Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 180. Seperti Lapak Baju



II 180. Seperti Lapak Baju

0"Dua hari?" Tanya Dian lagi, sambil menutup botol obat dan memasukkannya kembali kedalam kotak P3K.     

"Huh, kamu tahu darimana?" Dave tersenyum masam.     

Sungguh percakapan suami istri yang sangat singkat yang pernah ada di muka bumi ini, mungkin.     

"Ya sudah, kamu tidur lagi. Aku kedapur dulu, mau buatin kamu minuman jahe." Ujar Dian sambil membereskan obat-obatan dan merapihkannya.     

"Sayang …" Dave memegang tangan Dian. Meskipun sakit, Dave masih bisa menekan pergelangan tangan Dian dengan tenaganya yang kuat. "Tinggallah sebentar beberapa menit lagi. Kepalaku masih pusing." Jawab Dave dengan matanya yang lemah menatap Dian.     

Dian mengatupkan bibirnya.     

"Aku tidak akan berbuat apa-apa padamu. Aku hanya ingin ditemani tidur." Seolah Dave tahu isi hati Dian yang bimbang sehingga pria itu pun mengatakannya lagi.     

"Baiklah, kamu tidur saja. Aku akan menunggu di sofa." Jawab Dian sambil berdiri dan menuju sofa terdekat.     

Dave tersenyum tipis namun senang. Sakitnya membawa keberuntungan buatnya karena istri tercinta sudah tidak marah lagi dan malah mau menemani tidur. Dave masuk kedalam selimut dan bersiap untuk memejamkan matanya kembali. Pria ini sempat melirik istrinya yang langsung menyandarkan kepala di sofa dengan posisi miring.     

Dave tersenyum geli karena justru istrinya yang tidur duluan sedangkan dia belum memejamkan mata sama sekali. Menunggu beberapa menit, akhirnya Dave berjalan mendekati Dian yang sudah pulas. Pria itu pun mengangkat tubuh sang istri dan memindahkannya ke atas kasur.     

Kini Dave dapat memeluk kembali istrinya sambil tidur. Tangan kiri Dave disusupkan di belakang leher Dian dan pria itu pun mendekapnya erat. Dian yang sudah menahan kantuknya sejak sore, tidak bergeming sedikitpun karena pulasnya.     

-----     

"Kamu kenapa?" Mata hijau mendapati istrinya bolak balik mengeluarkan pakaian dari dalam lemari lalu memakainya kembali. Belum sempurna dipakai, lalu dilepas dang anti lagi. Begitu seterusnya hingga memancing keingintahuan mata hijau yang sedang bekerja didalam kamar dengan laptopnya.     

"Aku baru hamil 2 bulan tapi seluruh celana ku tidak ada yang muat lagi. Masa harus pakai daster atau baju terusan kemana-mana?" Calista sudah mengeluarkan setidaknya setengah lebih pakaian yang digantung didalam lemari. Kini penampakan kasur sudah seperti lapak baju yang menggelar dagangan di pinggir jalan siap obral.     

"Beli lagi yang khusus untuk ibu hamil." Jawab Darren dengan santainya, sambil menggelengkan kepala.     

"Kalau aku beli khusus untuk ibu hamil, setelah melahirkan tidak akan terpakai lagi." Jawab Calista balik.     

"Ya kamu pakai lagi pakaian yang sekarang. Simpan sampai nanti setelah lahiran." Sungguh Darren tidak habis pikir, kenapa wanita selalu mempersulit hidupnya. Darren tidak pernah membatasi pengeluaran Calista untuk berbelanja. Tapi seingat mata hijau, istrinya tidak pernah menggunakan kartu platinum yang dia berikan untuk berbelanja pakaiannya sendiri. Pasti untuk keperluan orang lain, seperti membeli kue, hadiah pakaian, aksesois untuk Darren, dan bibit tanaman baru untuk taman hidupnya.     

"Apa aku mulai terlihat gemuk?" Calista menggembungkan kedua pipinya, menatap Darren dari pantulan cermin di lemari pakaian.     

"Kalau kamu membuat pipimu seperti itu, yang kurus pun akan terlihat gemuk. Kamu tidak gemuk, sayang. Kamu masih langsing untuk ukuran ibu hamil." Jawab Darren. Ya Tuhan, sepertinya aku mulai kena kutukan pertanyaan jebakan seperti teman-teman pengusaha yang sering menceritakan hidupnya setelah berkeluarga.     

"Sepertinya aku bertambah gemuk, kamu bohong. Buktinya celanaku sudah tidak ada yang muat lagi." Perempuan hamil yang mengenakan piyama daster malam ini, memegang perutnya dan meraba permukaan yang tidak datar lagi.     

Darren menyerah untuk melanjutkan bekerjanya. Pria itu pun berjalan mendekati sang istri yang malam ini tampak sangat manja dan mulai keluar moody nya.     

"Usia kandunganmu saat ini memasuki dua bulan. Kalau ada perubahan dalam bentuk tubuh, itu adalah sesuatu yang wajar. Lihat!" Darren memegang pinggang Calista dan membiarkan istrinya untuk mengamati tubuhnya lekat-lekat didepan cermin setinggi tubuh itu.     

"Tubuh ini wajar bila mengembang sesuai usia kandungan. Aku yakin kamu akan menemukan berat badan idealmu lagi setelah melahirkan. Memangnya kamu tidak suka kondisimu saat ini yang sedang hamil?" Darren bertanya.     

"Tentu saja aku suka. Tidak semua wanita bisa merasakan kehamilan. Aku beruntung diberikan kepercayaan secepat ini untuk hamil. Dan, aku merasa kalau anak yang kukandung ini kembar. Karena berat tubuhku tidak sama dengan berat wanita yang hamil usia 2 bulan." Jawab Calista sambil memiringkan dagunya.     

Darren terdiam sejenak. "Kembar? Punya satu saja tidak terbayang sebelumnya oleh Darren bisa secepat ini. Apalagi kembar." Batinnya.     

"Bagaimana kalau besok kita ke dokter? Aku ingin USG untuk mengecek jenis kelamin bayi. Juga sekalian mengecek apakah bayinya kembar atau tidak." Ujar Calista sambil menatap hangat mata hijau dan mencengkeram piyama sang suami.     

"Besok aku ada rapat penting dengan jajaran direksi." Jawab Darren dengan ciri khas suara beratnya.     

"Ya sudah, aku pergi dengan Ivan. Sama saja kan?" Calista memutar tubuhnya kembali menghadap cermin dan mematut pakaian yang sedang dikenakan.     

"Kenapa harus dengan dia? Sepertinya, kamu lebih suka bepergian dengan Ivan." Darren menyipitkan matanya.     

"Huft, karena aku perlu pergi kesana dan kamu tidak bisa menemani. Hanya ada Ivan jadi ya sama saja kan? Toh kamu selalu khawatir aku pergi sendiri kemana-mana." Jawab Calista lagi.     

"Bukankah kamu besok mau mengunjungi rumah temanmu?" Darren mengingatkan sesuatu yang mungkin istrinya lupa.     

"Maunya sih begitu. Tapi suami temanku itu belum memberikan alamat rumahnya. Aku tidak tahu rumahnya dimana." Jawab Calista lagi.     

"Ohh,"     

"Sudah-sudah, sudah malam. Besok kamu berangkat kerja kesiangan. Aku bereskan dulu pakaiannya." Dengan gesit, Calista mengambil pakaian yang berserakan di atas kasur dan menggantungkannya kembali kedalam lemari. Darren pun membantu menggantungkan beberapa pakaian yang dirasa terlalu tinggi hangernya.     

"Darren, besok aku mau kerumah mamah, boleh?" Kini Calista duduk didepan meja rias setelah selesai membereskan pakaian. Perempuan hamil ini tetap melakukan rutinitas perawatan wajahnya sebelum tidur, seperti biasa saat sebelum menikah.     

"Bukankah kamu bilang mau ke rumah sakit untuk USG? Sekarang berubah lagi?" Darren mendengus heran dengan perubahan jadwal sang istri yang lebih cepat dari dirinya yang memiliki ribuan karyawan dengan jadwal yang sudah ditentukan sejak satu bulan sebelumnya.     

"Aku baru ingat kalau untuk kontrol itu harus janjian dulu sehari sebelumnya. Tidak bisa mendadak tengah malam begini." Sahut Calista dengan santai.     

"Oohh." Darren berpikir Calista tidak mau datang kalau tidak ditemani olehnya. Ternyata aku terlalu banyak berpikir, batinnya.     

"Boleh, sudah janjian dengan mamah?"     

"Sudah. Dan, mamah kebetulan tidak kemana-mana. Jadi daripada aku dirumah seharian tidak melakukan apapun, lebih baik aku menghabiskan waktu dengan ibu kandung yang baru aku temui setelah puluhan tahun lamanya." Jawab Calista sambil menepuk-nepuk lembut pipinya dengan cairan penyegar wajah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.