirikan tajam dari Jack. Tiga orang pria dengan masing-masing kesibukan itu, berkumpul di kantor Lewis untuk memberi support pada teman mereka yang baru ditinggal pergi istrinya.     

"Sungguh aku tidak menyangka, pria yang suka bermain dengan banyak perempuan, berakhir dengan ditinggal istri di malam pertamanya. Hehehe …" Darren tersenyum puas bisa menyindir salah satu sahabatnya itu. Dengann gerakan secepat kilat, Lewis melempar bantal kursi ke arah pria yang baru saja menambah penderitaanya dengan olokan sarkasmenya.     

"Grace lagi Grace lagi. Sampai kapan kamu akan menjauh darinya? Biarkan dia dengan pria-pria Italy. Kenapa kamu harus melibatkan dirimu lagi padanya saat sudah menikah? Dasar konyol!" Jack berkata dengan jujurnya.     

"Kalian kalau kesini hanya untuk mengolok-olokku, lebih baik kalian pergi! Aku lagi tidak mood untuk menghajar kalian satu persatu." Ujar Lewis dengan mata terpejam.     

"Huh, bisa sakit hati juga." Ujar Darren lagi.     

"Sekali lagi kamu berbicara, keluar dari kantorku sekarang juga!" Lewis membuka matanya dan menatap nyalang kedua sahabatnya itu dengan wajah menyindir mereka.     

"Sudah cari kemana saja? Mungkin dia pergi ke kota lain." Kali ini Jack yang berbicara.     

"Entahlah aku tidak tahu dia kemana. Telponnya sudah tidak aktif. Kakaknya pun tidak tahu kemana perginya. Dia tidak punya siapa-siapa. Aku takut dia bertemu dengan orang jahat." Ucap Lewis sambil memijat tengkuk lehernya.     

"Dia perempuan yang baik. Aku pernah dirawatnya di rumah sakit saat kecelakaan mobil beberapa bulan yang lalu. Dia bukan tipe yang genit dan suka mencari perhatian lelaki." Ucap Jack.     

"Kamu … kenal dia?" Lewis merasakan Jack sudah mengenal Likha lebih dulu sebelum dia mengenalnya.     

"Aku baru ingat waktu bertemu lagi di bandara kemarin. Aku tidak bisa melupakan senyum gingsulnya. Hehehe …" Jack terkekeh mengingat kembali saat pertemuan terakhirnya dengan istri temannya itu.     

"Jack, mulai sekarang dan seterusnya, lupakan Likha! Dia sudah sah menjadi istriku. Aku tidak ingin membuat pilihan antara teman atau istri. Okay?" Lewis menatap bengis wajah temannya yang cengengesan.     

"Fine, aku juga tidak tertarik dengan perempuan yang sudah menikah. Padahal, aku sebelumnya nakskir Calista saat dia masih menjadi sekretarismu Darren." Jack tertawa lebar kini mengingat Calista di pertemuan pertama mereka.     

"Lewis, sepertinya temanmu itu sudah bosan hidup. Kamu punya senjata apa? Pistol? Pisau? Atau granat sekalian?" Kini Darren yang kepanasan karena Jack membawa-bawa nama Calista di pertemuan mereka saat ini.     

"Aku punya pistol laras pendek yang baru kuisi tadi pagi. Kamu mau mencoba melepaskan isinya, Darren?" Lewis berkata sambil berdiri melipat kedua tangannya di depan dada.     

"Boleh, aku mau lihat ketajaman pelurunya bisa tembus sampai ke tembok atau tidak." Ujar Darren dengan seringai sinisnya.     

"Hei tunggu dulu! Jadi kalian berkomplot untuk melawanku?" Jack bangkit dari duduknya dan berdiri menantang kedua pria yang sudah beristri tersebut.     

"Selama kamu menutup mulutmu untuk tidak mengungkit-ungkit kebaikan dan kelebihan seorang istri didepan suaminya, nyawamu masih bisa diselamatkan." Ujar Jack yang disambut dengan kekehan pria frustasi dan muram durja sejak tadi.     

"Sudahlah, aku lapar. Kalian mau ikut aku makan di luar?" Lewis mengambil jasnya dan hendak berjalan keluar.     

"Kita ke kafeku saja. Sekalian ada yang harus aku lakukan." Ucapnya.     

Darren tanpa berbicara sepatah katapun keluar dari ruangan kantor Lewis dan memimpin jalan didepan menuju lift khusus sang presdir muda.     

Ditempat berbeda, seorang perempuan cantik memakai kemeja lengan pendek warna hijau toska dan rok jeans warna biru dengan model melebar panjang tepat dibawah lutut, berjalan masuk ke dalam lobi kantor dengan membawa tas besar motif floral di tangan kanannya.     

Beberapa petugas keamanan dan karyawan yang telah mengenal Dian sebagai istri dari bos mereka membungkuk hormat dan memaksakan senyum. Karena yang mereka tahu, terakhir tiga teman mereka di phk sepihak dan tidak mendapatkan pesangon sepeserpun dengan pasal menghina dan mengganggu ketentraman dalam bekerja.     

Dian membalas mereka dengan senyuman terbaiknya yang tidak perna pura-pura atau sinis. Perempuan cantik itu pun menunggu didepan lift khusus yang akan membawanya ke lantai atas. Dian tidak bisa memberitahukan kedatangannya pada Dave karena dia belum memegang telpon genggamnya sendiri.     

Ting!     

Lift tersebut akhirnya sampai di lantai paling atas dari gedung tersebut. Baru saja Dian hendak mengetuk pintu, tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara kencang dari dalam milik sang pemilik ruangan. Dian menelan salivanya susah payah. Seingatnya, Dave tidak pernah mengeluarkan suara kencang bila didekatnya. Kalau marah, justru diamnya lah yang menakutkan.     

"KALAU KALIAN TIDAK BISA BEKERJA, KELUAR DARI PERUSAHAAN IN! Aku pastikan tidak akan ada yang mau menerima kalian bekerja dimanapun. KELUAR!" Dave mengusir siapa entah Dian tidak bisa melihat kedalam. Sehingga, perempuan itu memilh menunggu di samping dinding bagian luar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.