Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 95: Penuh Pengharapan



BAB 95: Penuh Pengharapan

0Calista melangkah masuk kedalam ruangan mami mertuanya untuk beberapa hari kedepan itu dengan langkah pasti dan mantap. Hera mengekor dibelakangnya. Perempuan hamil itu meletakkan tasnya didalam laci paling bawah dan mulai membuka laptop untuk mengerjakan pekerjaan yang tertunda kemarin. Sambil menunggu Dian, Calista menemui tim desainer dan mengecek semua persiapan menjelan H-1.     

"Nyonya, di ruang tunggu ada seorang perempuan bernama Dian." Hera menghampiri Calista dan membisikkan pesan dari resepsionis.     

"Oh iya, dia temanku. Maaf saya tinggal sebentar yaa. Kita bicara lagi nanti." Calista meninggalkan dua orang wanita sebagai desainer tetap Da House itu. Ruang tunggu yang ada di lantai 1 sementara lantai para desainer ada di lantai 3. Ada lift khusus untuk pemilik butik dan Calista memanfaatkan itu. Darren mewanti-wanti bener agar Calista jangan capek.     

"Dian, haii, bagaimana tidak nyasar kan?" Calista melihat penampilan baru Dian lebih segar. Semalam suasana taman tempat mereka berdiri lumayan gelap jadi Calista tidak bisa melihat Dian lebih jelas.     

"Tidak dong. Bumil sendiri apa kabar? Sehat?" Dian meraih tangan Calista yang terulur     

"Alhamdulillah sehat. Kamu tampak lebih segar dengan potongan rambut seperti itu. Dan, sekarang kamu pun mau berdandan, hihihi." Calista terkekeh. Senang sekali rasanya bisa tertawa lepas lagi dengan teman yang lama tidak berjumpa.     

"Hehehe, ganti suasana saja. Toh nanti tumbuh lagi rambutnya." Jawab Dian malu-malu.     

"Yuks ke ruanganku ngobrolnya." Calista menggandeng erat temannya.     

Dian mengikuti kemana Calista membawanya. Suasana didalam butik yang mewah namun nyaman itu membuat Dian takjub dengan perubahan yang dimiliki Calista.     

"ini sebenarnya butik mami mertuaku. Papi mertuaku masuk rumah sakit karena serangan jantung. Jadi mami menemaninya setiap hari. Butik ini diserahkan kepadaku beberapa hari saja untuk dikelola. Kalau boleh memilih, aku lebih suka berkebun. Hehe .." Calista berkata dengan suara pelan.     

"Hmm begitu. Tuhan mendengar dan menjawab doamu, Cal. Sekarang kamu sudah hidup enak dan mertuamu sepertinya juga baik." Jawab Dian.     

"Seperti yang aku bilang, jangan mudah menilai dari luar saja. Ya sudah, langsung saja yaa. Kami sedang membutuhkan seorang model untuk pakaian pengantin. Pertunjukkanya bukan disini tapi di tengah mal megah nanti dalam acara memperkenalkan pakaian pengantin pertama yang dikeluarkan butik Da House." Ucap Calista.     

Mereka berdua duduk di sofa seperti layaknya teman, bukan di kursi kebesaran Sara.     

"Jadi hanya sekali pertunjukkan ya? Apa tidak ada pekerjaan lain yang aku bisa lakukan setiap hari jadi aku bisa punya gaji bulanan lagi?" Dian menatap Calista penuh harap dengan wajah sendu.     

"Sebenarnya ada. Tapi … hanya sebagai asisten yang membantu pelanggan fitting baju. Apa tidak apa-apa?" Tanya Calista hati-hati.     

"Mau mau mau. Tidak apa Calista, aku mau kerja apa saja. Asalkan bisa buat bayar kontrakan dan hidup layak saja." Jawab Dian dengan sorot mata penuh pengharapan.     

"Baiklah, kalau kamu mau. Aku akan minta seseorang untuk menunjukkan padamu apa dan bagaimana kerjanya. Kamu bisa mulai kerja besok. Bagaimana?" Calista tersenyum menenangkan teman sekaligus sahabat satu-satunya itu.     

"Siap bos!" Jawab Dian penuh semangat. Calista terkekeh dibuatnya.     

Seorang karyawan wanita membawa Dian menuju supervisornya dan memperkenalkan diri sebagai karyawan baru. Akhirnya, Dian pun memiliki pekerjaan untuk menyambung hidupnya.     

"Kamu beruntung bisa bekerja. Aku malah tidak punya pekerjaan. Hehehe …" Calista dan Dian menikmati makan siang mereka yang kepagian di teras samping butik yang cukup teduh.     

"Hidupku tidak seberuntung itu, Calista. Aku sedan berada dalam fase terpuruk saat ini." Dian menundukkan wajahnya. Bayangan pria iblis itu saat mencumbunya, tidak bisa lepas dari ingatannya. Senyumnya, seringainya, matanya. Bahkan hembusan napasnya masih terasa di telinga Dian.     

"Kamu mau bercerita? Aku siap mendengarkan. Dan, kamu tahu aku perempuan yang tidak pernah bergosip sana sini." Calista memegang telapak tangan Dian yang sedang memegang mangkuk berisi sup jagung yang masih hangat.     

"Aku malu menceritakannya, hiks."     

"Katakan saja biar kamu lega. Jangan dipendam sendirian kalau kamu tidak kuat."     

"Calista, sebenarnya … aku …" Dian terbata-bata ingin bercerita namun masih malu untuk mengungkapkannya.     

"Ada apa? Ceritakan padaku. Kamu membuatku penasaran saja." Calista semakin penasaran dibuatnya.     

"Aku … diperkosa mantan bosku. Huhuhu …" Dian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.     

Calista terdiam membeku mendengan pengakuan sang teman baik. Dia tidak menyangka hidup Dian bisa sesulit itu. Dian kembali menangis terisak bila mengingat peristiwa itu. Calista berdiri dan memeluk tubuh kurus sang teman baik.     

"Kurang ajar sekali dia! Kamu sudah lapor polisi?" Perempuan hamil itu menepuk-nepuk punggung temannya dengan lembut.     

"Aku tidak kepikiran kesana. Aku hanya keluar dari kantor itu dan pindah kosan." Jawab Dian sambil mengusap hidungnya yang basah.     

"Kamu mau aku temani ke kantor polisi? Ini pelecehan namanya!"     

"Tapi dia orang berduit dan berkuasa. Dia bisa membolak-balikkan fakta. Sementara aku tidak punya pelindung. Aku hanya perempuan lemah tanpa kekuatan apapun." Jawab Dian meratapi nasibnya.     

Calista bisa memahami hal tersebut. Dia pun ikut terdiam dan menghela napasnya tanpa bisa berbuat apapun.     

"Jadi sekarang apa yang akan kamu lakukan?"     

"Aku ingin tetap melanjutkan hidupku. Aku tidak ingin bertemu dengan pria iblis itu lagi." Jawab Dian mantab.     

"Apa dia pria tua botak dan sudah beristri? Huh, pria seperti itu kelak kalau bertemu, aku akan jitak kepalanya, dan kujewer sampai keliling mengitari lantai sampai putus telinganya." Calista geram sekali membayangkan pria yang sudah memperkosa teman baiknya itu.     

"Hehehe, kamu sungguh menghibur sekali Calista. Tapi sayangnya pria itu tidak seperti itu." Jawab Dian lagi.     

"Memangnya seperti apa dia? Hitam, pendek, jelek, monyong?" Calista bukan hanya berkata tapi juga mempraktekan ciri-ciri yang dia sebutkan. Dan, itu membuat Dian tergela ketawa lepas. Calista benar-benar tahu cara menghibur orang lain. Sekejap Dian melupakan dukanya. Dan, Calista senang melihat Dian yang sudah ceria kembali.     

"Kamu lucu ih. Sudahlah, aku malas membahasnya. Membuatku teringat lagi peristiwa itu. Yang penting sekarang aku mau melanjutkan hidupku dengan sebaik-baiknya. Dan, mungkin aku tidak akan pernah menikah. Huft, lelaki mana yang mau dengan perempuan yang sudah tidak perawan lagi." Jawab Dian sambil menyeruput teh manis hangatnya. Tatapan kosongnya menyiratkan bahwa hidup harus terus berjalan namun kesedihan tetap membekas dan sulit dilupakan.     

Calista memeluk tubuh kurus Dian, teman semasa sulitnya.     

"Tapi say, memang tubuhmu kurus, namun dadamu itu besar untuk ukuran anak perawan. Mungkin itu yang membuat bosmu terpikat."     

"Calistaaaaaa …" Dian mencekik leher Calista dan Calista tertawa terkekeh. Makan siang mereka lebih banyak dihabiskan dengan bercerita dan bercanda satu sama lain. Pada akhirnya, makanan pun hanya variasi saja untuk menemani dua perempuan yang sedang curhat kisahnya masing-masing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.