Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 119: Ketahuan



BAB 119: Ketahuan

0"Masuk."     

"Anda memanggil saya nyonya?" Hera membuka pintu dan berjalan menghampiri nyonya mudanya.     

"Iya. Bu Hera kemarilah. Ada kabar dari Wandi? Aku mau telpon dia tapi mungkin ibu tahu lebih baik." Jawab Calista bisik-bisik.     

"Nyonya, sebaiknya kita hentikan saja ini sebelum tuan tahu. Tuan akan marah besar kalau dia tahu kita berbuat seperti ini diam-diam." Jawab Hera dengan patuh.     

"Lalu, kita harus terang-terangan gitu bilang ke Darren?" Calista menekuk bibirnya.     

"Bukan gitu nyonya. Akan lebih baik lagi kalau kita minta tolong saja tuan Darren untuk mengerahkan orang-orangnya. Dengan demikian hasil dari pencarian bisa lebih maksimal dan cepat ditemukan." Jawab Hera. Wajahnya menatap lurus Calista dengan ekspresi datar namun sesekali ada rona khawatir di matanya.     

"Ibu khawatir dengan cara kerja Wandi atau keselamatannya?" Perempuan yang saat ini mengenakan dress lurus jenis kain rayon premium dengan lingkar leher berbentuk V dan kancing imitasi sepanjang badan dari atas sampai bawah itu, duduk di tepi kasur dengan satu kaki disilangkan ke atas kaki lainnya.     

"Wandi keponakan saya satu-satunya. Kedua orangtuanya sudah tidak ada. Saya merawatnya dari bayi sampai sekarang. Jadi, saya agak khawatir kalau dia mengerjakan sesuatu yang mengandung resiko berat." Hera agak menyesali keputusannya memperkenalkan Wandi pada nyonya mudanya untuk mengemban misi yang dianggapnya berbahaya. Namun, dia tidak bisa menolak begitu saja. Karena biar bagaimanapun, uang muka sudah diterima Wandi dan sudah dipakai untuk memperbaiki motornya yang masuk bengkel karena rusak parah.     

"Hmm, coba nanti aku hubungi Wandi. Aku ingin menanyakan status penyelidikannya sudah sampai mana. Okay, terima kasih bu Hera. Oya, aku sedang bersiap-siap ke butik. Ibu temani saya ya seperti biasa. Setelah itu aku mau ke salon. Darren sudah mengijinkan." Calista tersenyum tipis dan mengangguk tanda dia sudah selesai berbicara dan Hera bisa bersiap-siap di bawah.     

"Baiklah nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya akan bersiap-siap juga dan menunggu dibawah." Hera membungkuk hormat dan memundurkan langkahnya lalu meninggalkan Calista seorang diri.     

Sepeninggal Hera dan pintu tertutup, Calista menghembuskan napas kasar lewat bibirnya. Dia merebahkan setengah tubuhnya bagian atas ke atas kasur empuk.     

"Benar juga kata bu Hera. Kalau Darren sampai tahu aku sembunyi-sembunyi, habislah aku dicincang." Calista bergumam sendiri.     

"Coba kau telpon dulu Wandi. Mudah-mudahan ada hasil walaupun sedikit." Calista mencari nama yang ada di daftar pencarian telponnya. Tertera nama Wandi disana dan dia pun mulai menekan namanya dan melakukan panggilan keluar.     

"Halo, Wandi?" Merasa telponnya tersambung. Calista menyapa lebih dahulu.     

"Halo …sayang." Suara itu? Suara berat dan menyeramkan. Tiba-tiba bulu kuduk Calista berdiri.     

"Huaaaaaaa …." Calista menekan tombol warna merah dan melempar ponselnya ke atas kasur.     

"Gawat ini, gawat. Aduhhh bagaimana ini? Kenapa telpon Wandi ada pada Darren? Aduh kacau kalau begini, aduh bagaimana dong?" Calista berjalan mondar-mandir sambil menggigit bibirnya seperti kebiasaanya kalau sedang panik. Untuk sesaat dia pun duduk menenangkan dirinya. Ponselnya tidak bordering. Darren tidak menelpon balik dirinya. Kepalanya mencoba berpikir untuk melakukan sesuatu yang akan membuat Darren memaafkannya, karena telah berbuat nekat dibelakangnya.     

"Nyonya …"     

"Bu Hera …" Hera menghampiri Calista yang sedang berjalan menuruni anak tangga.     

"Nyonya, tuan sudah tahu. Wandi sekarang ada di kantor tuan." Hera tampak sangat panik. Sorot matanya memancarkan kegelisahan luar biasa. Dia takut keponakannya akan dihukum Darren.     

"Iya, aku sudah tahu bu. Tadi aku menelpon Wandi tapi yang terima Darren." Calista berkata dengan mata sendu.     

"Aduh bagaimana ini nyonya?" Hera sangat takut dengan hukuman yang akan diberikan Darren. Tuan majikannya selalu tenang di luar namun jika sudah bergerak, ruang ICU bisa jadi tempat terakhir korbannya.     

"Ibu tenang saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan." Calista menyeringai sambil mengedipkan sebelah matanya.     

"Sekarang kita ke butik dulu yaa." Calista berkata sambil berjalan menuju mobil yang sudah menunggu mereka untuk berangkat.     

Hera tidak tahu trik apa yang akan dilakukan nyonya mudanya. Tapi, dia percaya, majikan perempuannya ini akan menolong keponakannya yang sedang berada di tangan majikan lelakinya, Darren si pria bermanik mata hijau.     

Mobil yang membawa Calista berjalan tenang tanpa hambatan kemacetan jalanan. Namun, isi hati penghuni didalamnya berbanding terbalik dengan suasana di luar mobil. Calista dan Hera sedang bergelut dengan pikiran dan hatinya masing-masing.     

Setelah satu jam akhirnya mobil yang membawa Calista dan Hera sampai didepan butik Da House. Hera turun lebih dahulu dan berputar ke belakang mobil untuk membuka pintu untuk nyonya majikannya.     

Calista berjalan dengan anggun namun tidak dibuat-buat. Flat shoes yang dipakainya memudahkannya bergerak lincah kesana kemari. Baru saja kakinya melangkah masuk, kedua matanya terbelalak lebar ketika melihat seorang perempuan cantik dengan rambut sebahu berdiri di hadapannya mengenakan seragam khusus karyawan butik DA HOUSE.     

"Dian? Ya ampuuun, kamu kemana saja?" Calista langsung berjalan cepat dan memeluk sahabatnya yang sudah dicarinya beberapa hari itu.     

"Calista, aku kangen kamu." Dian menangis sesenggukan dipelukan Calista. Semua karyawan yang melihat dua orang saling berpelukan itu saling bertukar pandang tidak mengerti. Dian hanya bercerita kepada mereka kalau dia ada urusan keluarga mendadak jadi tidak bisa masuk kerja selama tiga hari kemarin. Dan, ponselnya tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal di kampungnya.     

"Kita bicara nanti saat jam makan siang yaa. Sekarang, kamu kerja dulu. Aku juga mau bertemu mami mertuaku sekarang. Ingat, jangan kemana-mana saat makan siang." Calista memeluk kembali Dian yang masih basah matanya dengan air mata. "Ohhh, aku senang sekali kamu datang." Ucap Calista sebelum pergi meninggalkan Dian.     

"Aku juga, aku senang bisa kembali bekerja disini." Jawab Dian singkat.     

Calista berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat dimana ruangan Sara berada.     

" Selamat pagi mi." Calista mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk.     

"Haii, masuk sayang. Sini mami mau cerita sama kamu." Sara menarik lembut tangan Calista untuk masuk dan duduk di sofa yang ada di tengah ruangan.     

"Ada apa mi? sepertinya serius sekali." Calista yang penasaran, tidak bisa menyembunyikan pertanyaannya.     

"Calista sayang, mami mau tanya. Mami Calista sekarang ada dimana?" Sara bertanya dengan terus menatap mata hitam menantu perempuannya.     

"Ibu saya? Ibu saya ada di Jogja, mi. Beliau merawat bapak di kampong karena bapak habis menjadi korban tabrak lari." Jawab Calista lirih. Ada apa ini mami mertuanya tiba-tiba menanyakan keadaan ibunya.     

Sara menghela napas. Mencoba memberi ruang untuk pertanyaan berikutnya. Sara penasaran dengan kemiripan wajah antara Agnes dan Calista. Mereka bagai pinang dibelah dua dan yang membedakan hanya usia mereka saja yang diperkirakan sekitar dua puluhan tahun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.