Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 172. Bertamu Kerumah Dian (2)



II 172. Bertamu Kerumah Dian (2)

0"Nyonya mau pergi sendiri?" Tanya Hera lagi keheranan.     

"Ya, kenapa tidak?" Calista balik bertanya. "Apa karena aku sedang hamil? Helooo, aku hamil, bukan sakit. Dan, aku masih bisa kesana kemari. Bahkan naik motor pun aku masih berani. Apa wanita hamil tidak boleh melakukan kegiatan apapun?" Calista gemas bukan kepalang. Semua orang menganggap dirinya seperti batu pualam yang rentan retak jika dibiarkan bebas begitu saja. Padahal, Calista pun tahu batasan kekuatannya sampai mana.     

"Lebih baik bilang dulu ke tuan Darren. Kalau tuan Darren mengijinkan, pasti nyonya diberikan ajudan dan supir untuk kesana kemari lebih leluasa." Jawab Hera. Karena biar bagaimanapun disembunyikan, tuan mudanya pasti tahu apa yang dilakukan istrinya.     

"Hmm, begitu yaa. Baiklah, aku coba nanti. Huft. Aku berharap dia segera menyetujuinya. Karena aku tidak tahu apa yang sedang dialami Dian saat ini." gumam Calista dengan wajah tertunduk sedih, sambil menatap layar ponselnya yang terpampang nama Dian dan fotonya sebagai foto panggilan.     

-----     

"Nyonya, sarapannya." Feni datang mengetuk pintu dan masuk membawakan semangkuk bubur kacang hijau dan bubur ketan hitam, beserta segelas teh manis hangat.     

"Terima kasih Feni. Tapi, aku belum lapar." Jawab Dian sendu. Hari-harinya hanya diisi dengan menatap ke luar jendela yang ada dilantai dua. Dari atas jendela kamar Dian, nampak pemandangan langsung ke jalanan. Beberapa pasang orangtua bersenda gurau dengan anak-anak mereka sedang berolahraga pagi. Ada yang berlari kecil, naik sepeda, atau sekedar berjalan-jalan.     

Namun, Dian hanya bisa berdiam diri didalam rumah terkurung tidak boleh kemana-mana. Dian mendesah menghembuskan napas. Perempuan ini mencoba berdamai dengan kenyataan, mencoba menerima nasibnya, namun tiba-tiba suara hatinya memberontak menolak dan memaksanya untuk keluar dari rumah ini bagaimanapun caranya.     

"Feni, apa aku boleh pinjam telpon genggammu lagi?" Tanya Dian, dengan senyum memelas.     

"Maaf nyonya, telpon genggamku kehabisan pulsa." Feni menekuk wajahnya dengan sedih.     

"Oh, bagaimana ya? Aku hanya ingin menelpon temanku saja." Jawab Dian.     

"Hmm, pinjam telpon pelayan lain saja, nyonya. Nanti aku bantu pinjamkan." Jawab Feni dengan wajah berseri-seri memberi semangat nyonya mudanya yang usianya mungki hanya dua tahun diatasnya.     

"BRAK!!!" Pintu kamar terbuka lebar dengan kencang. Sosok pria yang sangat ditakuti Dian muncul tiba-tiba. Feni tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Dia pun pamit untuk undur diri keluar dari kamar.     

"Kamu! Kalau masih mau hidup, jangan pernah membantu nyonyamu meminjamkan ponsel. Paham?" Suara Dave pelan namun penuh aura berbahaya yang membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan.     

"I-iya tuan. Maafkan saya. Saya permisi dulu." Feni keluar dari kamar dengan membungkuk dan berlari keluar kamar secepat mungkin. Tidak lupa Feni menutup pintu kamar sebelum pergi.     

Dave melihat Dian berdiri terpaku memandang keluar jendela.     

"Apa kabarmu?" Dave melangkah perlahan mendekati Dian namun Dian bergerak menjaga jarak sejauh yang dia bisa.     

"Jangan memancing ku untuk marah kembali padamu." Jawab Dave sambil mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangan.     

"Jangan dekat-dekat. Hawa tubuhmu bagaikan aroma kematian bagiku." Jawab Dian, menatap sekilas mata hitam Dave, lalu melihat ke arah lain lagi.     

"Huh, itu karena kamu memancing emosiku." Dave berjalan mendekati Dian yang justru menjaga jarak semakin lebar.     

"Jangan sentuh aku, aku baru keguguran. Dokter menyarankan dua minggu lagi baru boleh berhubungan." Dian gemetar ketakutan. Dave semakin dekat namun dia tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Tubuhnya sudah terjepit ke belakang dinding kamar.     

Dave mengurung tubuh Dian dengan kedua tangannya. Pria itu menempelkan dahinya ke dahi Dian. Hidung mereka pun saling bersentuhan. Napas Dian tersengal-sengah ketakutan karena aura yang keluar dari Dave seperti iblis yang siap menghisap rasa gembira di hatinya.     

"Aku kangen kamu." Tangan Dave meraba wajah Dian. Mulai dari kening, mata, hidung, dan pipinya. Kedua bibir Dian pun diusap dengan ibu jari Dave yang besar dan panjang. Dian hanya bisa memejamkan mata dan menahan napasnya dalam-dalam.     

"Hentikan!"     

"Ssst … biarkan aku menikmati momen ini. Aku tidak bisa memasukimu 10 hari dari sekarang. Tapi, setidaknya … aku masih bisa menciummu dan bermain tanpa harus mengeluarkan didalam." Seringai iblis Dave terbit bersamaan dengan kedua mata Dian yang terbelalak lebar.     

"Jangan gila! Aku tidak mengijinkan itu!" Jawab Dian dengan suara terengah-engah menahan emosi.     

"Sejak kapan aku butuh ijinmu? Kalau aku meminta ijin darimu, pasti aku tidak bisa menikmati keperawanmu. Hmm?" Jawab Dave sambil mengedip dengan satu matanya.     

"Brengsek! Sialan! Dasar Iblis! Mati saja lah kamu!" Dian mendorong tubuh Dave sekeras mungkin. Dave yang tidak ada persiapan, mundur beberapa langkah setelah mendapatkan dorongan kencang dari istrinya yang masih berduka.     

"PERGI! PERGI! Atau biarkan aku pergi, kalau kamu tidak mau pergi!" Dian berlari hendak keluar kamar namun pinggangnya ditarik Dave hingga jatuh ke atas kasur. Dave menindih tubuh Dian yang ada dibawahnya. Kedua tangan Dian digenggam diatas kepalanya.     

"LEPASKAN AKU! LEPASKAN AKU!" Dian meronta berharap dilepaskan. Dave menyeringai sinis dan tersenyum puas setiap melihat Dian tidak berdaya dibawahnya. Dengan penuh nafsu, Dave melumat bibir Dian yang menjadi candunya. Pria itu pergi menenangkan diri di Villa karena khawatir akan memakan Dian jika dia berada satu atap dengannya.     

Tidak hanya itu, Dave juga merobek kemeja yang Dian pakai sehingga buah dadanya nampak membusung menantang. Dave yang sudah berpuasa selama tiga hari itu, tidak bisa lagi mengendalikan hasratnya. Kedua buah dada sang istri diremas dan dicecapnya berulang-ulang. Dian meronta minta dilepaskan namun tubuh Dave yang kokoh tidak bergeser sedikitpun meski di dorong sekuat tenaga olehnya.     

"Lepaskan aku, brengsek! Aahhhh …" Dian tidak sanggup lagi berontak. Kedua tanganya dipegang Dave sementara bibir Dave menjelajahi sekujur tubuh istrinya yang sangat lama dirindukannya. Selama beberapa hari ini dia memendam hasrat dan tidak mendekati wanita manapun. Dua minggu terasa berat baginya.     

Clap clap clap …     

Bunyi mulut Dave yang mencecap kuncup buah dada Dian, terdengar sangat jelas. Leher Dian pun tidak lepas dari sesapan pria yang kelaparan birahi. Dian pasrah menerima saja apa yang dilakukan oleh Dave pada dirinya. Tenaganya sudah lelah melawan. Dave yang semakin liar meninggalkan banyak jejak kemerahan di tubuh sang istri. Tubuh Dian dibaliknya hingga tengkurap menghadap ke bawah. Dave meraba kulit mulus sang istri dengan mata yang semakin nyalang kelaparan. Dan, sekali lagi pria itu meninggalkan banyak kiss mark di sekujur punggung Dian.     

"Dave, hentikan. Aku belum siap untuk berhubungan." Dengan suara lelah, Dian berusaha menyadarkan Dave yang seperti kerasukan setan.     

"Aarrrrrhhhhhh!" Dave bangun dari atas tubuh Dian dan berteriak kencang. Pria itu melempar bantal ke segala arah karena nafsunya yang sudah memuncak, harus tertahan karena keadaaan.     

Dave menutupi tubuh malang sang istri dengan selimut. "Maafkan aku!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.