Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 168. Berkeliling Kota Milan (1)



II 168. Berkeliling Kota Milan (1)

0"Darren, aku tahu kamu pasti tidak bisa membantuku. Tapi, setidaknya aku sudah memberitahumu. Kelak kalau aku berbuat dibelakangmu, kamu sudah tahu masalahnya apa." Jawab Calista hendak bangkit dan keluar ruangan meninggalkan Darren yang tidak mau membantunya sama sekali.     

"Apa maksudmu?" Darren menahan lengan Calista yang hendak keluar dari ruangannya.     

"Temanku dalam bahaya dan tidak ada seorangpun yang mau menolongnya. Aku teman satu-satunya apa pantas berdiam diri?" Dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras, Calista menatap Darren lamat-lamat.     

"Kamu jangan macam-macam. Laporkan polisi saja kalau memang ini tindakan criminal." Jawab Darren tidak kalah ngototnya.     

"Tidak ada bukti dan saksi, bagaimana aku bisa lapor polisi?" Calista menjawab.     

"Nah itu kamu tahu. Saat ini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Darren menggengam bahu sang istri yang masih emosional dan meletup-letup amarahnya.     

"Calista, jangan sembrono dan ambil langkah sendiri yang akan merugikan dirimu kelak. Jangan lupa juga kamu sedang hamil. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu, paham?" Pria yang bola matanya berwarna hijau itu, mengangkat dagu sang istri dan memberi pengertian lewat bola matanya yang hitam sepekat langit malam.     

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Darren? Aku tidak mungkin menunggu dia kena celaka dulu, baru diselamatkan." Calista benar-benar putus asa. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sadar kalau dia tidak berhak mengganggu rumah tangga orang lain, tapi tidak ada bukti dan saksi, susah baginya untuk membantu temannya.     

"Nanti kita pikirkan caranya. Sekarang kamu temani aku bekerja." Jawab Darren.     

"Menemani dengan hanya melihatmu bekerja? Aku tidak bawa laptop jadi aku pasti bosan nanti." Ujar perempuan hamil.     

"Duduk disebelahku. Kamu pakai PC, aku pakai laptop. Kemari," tangan Calista ditarik lembut menuju meja besar dan kursi kebesarannya.     

"Andrew, tolong bawakan kursi yang sama tingginya dengan punyaku dan bawa ke ruanganku." Darren menelpon Andrew dan untuk membawakan kursi agar Calista bisa duduk bekerja disebelahnya.     

"Apa aku tidak akan mengganggu konsentrasimu?" Tanya Calista lagi.     

"Asalkan kamu tidak bersuara, aku akan bisa bekerja dengan tenang." Jawab Darren.     

"Okay, aku akan menutup bibirku rapat-rapat dan tidak bertanya apapun padamu." Jawab Calista lagi.     

"That's a good girl." Darren mencubit hidung Calista dan perempuan itu pun meringis merasakan hidungnya mendapat pijitan dua jari yang lumayan kencang.     

Dan, disinilah Calista menghabiskan harinya dengan duduk disebelah Darren. Calista menuntaskan pekerjaan freelance dari Sara, sementara Darren mengerjakan semua urusan kantornya.     

Seolah-olah ada dua bos yang berada dalam satu meja. Setiap kali Andrew datang ke ruangan untuk meminta tanda tangan Darren, Calista akan melihat saja, tidak berbicara sepatah katapun. Calista sekedar jadi pengamat dan belajar jika kelak dirinya bekerja di kantor.     

Darren diam-diam memperhatikan gerak gerik istrinya yang sedang bekerja di depan PC. Sungguh menggemaskan dan membuat Darren tersenyum-senyum sendiri. Calista memang tidak mengganggunya bekerja, namun sikapnya membuat Darren kehilangan konsentrasi.     

"Sudah waktunya makan siang. Ayo, kita ke restoran terdekat. Jangan sampai baby dan mommynya kelaparan." Darren berdiri mengambil jas yang tergantung di pojokan dan memakainya sambil merapihkan penampilannya.     

"Okay," Jawab Calista dengan wajah sumringah. Sejujurnya dia sudah lapar sejak tadi namun tidak berani mengatakannya pada Darren.     

-----     

"Kapan kamu pulang ke Indonesia?" Andaikan bukan Lewis yang memaksanya untuk kumpul makan bersama di meja makan, Likha bersumpah tidak ingin bergabung.     

"Secepatnya." Jawab perempuan manis berjilbab itu dengan singkat namun masih bisa tersenyum. Lewis yang pura-pura tidak mendengar percakapan dua perempuan dihadapannya, terus memotong daging panggang sebagai makan malamnya.     

"Huh, Lewis, tidak bisakah kamu percepat kepulangannya? Aku sudah sehat dan tidak membutuhkan jasanya lagi. Dan kamu juga, siapa yang butuh jasa perawat kalau aku sendiri baik-baik saja? Buang-buang uang dan tenaga." Grace menumpahkan kekesalannya dengan mengoceh dan mengumpat. Likha menarik napas panjang berusaha menahan rasa sabar di hatinya.     

"Jadi, kamu lebih suka masuk penjara atau panti rehabilitasi, hmm?" Jawab Lewis lagi. "Aku membawamu karena tante Lena yang memintaku." Jawaban Lewis yang singkat namun mampu membuat Grace geram. Merasakan Lewis lebih memihak perawat itu daripada dirinya.     

"Terserah, aku sudah kenyang." Grace membenturkan sendok dan garpunya ke atas piring hingga suaranya terdengar kencang. Perempuan yang memiliki kecerdasan emosional sangat rendah itu, dengan kesal berdiri dan meninggalkan meja makan yang masih dihuni oleh Lewis dan Likha.     

Untuk sesaat suasana di ruang makan menjadi sunyi dan tidak ada seorang pun yang berkata-kata.     

"Aku juga sudah kenyang." Likha berdiri dan menumpuk piring kotor dan membawanya ke wastafel dapur. Likha pun mencuci dan membersihkan peralatan setelah makan juga dapur agar tetap terlihat bersih dan rapih.     

Lewis yang baru selesai menuntaskan makan malamnya, mendekati perempuan berjilbab merah yang terulur sampai dada itu.     

"Maafkan kata-kata Grace, dia … hahh … tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Aku berharap kamu masih bisa terus merawatnya namun kenyataan berkata lain." Lewis membantu Likha merapihkan meja makan seperti sedia kala dan membawa perlengkapan makan yang kotor untuk di letakkan di wastafel cuci piring.     

"Sudah biarkan aku saja yang membereskan. Anda bisa meninggalkannya. Aku dengan senang hati melakukannya. Anggap saja balas budi karena aku dibawa ke Italia. Hehe …" Jawab Likha sambil terkekeh. Lewis tersenyum tipis menanggapi kalimat yang diucapkan Likha.     

"Baiklah, aku tinggal. Kamu jangan malam-malam begadang. Setelah beres, langsung ke kamar saja." Jawab Lewis.     

"Iya, baiklah." Likha menjawab tanpa menatap mata lawan bicaranya.     

Lewis berjalan pelan meninggalkan Likha. Baru beberapa langkah, Lewis berbalik badan dan melihat punggung perempuan berjilbab yang sedang sibuk mencuci piring. Lewis kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.     

"Sabar Likha, sebentar lagi kamu akan kembali ke Indonesia. Tidak ada yang bagus yang kamu bisa kenang dari Italy. Huh, andaikan saja aku bisa berjalan-jalan seharian sebelum kembali ke Indonesia. Sayang sekali sudah jauh-jauh kesini tapi tidak kemana-mana." Likha menundukkan wajahnya pasrah, sedikit menyesal karena belum pernah kemana-mana sejak tinggal disini.     

"Kamu mau keliling Italy?" Tiba-tiba Lewis berdiri disebelahnya sambil menggigit buah apel dan bersandar di lemari makan.     

"Astaghfirullah aladziim, anda benar-benar mengagetkan saya. Sejak kapan anda berdiri disitu?" Likha berdiri mundur memberi jarak beberapa meter antara dirinya dengan Lewis.     

"Sejak kamu bilang, andaikan aku bisa berjalan-jalan seharian sebelum kembali ke Indonesia." Jawab Lewis sambil menyeringai.     

"Oh itu … lupakan saja. Aku … aku hanya berandai-andai saja." Jawab Likha malu. Malu karena ucapannya sampai terdengar oleh pria yang menjadi bosnya selama berada di Italy.     

"Besok aku libur. Aku akan mengajakmu berkeliling kota yang kita tinggali ini, Milan." Jawab Lewis dengan senyum memikat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.