Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 171. Bertamu Kerumah Dian (1)



II 171. Bertamu Kerumah Dian (1)

0Jalan-jalan hari ini sangat berkesan bagi Likha. Ketika sedang duduk di hamparan rumput yang luas, Likha menundukkan wajahnya. Tidak terasa air matanya jatuh. Likha merasakan sungguh keajaiban Allah SWT yang Maha Besar. Sungguh dirinya sangat bersyukur bisa menikmati ciptaan-Nya dibelahan bumi lain.     

"Kamu kenapa menangis?" Lewis yang melihat Likha menangis sambil menunduk, bingung bercampur terkejut. Rasanya dia tidak melakukan apapun yang membuat gadis ini menangis.     

"Aku … aku menangis gembira. Hiks … akhirnya aku kesampaian juga ke luar negeri. Hal yang dari dulu aku impi-impikan tapi tidak pernah kesampaian." Likha tersenyum gembira tapi senyumnya lurus menghadap danau didepan mata mereka.     

"Oh …" Lewis lega karena bukan dia yang membuat gadis ini menangis. Hatinya pun turut gembira bisa merasakan keliling Italy padahal dia sering kesini namun tidak pernah berjalan-jalan karena sendirian tidak nyaman buatnya.     

"Suatu saat kamu akan bisa kesini lagi, bahkan ke negara lain di seluruh penjuru dunia, bersama orang yang kamu sayangi." Jawab Lewis, sambil memandang air danau yang jernih.     

"Hehe, kakakku orang sibuk. Dia hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, apalagi untukku. Untungnya, aku pun bekerja jadi kami sama-sama menyibukkan diri agar tidak merasa kehilangan satu sama lain." Jawab Likha. Suaranya yang lembut dan tidak dibuat-buat, membuat Lewis nyaman bisa berbicara lama-lama dengannya.     

"Memangnya, kamu tidak punya orang yang disayang, selain kakakmu?" Lewis bertanya penasaran. Karena perempuan secantik Likha, mustahil tidak ada lelaki yang tidak mendekatinya.     

"Aku terlalu sibuk untuk bekerja. Duniaku hanya rumah sakit dan kos-kosan. Kalaupun ada waktu kosong, aku lebih suka istirahat dirumah sambil menonton drama Korea, hehe …" Jawab Likha malu-malu.     

Lewis membuat gerakan bibir membulat seperti huruf O namun tanpa suara.     

"Kakakmu tidak membolehkanmu pacaran?" Tanya Lewis lagi setelah mereka berdiam diri beberapa menit.     

Likha menggelengkan kepala ringan, "Kakakku tidak menghalangi aku bergaul dengan siapa saja. Dia cuma berpesan agar aku menjaga diri, jangan terjerumus ke pergaulan bebas, dan tidak mudah percaya dengan lelaki. Itu saja." Jawab Likha sambil memainkan gamis bagian bawahnya.     

"Oh begitu. Kakak yang sangat perhatian." Lewis tertawa ringan. Likha mengernyitkan alisnya, dia tidak pernah melihat pria ini tersenyum sebelumnya, apalagi tertawa. Melihatnya yang sekarang, membuat Likha merasa aneh dan ikut tersenyum nyengir.     

"Anda sebenarnya tampan kalau tersenyum, apalagi tertawa. Cuma sayangnya, anda lebih suka diam dan tanpa ekspresi. Aku pikir urat ketawa anda sudah putus." Likha mengatupkan bibirnya, merasakan kalimatnya barusan sangat berani. "Maaf." Likha menimpali kemudian.     

"Huh, yaaah kamu bisa bilang begitu. Lebih baik kamu mengira begitu." Jawab Lewis kemudian.     

"Aahhh, ternyata enak juga duduk disini. Aku mau berbaring sebentar. Kamu jangan kemana-mana, okay?" Lewis merebahkan punggung diatas tikar sewaan. Kedua tangannya bersatu dibelakang kepalanya dan dijadikan bantal untuk tiduran. Mata Lewis perlahan meredup, merasakan ketenangan suasana dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.     

"Okay." Jawab Likha singkat.     

-----     

Calitsa bolak balik melihat layar di telpon genggamnya, berharap ada pesan masuk dari Dian. Sudah dua hari tidak ada kabar dari temannya yang malang itu sejak telpon terakhir meminta tolong. Calista menelpon balik nomer yang Dian gunakan untuk menelponnya terakhir kali namun tidak ada yang menerima.     

"Dian, kamu dimana? Semoga kamu baik-baik saja ya sayang." Calista memutuskan untuk keluar kamar dengan membawa telpon genggamnya. Tidak ada seorang pun yang dijumpai dilantai bawah. Hera pun tidak terlihat dimana-mana. Calista menuju teras samping, dan hanya menemukan seorang bapak tukang kebun yang merawat tanaman yang Calista tanam sejak masih bibit.     

"Selamat siang pak, bapak melihat ibu Hera?" Calista menyapa bapak yang sedang asyik menyapu dan membuang rumput-rumput yang mengganggu.     

"Oh, saya tidak melihat bu Hera, nyonya. Mungkin di dapur." Jawab bapak tersebut.     

"Baiklah, saya akan cari kesana. Terima kasih pak."     

"Sama-sama, nyonya." Calista pun kembali masuk kedalam rumah dan menuju ke dapur. Hanya ada dua orang juru masak dan tidak ada Hera bersama mereka. Calista tersenyum memberi salam dan keduanya pun membalas dengan senyum ramah.     

"Eh, bu Hera …" Pucuk dicinta ulam pun tiba, yang dicari ternyata lewat di depan mata. Hera baru saja masuk dari halaman depan dan Calista pun langsung menghampirinya dengan berjalan cepat.     

"Hati-hati nyonya, anda sedang hamil." Hera yang melihat majikan perempuannya ini kadang sangat ceroboh dan lupa kalau dirinya itu sedang hamil, jadi masih berlari-lari kesana kemari.     

"Iya iya, aku tahu, aku cuma jalan cepat saja kok. Bu Hera, kesini aku mau bicara." Calista menarik tangan Hera untuk duduk bersamanya di sofa ruang tamu.     

"Ada apa nyonya?" Hera yang tidak enak untuk duduk, memilih berdiri sambil mendengarkan apa yang akan diucapkan majikannya.     

"Bu, Wandi sekarang bekerja sebagai apa?" Calista bertanya dengan nada rendah. Khawatir ada yang mendengar dan melaporkan ke suaminya. Hera mencium gelagat tidak enak. Wanita paruh baya tanpa suami dan tanpa anak itu menyipitkan matanya.     

"Memangnya kenapa, nyonya?" Hera bertanya dengan suara datar.     

"Huft, aku ingin minta tolong dia lagi. Tapi, sepertinya tidak mungkin yaa." Jawab Calista.     

"Ada apa dengan ibu hamil ini? Sudah tahu suaminya sangat keras dan tidak bisa dibohongi, masih saja bermain api untuk menyelidiki diam-diam." Batin Hera bergulat. Namun, dia tidak mungkin menentang begitu saja Calista. Karena dia kesini adalah untuk menjadi asisten istri tuan Darren alias Calista.     

"Nyonya, saran saya, jangan ulangi kesalahan yang sama. Wandi tidak akan berani lagi bertindak macam-macam tanpa sepengetahuan tuan. Nyawanya sudah diujung tanduk saat ketahuan terakhir kali." Ujar Hera dengan intonasi pelan.     

"Bu, temanku dalam bahaya. Dia bilang dia disekap suaminya, tidak bisa keluar ataupun menemui orang lain. Aku harus menyelamatkannya." Jawab Calista.     

"Nyonya, daripada menyelamatkannya, bukankah lebih baik anda datang baik-baik kerumahnya sebagai seorang teman? Suaminya pasti tidak akan melarang." Jawab Hera, memberi ide yang tiba-tiba membuat Calista tersenyum lebar girang bukan main.     

"Ide yang bagus bu. Kenapa aku tidak kepikiran kesitu ya? Hmm, baiklah. Aku akan kerumahnya dengan status sebagai tamu. Tapi, rumahnya dimana yaa?" Calista berpikir lagi. "Tunggu, dia datang ke butik saat peluncuran produk mami sebagai tamu, bersama Britney mereka datang berdua. Jadi, Britney pasti tahu dimana rumahnya. Aku harus ke kantor Britney dan menemui suami temanku itu." Jawab Calista dengan bola mata berbinar-binar karena menemukan ide cemerlang.     

"Nyonya mau pergi sendiri?" Tanya Hera lagi keheranan.     

"Ya, kenapa tidak?" Calista balik bertanya. "Apa karena aku sedang hamil? Helooo, aku hamil, bukan sakit. Dan, aku masih bisa kesana kemari. Bahkan naik motor pun aku masih berani. Apa wanita hamil tidak boleh melakukan kegiatan apapun?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.