Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 158. Kolam Ikan Jernih



II 158. Kolam Ikan Jernih

0CEKLEK!     

Pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam, bergeser membuka dirinya. Perempuan yang memiliki rambut sebahu dengan setelan piyama keluar dari dalam kamar mandi dengan menggenggam sesuatu di tangannya.     

"Sedang apa didalam lama sekali?" Dave bertanya penasaran.     

"A-aku …" Dian bingung tidak tahu harus berkata apa.     

"Apa?" Pria yang sudah memakai kaos dan celana rumahan selepas mandi itu, mengerutkan dahinya.     

"A-aku …" Dian menggigit bibirnya bingun sambil matanya bergerak kesana kemari.     

"Aku apa? Katakan!" Tanya Dave tidak sabar.     

Dian menelan saliva susah payah dan memejamkan matanya sambil menghela napas. Kening Dave mengerut tidak mengerti.     

"Dave, aku …" Daripada mengatakan sesuatu, Dian memilih menyerahkan benda sepanjang jari telunjuk warna putih berbentuk persegi ke arah Dave.     

Tiba-tiba dada Dave ikut bergemuruh melihat benda yang pernah dilihatnya di acara televisi yang dia tonton.     

"Kamu … hamil?" Tanya Dave sambil memiringkan dagu.     

"Aku baru tahu tadi. Aku tidak tahu, aku … aku … Whoaaaa …" Belum selesai Dian berkata, Dave sudah mengangkat tubuh sang istri tinggi-tinggi.     

"Yeaaayyy, akhirnyaaa aku akan menjadi seorang ayah. Akhirnya, akhirnya. Terima kasih sayang." Dave mencium Dian bertubi-tubi. Di kepala, pipi, kening, hidung, mata, dan bibir dengan sangat dalam dan penuh hasrat.     

Dian tidak bisa berbuat apa-apa. Baru kali ini sejak pertama bertemu Dave, pria itu tersenyum dan tertawa lepas. Dian hanya bisa menyeringai bingung.     

"Kamu … tidak marah?" Tanya Dian heran.     

"Kenapa harus marah? Justru aku senang, aku akan menjadi seorang ayah. Kamu pikir aku menikah denganmu untuk main-main? Aku menikah ingin memiliki keturunan yang bisa meneruskan apa yang aku kerjakan dan aku miliki." Dave mendekap tubuh Dian dengan erat dan penuh kasih sayang.     

"Kamu tahu? Sebelum aku mengenalmu, aku pria yang hidup bebas, menghalalkan segala cara, dan bergonta ganti pasangan tidur. Aku akui aku salah. Aku tidak punya kompas dalam mengarungi kehidupan." Dian diam mendengarkan semua yang diceritakan Dave.     

Dian sudah tahu dari kepala HRD tempat dia bekerja sebelumnya, kalau CEO mereka adalah petualang cinta dan senang berpesta pora. Namun, satu kelebihan seorang Dave adalah pria ini pekerja keras dan intuisi bisnisnya sangat kencang. Ketika sedang bekerja, jangan harap bisa bermain-main. Namun, ketika sedang diluar jam kerja, dia tidak ingin diganggu dengan urusan pekerjaan.     

"Kamu akan menjadi ibu dari anak-anakku. Sudah sepatutnya aku menjagamu sebaik mungkin. Aku tidak punya keluarga lagi didunia ini, selain kamu. Kita akan menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita. Mereka akan meramaikan isi rumah ini dengan suara-suara nyaringnya." Ucap Dave.     

"Anak-anak? Mereka?" Apakah ini berarti Dave menginginkan banyak anak? Gumam Dian.     

"Ya, kamu benar sekali. Aku mau punya banyak anak, minimal lima lah." Jawab Dave ringan.     

"APA? Lima minimal? Kamu mau punya anak manusia atau anak kucing?" Dian menggeleng-gelengan kepalanya. Hilang sudah rasa takutnya, dan malah berubah jadi horror karena Dave justru menginginkan banyak anak.     

"Kenapa? Aku anak tunggal merasakan betul bagaimana sepinya tanpa saudara. Aku tidak ingin anak-anakku akan sepertiku dulu." Dave mengekori Dian kemanapun perempuan itu pergi.     

"Dave, aku … ah sudahlah." Dian malas untuk berdebat dan memilih untuk pasrah saja. Buat apa membicarakan sesuatu yang belum terjadi, pikirnya.     

"Kita ke rumah sakit sekarang untuk memastikan."     

"Sekarang? Aku sarapan dulu ya."     

"Okay, kita sarapan dulu lalu berangkat ke rumah sakit." Jawab Dave.     

Pria petualang cinta yang sudah bertekuk lutut dengan seorang perempuan bernama Dian itu pun menggandeng mesra tangan sang istri untuk menuruni anak tangga menuju meja makan.     

"Selamat Pagi tuan Dave, nyonya Dian." Seperti biasa, senyum manja Feni, pelayan muda, hanya untuk Dave, sedangkan senyum robot untuk Dian.     

"Pagi," Jawab Dian. Sementara Dave tidak pernah memberi salam dan menjawab salam sama sekali.     

Tampak beraneka makanan tersaji lengkap diatas meja. Dian merasa semua itu pemborosan namun dia tidak berani menegur jadi dia hanya melihat lirih semua sajian. Dan, Dave melihat itu.     

"Mulai besok, menu makanan dari pagi sampai malam, biar nyonya kalian yang memutuskan mau makan apa. Kalian paham?" Dave berkata kepada beberapa pelayan yang masih ada disana.     

"Paham tuan." Jawab 3 orang pelayan yang hadir, termasuk Feni.     

Dian kaget mendapat amanah yang tiba-tiba. Bukan sekali ini saja Dave bisa membaca pikirannya. Dian berpikir untuk berhati-hati dalam mengatur apa yang ada dalam pikirannya kalau didepan Dave.     

-----     

"Bagaimana kalau kalian menginap disini malam ini?" Ibu bertanya, sambil menata meja makan untuk makan siang. Berhubung Calista dan Darren datang mendadak tanpa pemberitahuan, ibu hanya memasak seadanya saja bahan yang ada didalam lemari pendingin.     

Darren dan Calista saling bertukar pandang bingung. Mau menolak tidak enak, tapi kalau diterima … pasti akan terjadi sesuatu yang memalukan. Bapak membaca gelagat anak dan menantunya.     

"Sudahlah, biarkan mereka kembali ke hotel setelah makan siang. Lagipula disini kamar Calista sudah buat gudang. Tidak ada kamar lagi." Jawab bapak.     

"Ibu dan bapak bisa tidur didepan tv, dan kalian tidur di kamar." Ucap ibu lagi. Calista tersenyum meringis.     

"Oh tidak usah bu. Kami akan kembali ke hotel saja. Besok pagi kami akan kesini lagi." Jawab Darren.     

"Huft, kalian tidak pernah pulang dan sekalinya datang hanya beberapa jam saja." Ibu mengeluh sambil cemberut.     

Darren mendekati Calista yang sedang mengelap peralatan makanan dengan serbet, sambil berbisik, "Aku menginginkanmu malam ini. Jadi, terserah kamu istriku, mau disini atau di hotel, dimana saja aku bisa. Dan, kamu tentu tidak lupa kalau aku adalah pria yang tidak tahu malu. Cuppp!" Darren mengecup ubun-ubun Calista dan meninggalkannya menuju teras untuk mencari angin segar.     

Seketika bulu kuduk Calista meremang. Sial! Apa yang dia katakan tadi? Aduh, bagaimana ini? Pikir Calista. Darren selalu tidak tahu malu dimanapun kapanpun.     

"Ibu, sepertinya aku harus kembali ke hotel. Aku juga ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Besok pagi kami akan kemari lagi." Ucap Calista.     

"Huft, baiklah kalau begitu. Besok pagi kalian harus datang lagi ya." Ibu mengancam sambil menunjukkan sendok ke arah Calista.     

"Iya ibu, kami pasti datang kesini lagi besok. Setelah itu kami ingin menjelajahi Jogja." Jawab Calista lagi.     

"Sudah sudah, ayo kita makan siang dulu. Bapak sudah lapar. Calista, panggil suamimu masuk." Bapak mengambil kruk yang bersandar di dinding dan mulai berdiri untuk menuju kursi makan.     

"Iya pak." Calista keluar untuk memanggil suaminya, yang ternyata sedang menikmati kolam ikan jernih yang hanya selebar satu meter berisi ikan lele yang banyak sekali jumlahnya.     

"Darren, ayo masuk." Calista menepuk bahu suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.