Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 60: Mengubur Dirinya



BAB 60: Mengubur Dirinya

0Aroma daging yang seharusnya enak dan mengundang selera, akhirnya malah membuat Calista mual dan berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Hera langsung mengikuti Calista ke kamar mandi untuk membantu memijat tengkuk lehernya.     

"Maaf nyonya, saya tidak tahu kalau anda tidak bisa mencium aroma tajam." Hera tampak sangat bersalah dan mengurut punggung juga tengkuk Calista berulang-ulang.     

"Tidak apa bu. Tapi bu, aku minta tolong. Jangan beritahu Darren aku muntah-muntah. Hari ini aku boleh pulang asalkan aku sudah sehat. Kalau Darren sampai tahu aku muntah-muntah lagi, dia tidak akan mengijinkan aku keluar dari rumah sakit." Jawab Calista memelas dengan mata sayu dan lemasnya.     

"Baik nyonya." Meskipun Hera tidak bilang sekarang tapi pasti ketahuan juga nanti dirumah. Karena morning sickness berlangsung bulanan.     

Calista kembali duduk diatas kasur dengan dibantu Hera. Tanpa menyentuh makanan sama sekali.     

-----     

"Assalammualaikum kak." Likha bertemu dengan Niko sesuai perjanjian mereka.     

"Wa'alaikumussalam. Ayo kita sekalian cari sarapan. Aku tidak bisa lama karena aku harus segera berangkat kerja." Likha mengikuti instruksi sang kakak satu-satunya itu. Mereka berboncengan motor sampai gerobak tukang bubur mangkal di dekat taman.     

Niko langsung mengeluarkan sebuah foto yang diberikan bosnya kepada Likha, sesampainya mereka di kursi plastik sambil menunggu bubur yang mereka pesan siap.     

"Ini … siapa kak?" Likha mengernyitkan alisnya melihat Niko tiba-tiba memberikan sebuah foto yang tentu saja dia kenal wanita yang ada didalam foto tersebut.     

"Bosku memberikan ku tugas untuk menyelidiki wanita ini. Apa kamu kenal dia?" Tanya Niko balik.     

"Ya, dia salah satu pasien di rumah sakit tempat ku bekerja. Istri orang kaya, kak. Dia menginap di kamar rawat inap paling mahal di rumah sakit." Jawab Likha sambil menyerahkan kembali foto tersebut ke kakaknya karena bubur yang mereka pesan sudah siap santap.     

"Oya? Sudah menikah? Lalu kenapa bosku menyuruhku mencari informasi tentang wanita ini?" Niko memiringkan dagunya dan mulai menyantap bubur yang ada di dalam mangkuk genggamannya.     

"Mungkin bos kakak tidak tahu dia sudah menikah."     

"Oh bisa jadi. Lalu dia sakit apa sampai harus dirawat?" Tanya Niko lagi. Merasa pekerjaanya membuahkan informasi yang sangat banyak, Niko semakin semangat mengorek informasi dari adik satu-satunya itu.     

"Wanita itu sedang hamil muda." Jawaban Likha membuat Niko tersedak bubur yang baru menyentuh kerongkongannya.     

"Pelan-pelan kak. Makanya, selalu kubilang sebelum makan baca Bismillah dulu." Likha menepuk-nepuk punggung sang kakak.     

"Kamu bilang sedang hamil? Wahhh, menarik sekali. Pertama bosku tidak tahu kalau dia sudah menikah, dan sekarang wanita ini sedang hamil? Ckckck, aku tidak tahu apakah aku masih bisa selamat nanti saat menghadap bosku." Niko menghentikan sejenak mengunyah buburnya.     

"Kenapa begitu? Memangnya bos kakak malaikat pencabut nyawa?" Tanya Likha polos.     

"Dia bukan malaikat pencabut nyawa. Tapi, dia iblis yang bisa mencabut nyawa lebih kejam." Jawab Lewis dengan suara tertahan.     

"Haaah, ada orang seperti itu?" Likha menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menyuap bubur pengganjal lapar di perut.     

"Terus, kapan rencana mereka keluar dari rumah sakit?" Niko bertanya lagi tanpa menyentuh buburnya.     

"Belum tahu. Biasanya sih 2-3 hari lagi. Pagi ini dicek dulu sama dokter untuk memastikan boleh pulang tidaknya." Jawab Likha polos. Perempuan berjilbab yang jauh dari dunia malam dan gemerlapnya kota Bali ini, hanya memiliki dua dunia: rumah sakit dan kosan. Jadi, sudut pandangnya sangat terbatas dan tidak memiliki wawasan yang cukup tentang kota yang dia dan kakaknya tinggali sejak 5 tahun yang lalu.     

"Ya sudah segera selesaikan makananmu. Kakak harus kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat kerja." Jawab Niko sambil menghabiskan bubur yang ada di hadapannya.     

Kakak beradik itu pun tidak terlibat percakapan lagi. Mereka terlarut dalam kesibukannya masing-masing dan Niko pun mengantarkan kembali adiknya ke kosan sebelum dia kembali ke rumah kontrakannya.     

-----     

"Kondisi nyonya Calista sudah membaik. Namun, morning sicknessnya akan berlangsung lama. Jadi, saya harap bapak yang sabar dan terus mendukung dia agar kehamilannya berjalan lancar sampai masa persalinan kelak." Darren berkonsultasi dengan dokter wanita yang merawat Calista.     

"Okay, saya pasti support dia. Oya dok, apakah saya bisa mengetahui jenis kelamin bayi yang dikandung istri saya?" Darren berkata lagi.     

"Saat ini masih terlalu dini. Tunggu dua minggu lagi untuk dicek agar hasilnya terlihat jelas semua. Dari jenis kelamin sampai jumlah janin yang dikandung." Jawab dokter tersebut sambil tersenyum ramah.     

"Baiklah kalau begitu. Jam berapa istri saya bisa keluar dari rumah sakit?"     

"Secepatnya. Perawat saya sedang mengurus surat-surat kepulangannya. Bapak tunggu dipanggil saja ya di kamar." Darren dan dokter itu mengakhiri percakapan mereka dengan berjabat tangan.     

"Kamu sudah makan?" Sesampainya didalam kamar, Darren melihat Calista yang tampak segar karena baru saja selesai mandi yang dibantu oleh Hera.     

"Sudah." Jawab Calista singkat. Calista masih marah dengan kalimat yang terakhir diucapkan Darren. Matanya tidak menatap lawan bicaranya meskipun bibirnya menjawab apa yang ditanyakan.     

Darren memberikan kode kepada Hera untuk keluar ruangan. Hera pun mengerti dan mengundurkan diri dengan membungkukkan kepalanya.     

"Bu Hera mau kemana? Aku belum selesai." Calista setengah berteriak memanggil Hera yang sudah sampai depan pintu untuk keluar. Hera hanya menoleh sebentar lalu pamit undur diri dengan menutup pintu.     

"Huft …" Calista menghela napasnya merasa panggilannya tidak didengarkan.     

"Apa yang belum selesai? Biar aku bantu selesaikan." Darren mendekati wanita hamil yang moodnya naik turun tak kenal waktu itu.     

"Tidak ada. Aku bisa sendiri." Calista mengubur dirinya dalam selimut rumah sakit hingga seluruh tubuhnya tertutup semua tanpa terkecuali.     

Darren menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Calista. Namun, dia akui kalau dia bersalah atas kalimat becandaan yang diucapkan tadi pagi-pagi. Maksudnya ingin sekedar menghibur Calista tapi apa daya, hiburannya terlalu serius untuk seseorang yang tidak pernah melawak sama sekali.     

"Bangunlah, aku akan menyuapimu sarapan." Darren berkata dengan suara beratnya.     

Calista konsisten tidak menjawab dengan tetap berdiam diri didalam selimut.     

"Calista, kesabaranku ada batasnya. Bangunlah, kalau kamu tidak mau makan, setidaknya baby butuh makanan." Darren berkata dengan nada datar namun penuh penekanan.     

Calista membuka selimut yang menutupi tubuhnya perlahan-lahan.     

"Aku masih belum bisa makan. Aku masih mual kalau mencium bau makanan." Calista berkata. Perempuan ayu yang mengenakan dress selutut warna putih tersebut, tampak seperti peri yang turun ke bumi untuk meluluhkan hati seorang manusia keras kepala dan dingin seperti Darren.     

"Sedikit saja paksakan. Yang penting perutmu tidak kosong sama sekali." Darren duduk di tepian ranjang sebelah kiri dan mengambil bubur sarapan ibu hamil yang berada di atas nakas.     

Calista menghela napasnya kuat-kuat. Pikirannya sedang distimulasi untuk mau menerima apapun yang ada dihadapannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.