Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 213. Layaknya Anak Kecil



II 213. Layaknya Anak Kecil

0"Tuan, kami menemukan penampakan seorang wanita yang mirip dengan ciri-ciri target pencarian. Kami berhasil mengambil gambarnya. Mohon dicek benar tidaknya agar kami bisa terus melakukan penyelidikan.     

Darren membuka pesan bergambar yang dikirimkan padanya. Matanya menyipit untuk sesaat, namun kemudian senyum iblis terbit di bibirnya. "Betul dia orangnya. Segera bawa ke markas dalam keadaan hidup-hidup!" Darren menyeringai senang. Walau Britney mengubah rambut dann wajahnya sekalipun, Darren pasti masih mengenalinya.     

Foto perempuan mungil di pinggir pantai yang memakai celana pendek dan kaos lengan pendek sedang berjemur, mendapat sorotan kamera dari anak buah Darren yang sering bertugas dan mempunyai markas tersembunyi di rumah terpencil yang jauh dari jangkauan warga.     

Darren ingin membuat perhitungan sendiri ke mereka yang hampir menghilangkan nyawa istri dan calon anak mereka. Tiga orang pria yang menjalankan eksekusi berhasil ditemukan sedang menghabiskan uang di diskotek dengan banyak wanita penghibur. Anak buah Darren membawa ke tiga pria itu ke markas dan dihajar habis-habisan. Darren melakukan eksekusi terakhir dengan mematahkan tangan ketiga orang tesebut. Setelah puas, anak buah Darren melemparkan ketiganya ke depan kantor polisi di tengah malam dengan berisi rekaman pengakuan mereka yang mencoba membunuh istri dari pengusaha ternama Darren Anderson.     

"Sayang, lagi apa?" Darren menghubungi Calista, istri yang tidak pernah menelponnya kecuali kalau ada maunya.     

"Aku lagi duduk berjemur di teras. Ada apa telpon?" Tanya Calista masih dengan suara lemahnya.     

"Memangnya aku tidak boleh telpon?" Mendapati jawaban seperti itu, membuat nada suara Darren berubah menjadi lebih tajam.     

"Boleh boleh, tentu saja boleh. Ada apa?" Calista merasakan Darren menjadi bertambah sensitive akhir-akhir ini. Entahlah apa yang terjadi. Dua minggu sudah sejak kejadian mengenaskan itu terjadi, kondisi Calista memang mengalami banyak perubahan menjadi lebih baik. Namun, suasana hati suaminya justru semakin hari bertambah buruk. Mungkin ada masalah di tempat kerjanya, pikir Calista.     

"Aku akan pulang larut malam ini. Kamu tidak perlu menungguku pulang. Setelah makan, langsung tidur saja." Ujar Darren dengan nada datar.     

"Oh … baiklah, kamu jangan telat makan ya." Sahut Calista dengan suara lemah namun lembut terdengar.     

"Hmm …" Sahut Darren dan telpon pun diputus sepihak oleh Darren.     

"Huft, seharusnya yang sensitive itu aku yang sedang hamil. Bukannya dia yang sehat." Gumam Calista sambil menatap layar ponselnya. Perempuan berhijab disebelahnya tersenyum mendengar majikannya mendesah.     

"Oya Likha, ceritakan tentang dirimu. Aku bosan tidak melakukan apapun. Dan, aku butuh hiburan agar kepalaku tidak kosong dan mudah pusing." Ujar Calista.     

"Apa yang nyonya ingin tahu tentang saya?" Likha menjawab dengan penuh kesopanan. Pakaiannya yang tertutup sesuai dengan sifatnya yang kalem dan penuh kelembutan.     

"Kenapa kamu ingin jadi perawat? Kalau aku lihat, kamu itu jadi sekretaris atau karyawan kantoran juga pantas loh. Apa memang sejak kecil kamu bercita-cita ingin jadi perawat?" Tanya Calista lagi.     

"Iya nyonya, saya sejak masih remaja sudah bercita-cita ingin jadi perawat. Sebenarnya ingin menjadi dokter, tapi apa daya keuangan tidak memadai. Jadi perawat pun saya dibiayai oleh kakak lelaki saya." Ucap Likha dengan suara lemah lembutnya. Tiba-tiba Likha teringat dengan kakak satu-satunya. Sejak dia melarikan diri dari Villa Lewis, Likha hanya sekali mengirim pesan tertulis kepada sang kakak dengan mengatakan kalau dia ingin merantau untuk sementara waktu dan tidak bisa dihubungi selama beberapa hari.     

Setelah mengirim pesan tersebut, Likha membuang kartunya dan membeli nomer telpon baru. Ponselnya pun dia gadaikan untuk membeli telpon baru. Lewis menghubungi nomer lamanya sampai puluhan kali dan pesan tertulis puluhan yang tidak dia baca.     

"Wah kamu punya kakak? Apa dia tahu kamu bekerja disini?" Tanya Calista lagi.     

Likha diam sejenak sebelum menjawabnya, "Tidak nyonya." Jawab Likha lirih. Calista melihat Likha ini punya banyak rahasia terpendam. Dan, Calista butuh seorang teman sebayanya agar bisa menyambung dalam berbicara.     

"Likha, maukah kamu menjadi temanku disini? Aku butuh teman bicara di rumah yang sangat besar ini, agar aku tidak kesepian bila suamiku sedang bekerja." Calista meraih tangan Likha dan menggenggamnya. "Aku tidak punya saudara. Teman dekat ku saat ini dikurung sama suaminya, hehe. Jadi aku tidak bisa sering-sering bertemu dia. Hanya kamu yang paling dekat denganku sekarang. Maukan kamu jadi temanku?" Ucap Calista lagi.     

"Kalau nyonya tidak keberatan berteman denganku yang bukan siapa-siapa ini, dengan senang hati aku pasti mau." Ucap Likha dengan senyum manis dan gigi gingsulnya.     

"Deal, mulai hari ini kita berteman dan tidak boleh ada rahasia diantara kita." Calista memberikan jari kelingkingnya untuk ditautkan layaknya anak kecil yang sedang berjanji untuk menyimpan rahasia satu sama lainnya.     

"Hehe …" Likha terkekeh melihat sifap majikannya yang sangat rendah hati dan supel.     

-----     

Seorang perempuan dan seorang pria sedang duduk bersama di kursi makan menikmati sarapan mereka yang sudah tersaji di hadapan. Mata sang perempuan tidak hentinya mencuri-curi pandang ke pria yang duduk di ujung meja makan sebelah kirinya.     

"Ada apa? Kamu mau apa?" Pria itu merasakan tatapan curi-curi pandang dari perempuan yang berhasil memikat hatinya dan merubahnya dari pria yang suka bermain dengan banyak wanita, menjadi pria yang patuh dan bucin hanya dengan satu wanita, dan itu istrinya sendiri.     

"Apakah aku tidak boleh punya telpon genggam?" Pertanyaan yang dari dulu dia ingin katakan pada suaminya.     

"Hmm, boleh. Kenapa tidak. Nanti siang aku belikan telpon genggam terbaru." Ujar Dave.     

"Benarkah? Ahhh, terima kasih." Dian spontan melingkari kedua tangannya dileher Dave dan mencium pipi kanan pria yang tiba-tiba mematung itu dengan sepenuh hati.     

"Ehh, maaf." Dian kembali duduk di kursinya dan meneruskan makan paginya dengan tenang.     

"Ehem, ok, kamu tenang saja. Kamu akan punya telpon genggam sebentar lagi." Ada pria yang salah tingkah dan memerah wajah hingga ke telinga mendapatkan pelukan dan ciuman tiba-tiba di pagi hari dari perempuan yang dicintainya. Sungguh mudah sekali menyenangkan hatinya. Pria berambut panjang sebahu dan menguncirnya di tengah-tengah itu tersenyum diam-diam.     

"Nanti siang kamu mau makan apa? Aku akan masakkan buatmu." Dian ingin memberikan sesuatu imbalan kepada Dave yang berjanji ingin membelikannya telpon genggam.     

"Apa saja buatanmu aku suka. Bahkan setiap inci dari tubuhmu aku tergila-gila." Dave menatap mesum perempuan yang sontak menggeleng-gelengkan kepalanya itu.     

"Huft, pikiran mesummu itu benar-benar tidak ada obatnya." Jawab Dian tiba-tiba sambil mengangkat bahu.     

"Bukankah itu normal namanya? Aku masih pria normal yang butuh pelampiasan … umpppp." Dian menutup mulut Dave dengan memasukkan fillet kepiting goreng mentega kedalam mulutnya.     

"Sudah cepat selesaikan makananmu dan berangkat kerja. Nanti siang aku akan antarkan makan siang sekaligus mengambil telpon genggam yang kamu janjikan. Okay?" Ujar Dian dengan senyum memikat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.