Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 160. Saya Suaminya



II 160. Saya Suaminya

0"Apa ini? Nasi goreng? Kamu pikir ini Indonesia yang biasa makan beginian? Ganti menunya dan masak lagi. Aku tidak mau makanan sampah ini! Jawab Grace sambil bertolak pinggang.     

"Nona, mohon maaf. Perjanjian antara aku dan tuan Lewis adalah menjadi perawat, bukan pelayan. Kalaupun aku memasak itu karena aku ingin, bukan karena disuruh. Kalau nona mau makanan lain, silahkan masak sendiri. Permisi!" Likha keluar unit dan menuju taman untuk menenangkan hatinya. Huh, jauh-jauh kesini malah dihina. Tidak sabar rasanya kembali ke Indonesia, gumam Likha.     

"Well, ternyata kita bertemu lagi disini."     

"Ahhh, kamu membuatku kaget." Likha tersentak kaget sampai berdiri, mendengar suara dari arah belakangnya. Varoni, pria Italy pertama yang dikenalnya dinegara ini, tiba-tiba muncul dari arah belakang tempat duduknya di taman.     

"Kenapa? Sepertinya kamu sedan sedih. Mungkin kamu bisa cerita sedikit padaku." Ujar Varoni dengan senyum memikatnya.     

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin duduk ditaman menikmati hijaunya pohon dan suasana yang membuat hati tenang." Jawab Likha.     

"Oh, okay, dengan kata lain, hatimu saat ini sedang tidak tenang?" Pria Italy yang mengenakan pakaian santai dan kacamata hitam, tampak selalu sendiri setiap sedang bersama Likha.     

"Maaf, kita sebaiknya tidak usah sering mengobrol. Aku tidak ingin mendapat cap perempuan yang tidak-tidak. Permisi." Likha ingin pergi dan mencari tempat tenang lainnya, dimana tidak ada Varoni dan pria-pria lainnya.     

"Hei tunggu, kita hanya mengobrol, tidak lebih. Dan ini juga diluar, banyak orang disekeliling. Jadi, kenapa harus takut?" Ucap Varoni.     

"Karena kalau diantara dua orang berlawanan jenis, yang ketiga adalah setan." Jawab Likha, sambil berlalu meninggalkan Varoni yang terhenyak mendengar penuturan Likha.     

"Huft," Likha mendesah gundah.     

Mau balik ke kamar, ada Grace yang membuat tidak nyaman. Mau pergi jalan-jalan keluar apartemen, Likha tidak tahu arah dan kembali pulang nanti. Mau di sekitar apartemen, ada Varoni. Huft, Likha pun hanya bisa menatap pintu lift dengan suasana hati galau.     

"Kenapa tidak masuk?" Lewis yang sejak tadi berdiri dibelakang Likha, memperhatikan gadis itu yang diam hanya memandang pintu lift yang telah terbuka dan menutup berkali-kali.     

"Oh, ti-tidak apa-apa. Silahkan masuk." Likha memberi ruang pada Lewis untuk masuk kedalam lift.     

"Kamu tidak masuk?" Tanya Lewis.     

"Hmm, tidak, aku-aku mau jalan-jalan dulu sekitar apartemen ini. Pemandangannya sayang untuk dilewatkan, hehe …" Jawab Likha terbata-bata.     

"Kamu belum tahu lingungan sini. Jadi jangan kemana-mana dan jangan bicara dengan sembarang orang tak dikenal." Lewis berkata.     

"Ti-tidak. Aku hanya duduk di kafe." Jawab Likha.     

"Likha, hai kemana kamu? Aku mencarimu kemana-mana." Varoni ternyata masih konsisten mengejar kemana Likha pergi.     

"Anda siapa?" Lewis bertanya kepada pria yang tingginya tidak jauh berbeda dengan dirinya.     

"Anda sendiri siapa?" Varoni balik bertanya.     

"Saya suaminya perempuan yang anda panggil." Jawab Lewis enteng. Likha menganga lebar dan menutup mulutnya mendengar ucapan Lewis yang tidak masuk akal.     

"Kamu suaminya? Huh, ada bukti baru aku percaya." Jawab Varoni.     

Suasana yang semula dingin, mendadak panas dan berubah menjadi penuh ketegangan.     

"Bukti? Hmm, aku tahu warna rambutnya, panjang rambutnya, dan tanda lahir yang ada did tubuhnya. Aku rasa itu sudah cukup." Jawab Lewis sambil menatap tajam Varoni yang tidak beranjak dari sisi Likha.     

"Huh. aku tidak percaya kalau tidak ada surat nikahnya." Jawab Varoni.     

"Terserah, tapi maaf, aku mau bawa istriku kembali ke kamar." Lewis menarik lengan Likha untuk masuk ke dalam lift yang sudah terbuka kembali pintunya.     

"Hei. Likha. Tunggu!"     

"Ting."     

Likha melepaskan tangan Lewis yang mencengkeram lengannya. Serasa tulang Likha ada yang bergeser karena tangan kekar Lewis menarik paksa lengannya.     

"Kenapa harus mengaku suami? Kenapa tidak bilang teman atau kakak saja?" Likha sedikit marah karena Lewis seenaknya berkata seperti itu pada orang lain.     

"Apa kamu lihat wajah kita berdua ada kemiripan layaknya kakak adik? Teman? Huh, aku rasa pria disana akan lebih ngotot untuk merebahkan tubuhmu keatas kasur kalau aku hanya mengaku teman." Jawab Lewis santai.     

"KAMU!" Likha sungguh tidak tahu harus berkata apa. Semua ucapannya dipatahkan dengan baik oleh pria yang sebenarnya pendiam dan dingin seperti gunung es ini.     

"Sudahlah, kali ini aku yakin, dia tidak akan berani mendekatimu lagi."     

TING     

Suara pintu lift terbuka dan mereka berdua berjalan menuju unit tempat dimana mereka bertiga tinggal dalam satu atap.     

"Tunggu, aku berharap 5 hari lagi aku benar-benar bisa kembali ke Indonesia. Aku sudah mendapatkan tawaran pekerjaan disana." Likha menghentikan langkah Lewis yang hampir sampai di kamarnya.     

"Oh secepat itu? Ternyata kamu mudah bergaul dan banyak temannya." Jawab Lewis.     

"Bukan sebagai perawat di rumah sakit lagi. Tapi, sebagai perawat di sebuah rumah." Jawab Likha.     

"Bali?" Lewis berkata. Mereka berdua berhenti sejenak untuk melanjutkan percakapan.     

"Iya." Jawab Likha lagi. "Bukan Bali, tapi di Jakarta. Aku tidak mau melihat kalian berdua lagi, Grace dan Lewis jadi aku pastikan aku tidak akan bertemu kalian lagi selama di Jakarta." Jawab Likha dalam hati.     

"Oh okay, semoga kamu mendapatkan majikan yang baik." Ucap Lewis.     

"Terima kasih. Dan, semoga kalian berdua segera menikah. Karena tidak baik selalu berdua namun memiliki hubungan tanpa status." Jawab Likha sambil berlalu meninggalkan Lewis yang masih berdiri terpaku mendengar pernyataannya . Likha tahu dari kakaknya kalau bosnya alias Lewis adalah teman kencan Grace, dimanapun kapanpun.     

-----     

Sudah dua jam lebih Dian melarikan diri dari Dave. Dia tidak tahu harus kemana. Yang penting tidak terlihat dan terkejar Dave. Yang Dian tahu, kini dirinya berada di dalam sebuah toko kelontong kecil untuk membeli minuman dan sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang sejak pagi belum terisi makanan sama sekali.     

Dian duduk di kursi panjang pinggir jalan. Untuk sampai kesini, dia menggunakan angkutan umum sejenis mobil minibus.     

"Neng, mau kemana?" Seorang ibu penjaga warung bertanya pada Dian yang sedang lapar menikmati roti coklatnya.     

"Hmm, mau ke terminal bu." Jawab Dian sambil tersenyum tipis. Jiwanya lelah karena lari dari pria yang sangat tidak diinginkannya. Dian ingin menelpon Calista namun ponselnya dia buang ke tong sampah. Dia tahu kalau Dave menyisipkan alat pelacak didalamnya. Makanya tadi dia bisa mengejarnya saat didalam bus. Beruntung kartu ATM terselamatkan jadi dia bisa mengambil sejumlah uang tunai selama biaya di perjalanan.     

"Terminal dari sini sekitar 1 jam lagi. Neng tunggu mobil angkutan minibus warna kuning saja, mobil itu yang menuju terminal." Jawab ibu yang memiliki tubuh sedikit tambun tersebut.     

"Iya bu, terima kasih. Saya akan naik mobil umum setelah saya menyelesaikan makan dan minum." Jawab Likha.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.