Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 209. Medium Ash Brown



II 209. Medium Ash Brown

0"Kita berangkat sekarang?" Tanya Lewis setelah memastikan koper Likha sudah terangkut semua.     

"Iya pak." Jawab Likha singkat.     

"Pak? Dari tuan sekarang pak?" Tanya Lewis tidak percaya.     

"Ya ampun, apalagi sih. Hanya panggilan saja, kenapa anda begitu cerewet?" Likha menggeleng-geleng tidak percaya dengan kelakuan pria disebelahnya yang semakin mengenalnya mulai terlihat sifat aslinya yang cerewet dan suka memerintah.     

"Baiklah kalau kamu mengatakan 'hanya sekedar panggilan'. Kalau begitu, aku bebas memanggilmu dengan sebutan 'istriku'." Lewis menaikkan alisnya dan menyeringai sinis. Likha menatap Lewis dengan pandangan geli dan jijik.     

"Is … triku? Ihhh, apaan itu? Kita belum sah menjadi suami istri. Kenapa harus memanggil seperti itu?" Ujar Likha dengan bibir mengerut.     

"Huh, hanya dalam hitungan jam saja semua akan berubah. Oya, setelah kamu menjadi istriku, ada beberapa poin yang harus kamu patuhi." Lewis mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku jaketnya dan memberikannya pada Likha dengan tangan kiri. Karena tangan kanannya sedang mengemudikan mobil.     

"Apa ini?" Jawab Likha tidak mengerti.     

"Buka dan baca. Kalau perlu yang keras agar kamu langsung mengerti." Ujar Lewis.     

Likha bingung apa yang sedang direncanakan pria ini sebenarnya. Eh tunggu dulu, Likha baru menyadari kalau hari ini Lewis merubah penampilannya. Warna rambutnya kini berubah menjadi warna coklat agak ke abu-abuan. Lewis yang merasa menjadi pusat perhatian calon istrinya itu tersenyum menyeringai.     

"Kenapa? Kamu terpesona dengan penampilanku? Aku mengecatnya semalam. Bagus tidak?" Lewis menyugar rambutnya ke belakang. Rambutnya yang sedikit gondrong dengan warna agak cerah, membuat kulit putihnya semakin bersih dan terpancar ketampanannya 100 kali lipat.     

"Ya ya ya aku tampan, sangat tampan malahan. Tapi kamu belum membuka kertas yang aku berikan. Jadi tolong simpan kekagumanmu di malam pertama kita nanti malam, okay?" Ucap Lewis dengan santainya.     

"Apa sih? Ya ampun, bulu kuduk ku sampai berdiri mendengarnya." Likha mengusap-usap kedua lengannya seperti orang merinding.     

Perlahan, perempuan berhijab itu membuka kertas dan membaca isinya. Matanya spontan melebar dan mulutnya menganga lebar.     

"Apa-apaan ini? Sejak kapan ada perjanjian seperti ini? Ini sangat merugikan aku. Aku tidak akan menandatanganinya!" Likha memberikan kertas itu pada Lewis kembali.     

"Kamu harus menandatanganinya atau aku akan minta kakakmu yang mewakilimu untuk menandatangani." Jawab Lewis lagi. Bandara pun akhirnya sampai didepan mata. Mereka berdua turun dan mengeluarkan kopernya masing-masing. Likha masih ingin berdebat dengan Lewis namun Lewis mengacuhkannya berpura-pura tidak mau tahu.     

Likha berlari-lari kecil menyusul Lewis dengan menarik kopernya. Hingga satu ketika dia terjatuh karena tersandung tanjakan yang tidak terlihat olehnya disebabkan berlari.     

"Aduh." Likha mengaduh. Tas selempang yang selalu dibawa dan kopernya ikut terjatuh. Beberapa orang yang menyaksikan hendak menolongnya tapi seseorang sudah membantu mengangkat kopernya dan mengambil tas selempang yang terlempar dua meter di depan.     

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya seorang pria dengan suara beratnya.     

"Iya aku tidak apa-apa, terima kasih." Likha lebih fokus membersihkan roknya yang kusut dibanding melihat wajah orang yang menolongnya.     

"Lain kali hati-hati ya." Jawab pria tersebut.     

"Iya terima kasih sekali … lagi." Likha termangu menatap wajah pria yang menolongnya. Dia adalah pria yang selama ini dia cari. Pria yang telah mengisi relung hatinya yang terdalam dan kini sudah ada didepan mata.     

"Kamu mau kemana?" Tanya pria tersebut.     

"Saya … mau ke Bali." Ucap Likha dengan gugupnya, sambil menunduk. Likha lupa kalau dia harus segera menyusul Lewis untuk check in.     

"Wah sama dong. Saya juga mau ke Bali. Salah seorang teman saya akan menikah disana, acara pribadi. Hehe …" Ungkapnya.     

"Oh. Oya, apa kabar anda? Apakah baik-baik saja?" Likha mengamati tubuh pria yang pernah diperban dan diobatinya selama hampir dua minggu itu.     

"Baik. Eh, kamu kenal saya? Apa saya mengenal kamu?" Pria itu berkata.     

"Dia calon istriku." Lewis menunggu Likha di tempat check in tapi tidak datang juga sehingga pria yang kini memiliki rambut warna medium ash brown itu mencari Likha kembali ke jalan yang dia lewati sebelumnya.     

"Lewis? Hai, calon pengantin kenapa masih disini? Bukankah seharusnya kamu sudah ada di tempat pelaminan?"     

"Masih ada waktu untuk sampai kesana. Likha, kenalkan ini temanku, Jack. Jack, kenalkan ini calon istriku, Likha." Lewis menghampiri Likha dan berdiri tepat di sampingnya.     

"What? Calon istrimu … perempuan dengan penampilan tertutup seperti ini?" Jack, ternyata adalah yang membantu Likha mengambil barang-barangnya. Dan juga, Jack adalah cinta pada pandangan pertama yang dirasakan Likha. Likha terdiam dan termenung. Bibirnya otomatis menutup. Pria yang dicari-carinya adalah teman dari calon suaminya.     

"Maaf saya jalan duluan." Likha megambil tas dan menyeret kopernya untuk menuju tempat check in. Karena tiket sudah dipegang masing-masing, Likha bisa masuk duluan. Tinggallah Jack dan Lewis yang saling bertukar pandang.     

-----     

"Selamat pagi nyonya, waktunya untuk sarapan." Suara lemah lembut Hera membangunkan Calista hingga ke alam bawah sadarnya. Calista bermimpi sedang bermain di taman bersama anak-anak kembarnya dan juga Darren. Mereka ber empat sangat bahagia hingga tidak ada raut wajah kecewa atau duka ada diantara mereka.     

"Ibu Hera, anda membuyarkan mimpiku." Ucap Calista sedikit cemberut manja.     

"Maafkan saya nyonya. Saatnya makan pagi." Ujar Hera lagi. Calista mencari sesosok yang kini sangat dirindukannya setiap hari. Tapi dia tidak ada dimana-mana. Kemana dia?     

"Tuan Darren sudah berangkat sejak satu jam yang lalu, nyonya." Jawab Hera yang mengetahui siapa yang dicari ibu hamil ini.     

"Oh, dia tidak membangunkanku." Calista kecewa merasa diabaikan dan ditinggalkan diam-diam. Bu Hera menatap lembut dengan senyumannya.     

"Tadi tuan berpesan tidak perlu dibangunkan. Setelah selesai rapatnya, beliau akan kembali secepatnya. Begitu pesan tuan Darren kepada saya." Hera menyampaikan amanah yang diberikan Darren kepadanya sebelum berangkat kerja tadi.     

"Oh begitu. Ya sudahlah, dia pria yang sangat sibuk dan hidup berdasarkan jadwal dan jadwal. Aku tidak pernah masuk dalam jadwalnya." Calista memaksakan senyumnya untuk menyenangkan dirinya sendiri.     

Calista memilih mengikuti apa yang dikatakan Hera. Wanita paruh baya yang mungkin lebih tua usianya daripada mamahnya ini, atau mungkin saja karena bu Hera selalu bekerja keras dengan fisiknya sehingga wajahnya lebih tua dari usianya.     

Hera mengelap tubuh Calista dan membantu perempuan hamil yang masih terluka di bagian dalam itu dengan sabar sampai memakai bajunya. Setelah Calista sudah segar dan rapih, waktunya untuk makan pagi pun tiba. Calista masih belum bisa menggerakkan tangannya. Pakaian yang dipakai pun hanya menutupi tubuhnya, namun tidak sampai memakai hingga ke lengan.     

Hera dengan sabar dan telaten menyuapi Calista. Makan pagi dengan bubur bukanlah hal yang nikmat bagi Calista. Namun, semua itu demi kesehatannya agar segera pulih dan pulang kerumah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.