Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 167. Pria Berkacamata Minus dan Berambut Ikal



II 167. Pria Berkacamata Minus dan Berambut Ikal

0"Ah aku tidak mau ambil resiko. Apapun yang terjadi, Darren harus menolongu!" Gumam Calista mantap meyakinkan diri untuk tidak menyembunyikan apapun lagi dari Darren.     

Calista menuntaskan olahraga melenturkan tubuh dan memilih untuk duduk di kursi besi yang ada di dekatnya.     

"Darren, apakah kamu sedang sibuk saat ini?" Tanya Calista hati-hati.     

"Lumayan, ada apa?" Darren sedang memeriksa dokumen yang akan ditandatanganinya sambil menerima telpon dari Calista di tangan kirinya.     

"Hmm, kalau kamu sangat sibuk, aku ke kantormu sekarang ya." Ujar Calista lagi.     

"Apa? Aku sudah bilang kamu jangan kemana-mana!" Jawab Darren dengan penuh penekanan.     

"Ini darurat sekali Darren, temanku sedang dalam bahaya dan butuh pertolonganku segera!" Calista berkata dengan suara tergesa-gesa.     

"Aku datang ya ke kantormu sekarang, please. Aku akan ajak bu Hera." Jawab Calista mencoba meyakinkan sang suami. Karena kalau menunggu Darren pulang kantor, mungkin akan sangat terlambat.     

"Huft, baiklah. Ajak Hera bersamamu." Jawab Darren.     

"Terima kasih sayang, mmuaahhhh …" Calista memutuskan panggilan telpon dan segera bergegas menuju kamar untuk berganti baju. Sementara di ujung telpon sana, seorang pria sedang tersenyum memandang telpon yang telah putus panggilannya. Wajahnya bersemu kemerahan dan saking senangnya sampai tidak mendengar suara ketukan pintu dari Andrew yang berkali-kali hingg akhirnya Andrew masuk sendiri.     

"Tuan …" Andrew mencoba mengganggu kesenangan bosnya yang sedang fokus menatap layar ponsel yang sudah gelap.     

"Kamu! Kenapa?" Darren meletakkan ponsel di atas meja, seiring pandangan Andrew yang tersenyum lirih.     

"Ada seseorang yang ingin bertemu didepan." Andrew berkata.     

"Siapa?" Tanya Darren sambil menyipitkan matanya.     

"Rian Anthony? Dia bilang dia mengenal anda, bos." Jawab Andrew.     

Darren mencoba menyelami ingatannya kembali. Mungkinkah dia mengenal nama Rian Anthony?" batinnya.     

"Suruh masuk. Aku mau lihat siapa dia." Ujar Darren.     

"Baik bos." Andrew memundurkan langkahnya dan bergerak keluar meninggalkan ruangan untuk memanggil tamu yang katanya mengenal bosnya.     

Tok tok tok …     

"Masuk." Sahut Darren dari dalam. Darren mengamati pintu yang bergerak membuka perlahan hingga akhirnya seluruh penampakan tamu yang masuk terlihat jelas di matanya yang masih setia duduk di kursi kebesarannya.     

"Darren Anderson? Kamu sudah tidak mengenalku lagi?" Pria yang memiliki rambut ikal itu mengulurkan tangannya untuk meminta berjabatan tangan.     

"Siapa?" Darren sejak tadi berpikir, siapa pria di hadapannya ini. Lingkup pertemanan Darren sangat terbatas. Dia hanya berteman dengan Lewis dan Jack sejak dulu. Teman wanita hanya Grace. Jadi Darren pasti tahu siapa saja temannya.     

"Rian Anthony, aku teman sekolahmu saat di SMA." Jwab pria berkacamata minus dengan rambut ikalnya.     

"Rian … Anthony? Huh, maaf aku tidak ingat. Well, ada apa ingin bertemu denganku? Pastinya ada hal yang sangat penting yang ingin dibicarakan." Jawab Darren sambil memutari meja mendatangi Rian dan mempersilahkan pria tersebut untuk duduk, tanpa menyambut uluran tangannya untuk dijabat.     

Rian tersenyum tipis mendapati uluran tangannya diabaikan.     

"Aku ingin menawarkan kerjasama untuk proyek pembangunan apartemen di wilayah paling strategis di Jogja ." Ujar Rian.     

"Oh, katakan. Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan tertarik dengan kerjasama yang kamu tawarkan." Darren menyilangkan satu kaki diatas kaki lainnya sambil menatap tajam penuh arti pria dihadapannya. Otaknya berpikir apakah dia dulu benar temannya?     

"Pertama, karena Jogja sangat bagus prospeknya. Kedua, jogja merupakan tanah kelahiran istrimu bukan?" Ucap Rian penuh percaya diri.     

Darren mulai merasakan aura yang tidak wajar dari pria yang mengaku teman sekolahnya ini. Darimana dia tahu kalau Calista berasal dari Jogja? Bahkan Lewis dan Jack pun tidak mengetahuinya. Namun, Darren berusaha tetap tenang sambil tersenyum penuh arti.     

"Aku baru pertama kali ini bertemu dengan anda, dan anda sudah menebak dengan benar kehidupan pribadiku. Apa maksud kedatanganmu sebenarnya?" Ucap Darren sinis.     

"Seperti yang aku jelaskan di awal. Aku ingin menjalin kerjasama dengan prospek yang sangat menjanjikan." Jawab Rian sekali lagi.     

"Huh, aku akan pikirkan matang-matang." Jawab Darren.     

"Baiklah kalau begitu, ini kartu namaku … Darren. Kalau kamu sudah memantapkan diri, hubungi aku secepatnya. Karena prospek ini sangat bagus. Aku belum menawarkan ke perusahaan lain." Ujar Rian dengan tatapan penuh intrik.     

"Huh, aku tidak suka diancam. Tak perlu menunggu untuk berpikir. Aku putuskan … aku tidak tertarik sama sekali." Darren tersenyum kembali dengan wajah sinisnya.     

"Baiklah kalau begitu, aku permisi."     

"Hmm …" Darren hanya mengangguk saja mempersilahkan tamunya pergi secepatnya.     

Darren berpikir kembali, siapa Rian ini? Mengapa tahu betul darimana asal Calista berada. Pria bermata hijau itu mengepalkan tangannya dan memukul-mukulkan ke atas pegangan sofa.     

Darren memencet beberapa angka tdi layar ponselnya dan berbicara dengan seseorang.     

"Jack, bisa kita bertemu segera?"     

"Ada apa?" Terdengar suara malas Jack seperti masih didalam selimut.     

"Jam berapa ini dan kamu belum bangun? Ckckck …" Tanya Darren.     

"Aku bukan pria yang mencari uang dengan memakai dasi dan berangkat pagi." Jawab Jack sambil menguap lebar. "Ada apa? Cepat katakan atau aku tutup telponnya!" Ujar Jack sambil menggaruk-garuk rambutnya yang berantakan.     

"Aku ingin bertemu denganmu saat jam makan siang. Ke kantorku bisa?" Tanya Darren lagi.     

"Hmm, okay aku akan datang. Jam satu ya." Jawab Jack yang masih mengumpulkan jiwa dan raganya.     

"Hmm, sudah mandi dulu sana. Pantas belum ditakdirkan menikah karena bangun pagi saja sulit, apalagi bangun rumah tangga?" Tuts! Darren mematikan ponselnya. Sejenak Darren lupa dengan Rian, malah tertawa terbahak-bahak karena berhasil menjahili Jack, sepupu sekaligus temannya.     

"SIAAAAL! Darren awas kamu!" Jack melempar ponselnya ke sisi ranjang sebelahnya.     

"Darren, tolong bantu aku selamatkan temanku." Calista masuk ruangan dengan tergopoh-gopoh.     

"Hei, tenang, ingat kandunganmu. Ada apa? Bicara satu persatu." Darren menyambut Calista dan menuntunnya duduk di sofa.     

"Temanku, yang pernah aku ceritakan padamu, dia disekap suaminya dan tidak bisa keluar dari rumah." Jawab Calista dengan tangan gemetaran.     

"Disekap? Apakah seperti aku mengurungmu untuk tidak kemana-mana dan ternyata kamu malah menemuiku kesini?" Tanya Darren dengan santai.     

"Darren, situasinya berbeda. Dia disekap oleh suami yang lebih dulu memperkosanya sebelum menikahinya." Jawab Calista dengan napas tersengal-sengal.     

"Calista, mereka sudah menikah. Apakah pantas kita mengusik rumah tangga orang lain? Biarkan mereka memutuskan sendiri mau dibawa kemana pernikahan mereka, tanpa perlu kita ikut campur." Darren ingin meyakinkan Calista bahwa ada konsekuensi yang harus ditanggung kalau ikut campur urusan orang lain.     

"Darren, aku tahu kamu pasti tidak bisa membantuku. Tapi, setidaknya aku sudah memberitahumu. Kelak kalau aku berbuat dibelakangmu, kamu sudah tahu masalahnya apa." Jawab Calista hendak bangkit dan keluar ruangan meninggalkan Darren yang tidak mau membantunya sama sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.