Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 58: Menyentil Kening



BAB 58: Menyentil Kening

0"Halo." Suara papa Britney terdengar setelah beberapa kali bunyi deringan musik di ponsel papanya yang harus Britney dengar.     

"Pa, aku mau ketemu papa besok. Bisakah?" Britney menghela napas berkali-kali.     

"Ada apa? Kalau penting bisa dibicarakan sekarang di telpon." Jawab Ricky.     

"Aku harus bertemu papa, tidak bisa lewat telpon."     

"Hmm, baiklah. Datang sebelum jam 9 besok pagi. Papa mau bertemu klien di luar kantor jam 10 pagi." Ricky berkata.     

"Okay, aku kesana jam 8an. See you pa." Ujar Britney.     

"See you." Jawab Ricky.     

"Semua sudah siap untuk besok?" Donni menelpon asisten kepercayaannya.     

"Sudah tuan. Termasuk semua akomodasinya."     

"Jangan sampai ada yang terlewat. Apa perempuan itu masih ada disana?" Donni mengeraskan rahangnya.     

"Nyonya masih ada disini, tuan." Jawab Jay, asisten Donni yang seusia dirinya.     

"Awasi terus dia, jangan sampai kehilangan jejaknya lagi. Kamu tahu, kita butuh waktu bertahun-tahun lamanya hingga akhirnya bisa menemukannya sekarang." Iris hitam pekat berkilatan di tengah malam. Ada jiwa penasaran yang terpendam sekian lama di dada hingga ingin segera ditumpahkan secepatnya.     

"Baik tuan."     

-----     

Jam menunjukkan hampir pukul 5 pagi. Calista ingin pergi ke toilet namun lagi-lagi tangan kekar memeluk dirinya erat sekali. Meskipun si pemilik tangan kekar itu sedang tidur, namun pelukannya tidak kendor sama sekali. Calista ingin bangun tanpa membangunkan Darren tapi sepertinya itu tidak mungkin.     

"Darren … Darren …"     

"Hmm …"     

"Aku ingin ke kamar mandi. Tolong lepaskan tanganmu dulu. Aku tidak bisa bergerak." Jawab Calista sambil menatap wajah Darren yang tetap tampan meskipun wajahnya kucel bangun tidur.     

"Mau ngapain?" Jawab Darren masih tetap konsisten memejamkan matanya.     

"Aku mau pipis. Duhh aku tidak tahan lagi." Calista terpaksa merengek karena hasratnya ingin membuang hajat sudah tidak terbendung lagi.     

"Ohh, okay. Maafkan aku." Darren membuka matanya dan segera membantu Calista untuk memegang tiang yang membawa botol infus di atasnya. Calista pun di papah menuju kamar mandi.     

"Aku bisa sendiri. Kamu tidur lagi saja." Jawab Calista sambil meraih tiang infus untuk dibawanya sendiri ke kamar mandi.     

"Sudahlah aku pegangin, kamu mana bisa sendiri."     

"Aku sudah sehat, Darren. Cepat berikan padaku." Calista memaksa ingin sendirian namun Darren tidak memberikannya. Apalah ini ke kamar mandi saja pakai ditemani segala. Aku malu tahu. Batin Calista. Calista cemberut namun dia tetap berjalan ke kamar mandi karena sudah tidak tahan lagi.     

"Kamu diluar saja. Aku bisa sendiri." Calista mengambil tiang infus dan mendorong tubuh Darren keluar dari pintu kamar mandi. Darren yang tidak siap, terdorong keluar dengan mudahnya. Karena jiwanya pun masih belum menyatu dengan sempurna selepas bangun tidur.     

"Cih! Memangnya dimana bagian tubuhmu yang belum pernah aku lihat dan pegang?" Darren berkata setengah teriak kepada Calista agar bisa terdengar. "Memangnya yang semalam membersihkan kewanitaanmu siapa?" Darren berkata dengan pelan kali ini dan langsung berbalik arah menuju sofa untuk duduk sejenak.     

"Diaaam!" Calista membalas perkataan Darren dengan teriakan yang hanya terdengar Darren. Sungguh pria tidak tahu malu, batin Calista.     

Calista keluar dari kamar mandi dengan wajah suram. Dia memegang tiang infus dengan tangan kanannya. Darren yang sedang mengecek ponselnya, langsung menghampiri Calista begitu melihat ibu dari anaknya kelak itu sudah keluar.     

"Bagaimana? Lega?" Tanya Darren tanpa basa basi.     

"Kamu … semalam yang membersihkan 'itu' aku?" Tanya Calista sambil menatap Darren dengan wajah malu-malu dan cemberut jadi satu. Darren yang tahu maksud dari perkataan Calista, mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri.     

"Itu apa?"     

"Itu … ya itu …" Jawab Calista dengan memundurkan wajah sambil mengernyitkan alis.     

"Aku tidak tahu maksudmu dengan 'itu'." Jawab Darren sambil menyeringai jahil.     

"Ih benarkan? Huft …" Calista enggan berdebat dengan pria ini. Dia pun melanjutkan kembali langkahnya menuju kasur.     

"Memangnya kenapa kalau aku yang membersihkan? Bukan kali ini saja aku menyentuhnya." Jawab Darren tanpa malu.     

"Ihhhh, tidakkah kamu pernah merasakan malu untuk mengucapkan sesuatu yang tabu?" Calista tidak habis pikir. Apa isi otak Darren yang menganggap semuanya biasa saja. Tidak ada yang perlu untuk ditutup-tutupi.     

"Malu? Kenapa aku harus malu? Toh aku ngomong begini ke istriku sendiri." Kalimat terakhir yang Darren ucapkan lagi-lagi membuat Calista tidak bisa berkutik. Sejak kapan dia mulai terpengaruh dengan semua ucapan Darren? Calista tidak ingin terhanyut dalam perasaan yang tidak sungguh-sungguh ini. Kelak saat perpisahan mereka, Calista tidak ingin timbul rasa sedih dan kehilangan. Pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. Kontrak simbiosis mutualisme yang semua orang bisa lakukan. Hanya saja saat ini Calista lah peran utama wanitanya.     

"Kamu mikirin apa? Kebiasaan kan sering melamun. Nanti lama-lama otakmu tambah lemot." Jawab Darren sambil menyentil kening Calista.     

"Aww … sakit." Calista memegang keningnya dan menggosok-gosoknya.     

Darren menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Calista yang menurutnya seperti anak kecil namun terjebak didalam tubuh seorang wanita dewasa.     

"Sudah, sekarang masih pagi. Kamu mau membersihkan badan? Biar aku panggilkan perawat." Darren menuntun Calista untuk duduk kembali diatas kasur.     

"Aku mau duduk di sofa saja. Bosan di atas kasur terus." Jawab Calista sambil berjalan menuju sofa panjang yang ada didalam ruangan.     

"Mau melakukan suatu aktivitas di atas kasur agar tidak bosan?" Ujar Darren sambil menaikkan satu alisnya.     

"Tidak sama sekali!" Jawab Calista dengan tegas. Dia tahu betul apa yang ada di dalam otak Darren. Darren terkekeh sehingga menampakkan deretan giginya yang putih cemerlang diantara tumbuhnya bulu-bulu halus diatas bibir dan sekitar rahang.     

"Kata dokter aku bisa pulang hari ini. Tapi, jarum infus saja belum dicabut." Calista memandang lirih punggung tangannya yang tertutup perban dan selang kecil.     

"Kita langsung kembali ke Jakarta begitu keluar dari rumah sakit. Hera sudah menginap di kamar hotel yang sama dengan kita. Aku nanti minta tolong dia untuk merapihkan semuanya." Jawab Darren sambil menyugar rambutnya ke belakang. Rambut rapihnya yang hitam lebat bergerak sempurna mengikuti arah jari jemarinya.     

"Oh, bu Hera ada di sini? Kalau begitu, kamu bisa keluar untuk jalan-jalan keliling Bali sementara Hera menemaniku disin." Jawab Calista dengan santai tanpa menatap wajah Darren. Perempuan ayu yang baru dinyatakan hamil 6 minggu itu justru sedang mengamati perutnya yang masih rata. Calista berharap anak yang dilahirkan kelak kembar tiga langsung. Jadi, tidak butuh waktu lama untuk menuntaskan perjanjian dengan ayah si bayi.     

"Aku keliling Bali sendirian? Huh, apa kamu mengusirku? Apa kamu tidak suka aku temani?" Darren berkata sambil memangku pipi kanan dengan satu tangan yang bersandar diatas lutut.     

"Bu-bukan itu maksudku. Aku hanya merasa kalau kamu bosan menemani orang sakit seharian." Jawab Calista gugup.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.