Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 92: Memulai Hari Baru



BAB 92: Memulai Hari Baru

0Dave memencet alarm kunci mobil dan mobil sport itu pun memekik menjawab panggilan tuannya. Dave memacu mobil sport merah tersebut menuju suatu tempat yang pernah didatanginya sekali. Dia tidak tahu kenapa harus kesana tapi feelingnya mengatakan dia harus kesana sekarang juga.     

Seorang perempuan merenung sendirian didalam rumah kontrakannya yang terdiri dari tiga petak ruang. Masing-masing petak disekat sebuah tembok sampai keatap. Perempuan itu mengamati tempat tinggalnya yang baru. Tempat ini adalah incarannya sejak lama karena dekat dengan berbagai pusat perbelanjaan sehingga kemungkinan besar dia mendapatkan pekerjaan lebih luas.     

"Ini kuncinya ya nak. Uang kontrakannya sudah termasuk air dan iuran sampah, tapi belum termasuk listrik. Tetangga kanan kiri punya anak semua jadi agak berisik memang tapi mudah-mudahan lebih aman dan nyaman." Seorang ibu pemilik kontrakan, menyerahkan sebuah kunci pintu untuk Dian tempati. Disinilah tempat tinggalnya yang baru dimana dia akan memulai hari yang baru dan tempat kerja yang baru.     

"Terima kasih bu. Saya senang sekali bisa mendapatkan tempat tinggal secepat ini." Jawab Dian. Matanya menunjukkan rasa lelah yang teramat sangat karena dari pagi sibuk mengangkat dan membereskan barang-barangnya.     

"Kalau begitu kamu langsung istirahat saja. Ibu pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa langsung telpon ibu saja."     

"Siap ibu, terima kasih banyak." Dian mengantarkan ibu pemilik kos yang bernama Wati itu ke pintu depan.     

"Aahhhh aku ingin memejamkan mata sejenak. Lelah sekali rasanya. Baru setelah itu mencari lowongan pekerjaan lagi." Dian mengambil boneka bantal yang menemaninya kemanapun berpindah tempat. Matanya langsung terpejam sempurna, meluruhkan kelelahan fisik dan jiwa yang sangat menguras emosinya.     

"Pindah kemana?" Mata Dave melotot lebar ketika mendapati orang yang dicari tidak ada di kosannya.     

"Saya kurang tahu. Dia tidak bilang mau pindah kemana. Tampaknya buru-buru sekali." Jawab bapak pemilik kos dengan ramah, meskipun yang dihadapinya adalah anak muda yang mudah niak darah.     

"Sial! Berani sekali dia kabur!" Gumam Dave.     

"Kenapa? Apa dia punya hutang sama kamu?" Tanya si bapak.     

"Tidak ada. Kalau begitu saya permisi dulu, terima kasih." Dave meninggalkan kosan petakan tersebut dengan hati yang gusar dan diliputi kebingungan.     

"Pak de, siapa itu? Ganteng banget. Keponakan pakde ya?" Seorang mahasiswi yang menempati kosan disana melihat Dave datang sejak tadi namun dia tidak berani ikut mengobrol.     

"Hush! Kalau saya punya keponakan setampan itu, istri pakde malah nanti jadi curiga. Sudah sudah, jangan gossip terus."     

"Kemana dia? Dia pergi mau meninggalkan semua jejak yang pernah ada. Huh, baguslah kalau begitu. Perempuan lain biasanya akan menangis histeris mencari segala cara untuk meminta pertanggungjawaban lelaki. Tapi, dia sepertinya tidak peduli. Bagus. Aku malah tidak usah memikirkan apa-apa. Huh!" Dave meninggalkan area komplek perumahan yang satu rumah dijadikan tempat tinggal sementara para perantauan itu.     

Waktu bergulir menuju senja tanpa terasa. Taman di tengah kota menawarkan banyak aneka hiburan dan makanan yang memanjakan orang-orang yang sekedar datang untuk duduk atau berwisata kuliner. Meskipun malam hari, namun taman itu selalu terlihat lebih terang dari siang hari. Lampu jalan dan lampu hias beraneka bentuk menerangi jalanan yang dipadati pengunjung.     

Setelah puas memejamkan mata, Dian berjalan-jalan sekitar taman dekat rumah kontrakannya yang baru. Dia masih memiliki sedikit uang untuk biaya hidupnya beberapa hari kedepan. Malam ini Dian sangat lapar dan ingin membeli makanan murah meriah namun dapat mengganjal perutnya sampai besok pagi.     

"Aku mau itu, Darren."     

"Tidak boleh. Kamu lagi hamil. Jangan makan sembarangan." Pria bermanik hijau itu cerewet sekali bila menemani Calista membeli makanan.     

"Sate padang itu bukan sembarangan. Aku sudah lama tidak makan itu. Ada lontongnya juga bisa buat aku kenyang lebih lama." Jawab Calista ngotot.     

"Huft! Kamu itu selalu keras kepala. Sudah bagus aku mau menemanimu kesini. Kalau tidak, kamu tidak akan bisa makan apa-apa malam ini." Ancam Darren.     

Ingin rasanya Calista menjawab. 'Ih siapa juga yang ngotot mau menemani. Aku mau pergi sendiri dari tadi tidak boleh. Dasar pria egois!'. Namun semua ucapan itu hanya tertahan di lubuk hatinya paling dalam.     

"Otakmu ini pasti sedang menyumpahi aku, merutuki diriku, dan memakiku. Hmm?" Darren menunjuk kening Calista dengan lembut.     

"Tahu ah …" Jawab Calista malas menanggapinya.     

"Calista?" Dian merasa sepasang suami istri yang sedang bertengkar dihadapannya ini salah satunya adalah teman lamanya dulu saat sama-sama bekerja sebagai office girl.     

Perempuan yang dipanggil namanya, memalingkan wajahnya mencari asal suara.     

"Dian? Kamu Dian kan?" Calista menyipitkan matanya untuk lebih menegaskan penglihatannya di malam hari.     

"Iya ini aku Dian, apa kabarmu? Calistaaaa, aku kangeeen." Dian menghampiri Calista dan memeluknya erat. Darren terheran melihatnya. Calista pun memeluk Dian dengan penuh suka cita. Dian adalah satu-satunya teman yang dia miliki sejak merantau di Jakarta.     

"Kamu sekarang makin cantik. Sudah lebih langsing, hehe …" Calista menjauhkan tubuh Dian demi untuk melihat perubahan yang terjadi pada dirinya sejak terakhir kali berpisah.     

"Kamu kemana saja? Aku telpon tidak bisa." Dian mengerutkan bibirnya menampakkan wajah kesal.     

"Aku … oh iya aku lupa, aku perkenalkan kamu sama suamiku." Calista menarik tangan Darren yang dimasukkan kedalam kantong celananyanya.     

"Darren, ini temanku dulu sebelum menikah denganmu. Dulu kami sama-sama seorang office girl." Calista mendekap erat bahu teman seperjuangannya dulu.     

"Hmm … Aku kembali ke mobil saja. Kalau sudah selesai, segera kembali ke mobil." Darren berjalan menjauh tanpa memberikan tangannya untuk bersalaman dengan Dian.     

"Maaf yaa, dia agak introvert begitu." Ucap Calista berharap pengertian dari temannya.     

"Sudahlah, aku tidak masalah. Oya, aku dengar tadi kamu hamil. Benarkah? Kok tidak terlihat buncit?" Dian senang sekali akhirnya bisa bertemu kembali teman yang dulu dirindukan.     

"Satu-satu dong nanyanya. Nomer telponku yang lama sudah tidak aku pakai lagi dan sudah kadaluarsa juga. Iya aku hamil. Dan, kamu masih ingat kan tentang berita pencarian istri itu yang pernah kita baca di portal gossip online? Pria yang kamu lihat baru saja itu adalah pria sesungguhnya dibalik pria botak dan cacat.     

"Apa?" Jadi informasi itu tidak benar donk. Pasti banyak yang melamar ingin menjadi istrinya." Jawab Dian yang sudah mulai melupakan sejenak beban hidupnya.     

"Ya lumayan lah, ada sekitar tiga puluh perempuan yang antri ingin menjadi istri orang kaya, termasuk aku. Huh." Calista menyeringai sinis mengenang kembali masa-masa penyeleksian waktu itu.     

"Hehehe, kamu sekarang pasti sudah hidup berkecukupan dan bisa makan apa saja." Jawab Dian lemah dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.     

"Jangan pernah membayangkan hidup seseorang dari bagian luarnya saja. Aku belum berubah, masih sama seperti dulu yang suka makan dipinggir jalan. Namun, kondisinya kini tidak memungkinkan." Jawab Calista lirih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.