Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 90: Sabotase Butik (1)



BAB 90: Sabotase Butik (1)

Darren mengendarai mobilnya menuju kantor The Anderson Group. Jarak butik dan kantor sekitar setengah jam kalau lancar. Sesampainya di tempat parkir basemen, Darren memarkirkan mobil perlahan. Dan, dia pun ikut merebahkan kursi dibelakangnya menjadi sejajar dengan Calista, the sleeping beauty.     

Perempuan hamil itu terbangun karena merasakan matanya sudah cukup dipejamkan. Sejenak dia merasa linglung karena sekitarnya gelap dan ada jas yang menutupi dadanya. Calista mengingat apa yang terjadi sebelum dia tertidur.     

"Uhhh … dimana ini?" calista meraba-raba sekitarnya dan tangannya tertumbuk pada dada dengan kancing terbuka. Calista menyipitkan matanya mencoba memfokuskan penglihatannya.     

"Darren?" Calista teringat saat terakhir dia tertidur di dalam mobil ini. Dia pun menghela napasnya dan mencoba bangun untuk duduk. Namun, tombol untuk menaikkan sandaran kursinya berada di sisi depan kursi. Dia tidak mungkin menggapainya kecuali bangun duduk.     

"Kamu sudah bangun? Sebentar aku tegakkan kembali kursinya." Darren duduk dan menekan tombol untuk membuat Calista duduk dengan tegak kembali.     

Calista melihat angka yang nampak di arlojiny.     

"Oh Tuhan, gawat. Darren, sekarang sudah jam 3. Bagaimana ini? Mereka pasti menungguku. Kenapa kamu tidak membangunkanku?" Calista panik dan hampir menangis melihat jarum jam yang beranjak sore. Sejatinya dia harus berada di tengah-tengah tim EO untuk membahas apa saja yang perlu ditambah atau dikurangi dari desain dan semua pengaturannya.     

Namun semua berantakan, gara-gara Darren. Darren tampak santai, tidak terbawa suasanya panik dari Calista.     

"Kamu dengar aku tidak? Aku mau kembali ke butik. Mereka pasti masih menungguku. Antarkan aku, kamu harus bertanggung jawab." Calista memegang lengan Darren dan mengusiknya yang sedang tidur menutup mata dengan lengannya.     

"Aku sudah bilang Hera untuk dilanjut besok. Kita langsung pulang saja sekarang." Jawab Darren sambil mengusap wajahnya dan menyibak rambut hitam tebalnya ke belakang. Penampilannya tampak berantakan karena bangun tidur. Terutama setelah menuntut haknya beberapa jam yang lalu.     

"Hahhh …" Calista mendesah lepas sambil memejamkan matanya. Lagi-lagi pekerjaanya harus tertunda hanya karena keinginan Darren yang menggebu. Andaikan dia bisa menolaknya, pasti semua akan berjalan lancar sesuai rencana.     

Suara panggilan telpon masuk tiba-tiba terdengar nyaring didalam mobil yang gelap tersebut.     

"Siapa?" Calista bertanya kepada si pemilik telpon yang berbunyi.     

"Hera. Sebentar." Darren menekan tombol hijau sekaligus menekan tombol pengeras suara.     

"Ada apa?" Darren menjawab singkat seperti biasa dan langsung pada tujuannya.     

"Tuan, ada masalah besar di butik. Seorang perempuan mengamuk dan meminta bertemu dengan bu Sara. Dia membawa senjata api dan kami semua disandera tidak bisa keluar." Suara Hera terdengar pelan berbisik. Aura ketegangan didalam butik berasa sampai kedalam mobil.     

Tiba-tiba Calista merasakan kata hatinya beberapa saat yang lalu terjawab dengan kejadian ini. Bagaimana jika Calista ada didalam sana? Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya, dan juga kandungannya.     

"Kamu tenang saja. Matikan telponnya. Bantuan akan segera datang." Darren menutup telpon dan langsung menekan nomer tujuan lain. Calista masih diam terpaku melihat apa yang dilakukan Darren. Pikirannya mendadak kosong seketika.     

"Kantor polisi, saya Darren Anderson ingin melaporkan kejadian penyanderaan dengan pelaku bersenjata api yang terjadi di butik DA HOUSE milik saya. Tolong segera kirim bantuan karena beberapa karyawan masih terjebak didalamnya. Oke terima kasih." Darren menutup telpon dan mengancingkan kemejanya. Sandaran duduk pun ditegakkan kembali.     

"Kita ke butik tapi berhenti di seberang jalannya. Aku penasaran siapa yang berani-beraninya mensabotase butik mami." Darren memasang sabuk pengaman ke tubuh Calista dan dia pun segera memasang sabuknya sendiri.     

"Kamu tidak apa-apa? Kenapa diam?" Darren menghidupkan mesin dan menggenggam tangan kanan Calista untuk memberinya kekuatan dan rasa tenang. Darren mencium punggung tanan Calista yang tampak gemetaran.     

"Darren, aku berpikir … bagaimana kalau aku tadi ada di butik ya? Entah apa yang akan terjadi padaku dan anakku." Calista menatap nanar jalanan didepan.     

"Hmm, semua kejadian ada hikmahnya. Jadi kamu bersyukur dong ya kita berdua tadi siang ehem-ehem." Darren masih sempat bercanda dan menyeringai lebar. Calista menatap tidak percaya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Aku tahu siapa yang berulah di butik. Kamu tenang saja. Dia tidak akan macam-macam." Jawab Darren lagi.     

"Siapa?" Calista memalingkan wajahnya yang semula menatap lurus kedepan.     

"Grace. Aku sudah lihat di layar CCTV baru saja." Darren fokus menyetir namun masih sempat mengajak Calista berbincang-bincang.     

"Kenapa dia bersikap seperti itu? Dia bisa masuk penjara karena bisa menghilangkan nyawa orang lain." Jawab Calista tidak percaya.     

"Heh, dia perempuan nekat, sama seperti Britney. Yang akan menghalalkan segala cara demi tercapai tujuannya." Bibir tipis dengan seringai sinis terbit dari pria bermanik mata hijau.     

"Tujuan? Memang apa tujuannya?" Tanya Calista semakin tidak mengerti.     

"Nanti aku ceritakan panjang lebar di rumah. Sekarang kita harus ke butik. Pihak kepolisian pasti sudah sampai disana." Jawab Darren menyudahi sesi berbicara satu sama lain.     

Benar saja, beberapa mobil polisi meraung-raung mengeluarkan sirine yang mengundang kehebohan orang-orang sekitar. Calista dan Darren keluar dari mobil dan menunggu di seberang jalan. Tampak pria bermata hitam dengan rambut hitam tebal, Calista kenal sedang berdiri tidak jauh dari tempat dimana Darren berdiri.     

"Darren? Coba kamu lihat kesana." Darren melihat ke arah yang ditunjukkan Calista. Dahinya mengerut dan jarinya langsung menekan sebuah nama dilayar ponselnya.     

"Bro, aku di arah jam 12. Kemarilah." Darren menutup ponselnya dan mendekap lengan Calista. Tampak Lewis mencari keberadaan Darren dan dengan memakai kacamata hitamnya, pria dingin itu menghampiri Darren.     

Tanpa bertegur sapa, mereka bersalaman dengan menautkan genggaman tangan terkepal satu sama lain. Mungkin itu cara mereka memberi salam.     

"Grace, entah apa yang ada di pikirannya." Sahut Lewis.     

"Kapan kamu kembali?" Tanya Darren. Baginya pertanyaannya jauh lebih penting daripada penyataan Lewis.     

"Tadi pagi. Urusanku sudah selesai dan aku juga tidak ada lagi yang bisa dilakukan disana." Jawab Lewis.     

"Hmm, terus kenapa perempuanmu seperti hilang kendali?" Darren mengusap-usap lengan Calista yang hanya tertutup kemeja pendek. Lewis melihat sambil tersenyum.     

"Dia bilang dia akan kembali pagi ini. Tante Lena menyuruh aku untuk mengawasinya karena beliau sedang ada urusan penting yang harus segera berangkat ke luar negeri. Huft!" Jawab Lewis sambil menghela napas kasar.     

"Hahaha, sejak kapan kamu jadi pengasuhnya?" Darren tertawa pelan.     

"Hai, kalian berdua bisa tidak lebih peduli dengan nasib beberapa orang didalam? Kalau sampai senjata itu mengeluarkan isinya, akan ada korban jiwa didalam." Calista memotong pembicaraan tidak penting dua pria yang berada di sebelahnya. Bukannya memikirkan bagaimana membebaskan para sandera, malah sibuk ketawa haha hihi dan berbicara yang tidak-tidak.     

Dengan wajah garangnya, Calista memberikan tatapan mematikan kepada dua pria jangkung menjulang dengan rahang tegas dan rambut tebal mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.