Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 82: Serangan Jantung



BAB 82: Serangan Jantung

0"Sepertinya ide mandi bersama pagi-pagi bagus juga." Ucap Dave sambil memundurkan tubuh Dian ke dinding dan mengurungnya dengan tangan kanan dan kiri di kedua sisinya.     

"Jangan tuan, aku mohon … Ahhhhh …" Tanpa ampun, Dave mengangkat satu kaki Dian dan menghujamkan kembali kejantanannya ke dalam kewanitaan Dian yang disambut dengan pekikan memilukan.     

Dave mengulangi kembali apa yang dia lakukan pada sekretaris baru tersebut setelah di sofa lalu di kamar mandi. Setelah puas melampiaskan hasratnya, Dave membersihkan tubuhnya dan memakai handuk menutupi bawah tubuhnya. Meninggalkan Dian yang terduduk diatas lantai kamar mandi sambil menangis tersedu-sedu.     

"Aku beri waktu 15 menit untuk merapihkan diri dan keluar. Dan, jangan sampai aku dengar gossip yang tidak-tidak diluar sana. Kamu paham?" Dian masih mendengar samar-samar nada perintah dari Dave dan mengangguk lemah.     

"Bagus! Sekarang lanjutkan mandi dan segera keluar!" Dave meninggalkan Dian seorang diri dan dia pun memilih setelan jas baru yang ada didalam lemari. Tidak berapa lama, dia sudah rapih dan keluar kamar. Dian menutup mulutnya dan menangis terisak meratapi nasibnya.     

Baru sebulan dirinya bekera di perusahaan ini karena mendapat info lowongan dari salah seorang teman kosnya. Sebulan pertama, kinerjanya yang bagus membuat dirinya mendapat perhatian khusus dari asisten CEO karena sekretaris yang biasanya mengundurkan diri. Dian dimutasi ke lantai paling atas, diiringi cibiran dari mayoritas karyawan wanita yang sudah lama mengincar posisi sekretaris CEO.     

Dian tidak peduli dengan cibiran, hinaan, dan fitnahan yang menimpanya. Karena tujuannya bekerja bukan untuk menggoda para petinggi. Melainkan untuk menyambung hidupnya yang tinggal sendiri merantau di kota sebesar Jakarta.     

Perempuan malang itu berusaha untuk berdiri. Namun perih dibagian selangkangannya membuatnya sering meringis dan berteriak menahan sakit. Entah apakah dia bisa berjalan dengan benar ketika keluar dari kamar ini. Dian menyesali nasibnya yang sudah direnggut mahkota satu-satunya yang harusnya dia serahkan pada suaminya kelak, kini justru hilang direnggut bos nya yang brutal dan mesum.     

-----     

"Kita pulang hari ini?" Tanya Calista begitu melihat Hera sedang merapihkan baju-baju dan memasukkannya ke dalam koper besar yang tergeletak diatas lantai kamarnya.     

"Iya nyonya. Tuan menyuruh saya untuk bersiap-siap keluar dari hotel paling telat jam 11 siang ini. Pesawat sudah siap jam 1 siang." Hera hanya sekilas memandang nyonya mudanya yang selalu tampak cantik meskipun hanya memakai bedak dan lipstick tipis-tipis dan pakaian sederhana tanpa merk.     

"Darren dimana bu?" Calista tidak melihat didalam kamar. Namun laptopnya masih ada diatas meja pojok. Satu koper besar warna hitam sudah selesai dibereskan isinya dan siap berdiri di sebelah pintu. Tinggal koper Calista yang sedang dirapihkan.     

"Tuan Darren tidak bilang, nyonya. Maaf saya tidak tahu." Jawab Hera lagi.     

"Huft, dia tidak bilang kalau mau kembali hari ini. Kenapa aku tidak diberi tahu." Calista yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendapati semua sudah siap rapih tanpa perlu tangannya untuk membereskan.     

"Sebenarnya ada hal mendesak yang memaksa tuan dan nyonya muda untuk pulang hari ini." Hera menghentikan sesaat memasukkan baju kedalam koper.     

"Ada apa bu Hera? Ceritakan padaku!" Calista sudah menduga ada yang tidak beres sedang terjadi.     

"Sayang, hari ini kita kembali pulang. Papiku mendadak masuk rumah sakit karena serangan jantung. Mami baru saja menelponku." Darren tiba-tiba muncul masuk kamar tanpa suara sama sekali.     

"Papi masuk rumah sakit? Ohh …" Calista menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.     

"Baiklah, aku segera siap-siap. Kita mau langsung kerumah sakit kan sesampai di Jakarta?" Tanya Calista sambil merapihkan laptopnya sendiri di atas kasur, sementara Darren memasukkan laptopnya sendiri ke dalam tasnya.     

"Lihat nanti saja. Kalau kemalaman, kita pulang dulu. Sudah siap Hera?" Darren bertanya.     

"Sudah tuan. Apa perlu saya bawa semua ke bawah?" Hera hendak menggiring koper dengan kedua tangannya namun dicegah oleh Darren.     

"Tidak perlu. Nanti ada potter yang membawanya. Kamu tunggu potter datang, aku dan Calista turun kebawah lebih dahulu. Cepat-cepat yaa!" Darren meraih tangan istrinya yang sedang mengalungkan tas laptop di bahu kirinya dan mereka berjalan keluar kamar lebih dahulu.     

"Siap tuan." Sahut Hera sambil menundukkan kepalanya.     

"Ada apa papi tiba-tiba terkena serangan jantung?" Calista belum pernah melihat wajah Darren secemas ini.     

"Papi sedang memimpin rapat. Tiba-tiba ditengah rapat, papi mengeluhkan dadanya sesak dan ambruk ditempat. Beruntung segera dilarikan ke rumah sakit. Dan, sekarang papi masuk ruang ICU." Jawab Darren sambil memeluk Calista dari belakang dan meletakkan dagunya diatas kepala istrinya yang hanya setinggi bahunya.     

"Semoga papi baik-baik saja. Mami bagaimana? Pasti beliau sangat khawatir." Calista merasakan dagu berbulu diatas kepalanya lumayan berat menekan kepalanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya, setidaknya untuk saat ini. Karena Darren sedang merasakan sedih dan hanya itu yang bisa dia lakukan.     

"Kalau kemalaman sampai Jakarta, kamu pulang duluan saja dengan Hera. Aku langsung kerumah sakit dengan mobil jemputan lainnya. Ibu hamil tidak boleh keluyuran diluar malam-malam." Sahut Darren.     

"Aku hamil, bukan sakit. Lagipula kehamilanku belum mempengaruhi cara berjalan dan keseharianku. Kamu tenang saja, aku tahu kemampuan diriku sendiri." Jawab Calista. Dan mereka berdua pun keluar dari lift dan langsung menuju lobi. Mobil yang menjemput mereka sudah berada didepan. Darren dan Calista naik terlebih dahulu dan pergi ke bandara lebih cepat. Sementara Hera menggunakan mobil jemputan lain bersama koper-koper besar tuan dan nyonyanya.     

"No, aku tidak akan mengijinkan kamu malam-malam berada di luar rumah. Kamu masih bisa menjenguk papi besok pagi. Ada dokter yang berjaga dua puluh empat jam disana." Jawab Darren sambil memegang ponselnya dan membalas beberapa pesan masuk dari Sara dan Andrew yang bergantian memberi kabar berbeda satu dan yang lain.     

Calista memilih melihat pemandangan dari balik jendelanya. Entah kapan dia bisa kembali kesini lagi. Tempat yang sangat diimpikannya sejak dulu dan akhirnya kesampaian juga, meski harus dengan cara yang diluar nalarnya.     

Pesawat pribadi yang menunggu mereka sudah siap di bandara. Darren menggandeng tangan Calista menaiki tangga pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Jakarta. Hanya menunggu 5 menit, datanglah mobil yang membawa Hera dan bagasi. Pesawat pun lepas landas meninggalkan bandara I Gusti Ngurah Rai.     

"Mi, bagaimana kabar papi?" Darren mengetik pesan untuk Sara.     

"Masih sama seperti tadi pagi. Belum siuman." Balas Sara.     

"Kami dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Sesampainya disana, aku akan langsung kerumah sakit, sementara Calista pulang." Balas Darren.     

"Ohh, kamu tidak perlu pulang cepat sebenarnya. Papi sudah tertangani segera."     

"Tidak apa mi, kapan-kapan kita bisa kembali lagi ke Bali."     

"Baiklah kalau begitu. Hati-hati dijalan. Salam buat Calista. Jangan sampai ibu hamil kecapekan."     

"Iya mi. sampai ketemu lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.