Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 207. Aku Tidak Mau Menikah Tanpa Dasar Cinta



II 207. Aku Tidak Mau Menikah Tanpa Dasar Cinta

0"Tu-tuan Lewis, aku berhutang 500 juta. Dan, itu bukanlah jumlah yang sedikit. Namun, aku akan membayarnya dengan seluruh hidupku. Dan, aku rasa kehidupanku lebih berharga dari 500 juta. Jadi, aku mohon setelah menikah nanti, jangan perlakukan aku seperti barang mati yang bisa diperlakukan sesuka hatimu. Aku memang miskin dan tidak punya orangtua. Tapi aku akan pastikan, kalau aku bisa meninggalkanmu jika kamu membuatku seperti barang yang tidak berharga."     

Ciiiiittt … bunyi mobil mengerem mendadak tiba-tiba membuat Likha terkejut dibuatnya.     

"Anda kalau mau mati jangan ajak-ajak saya. Saya bisa kembali sendiri ke hotel." Likha melepaskan sabuk pengaman dan ingin segera keluar dari mobil yang hampir merenggut nyawanya karena mengerem mendadak. "Buka kunci pintunya! Buka! Aku mau keluar!" Likha berteriak histeris.     

"Dengarkan aku …"     

"Tidak mau! Aku tidak mau mendengarkanmu! Sejak awal semua ini adalah kesalahan. Aku tidak mau menikah denganmu! Buka kunci pintu!" Likha meronta ingin keluar dari mobil sambil menangis tersedu-sedu.     

"Dengarkan aku!" Lewis berkata dengan nada tinggi hingga perempuan berjilbab putih itu terperanjat dan diam seketika.     

"Pertama, jangan panggil lagi aku dengan sebutan tuan atau anda. Kedua, walaupun kamu tidak mau, kamu tetap harus menikah denganku. Apapun yang terjadi, kita akan menikah. Paham?" Ucap Lewis dengan memiringkan tubuhnya menghadap perempuan yang memunggunginya.     

"Aku tidak mau menikah denganmu, huhuhu. Kamu tidak mencintaiku. Aku tidak mau menikah tanpa dasar cinta." Likha memejamkan mata dan napasnya tersengal-sengal karena menangis tersedu-sedu.     

"Cih! Kamu pikir cinta bisa membuat orang menikah? Kamu pikir menikah bisa kenyang makan cinta? Lagipula, memang apa yang kamu tahu tentang cinta? Pacaran saja belum pernah. Cih!" Ejek Lewis sambi menyeringai sinis.     

"Aku memang belum pernah menikah. Tapi, aku berhak untuk menyukai seseorang." Jawab Likha dengan polosnya.     

"Ohhh jadi calon istriku ini sudah punya lelaki yang disukai, hmm? Siapa dia kalau aku boleh tahu?" Lewis menarik lengan Likha agar tidak berbicara memunggunginya.     

"Jangan pegang-pegang aku! Kamu tidak berhak tahu siapa yang aku sukai. Aku memang menyukai dia, tapi sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Huft, sudahlah. Aku malas membicarakannya." Ujar Likha. Kali ini perempuan yang masih tersisa bekas air mata di pipi ini, menunduk sambil memilin pakaian yang dikenakannya.     

"Hahaha, cinta tak berbalas? Ckckck, kasihan sekali. Kalau kamu tidak mengatakan padanya, mana tahu kalau dia suka padamu atau tidak." Jawab Lewis dengan santainya. Entah kenapa, hati Lewis mendadak ada yang bolong dan membuatnya nyesek sesaat.     

"Aku tidak tahu dia dimana. Aku hanya bertemu beberapa kali di rumah sakit. Sudahlah, kalau memang jodoh, pasti bertemu lagi." Kini Likha menghadapkan wajahnya memandang jalanan raya yang sepi di larut malam ini. Dia sudah pasrah dengan pertemuan terakhir kala itu. Pria yang ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama karena menjadi korban kecelakaan mobil beberapa bulan yang lalu. Pria itu mendapatkan perawatan selama kurang lebih dua minggu dan Likha adalah salah satu perawat yang bertugas saat itu.     

"Jodoh? Kamu masih mengharapkannya? Kasih aku namanya, aku pasti bisa menemukan dia." Jawab Lewis dengan mata tajam seperti bisa menusuk jantung Likha dan mencari nama pria yang terpatri didalam jantungnya.     

"Aku bilang tidak usah ya tidak usah." Jawab Likha lagi.     

"Okay, terserah kamu. Tapi aku tidak ingin setelah kita menikah, kamu masih memikirkan pria lain selain aku. Pakai kembali sabuk pengamanmu!" Lewis menghidupkan lagi mesin mobilnya, setelah perempuan berjilbab itu memasang kembali sabuk pengaman, untuk melanjutkan perjalanan menuju hotel, tempat menginap sementara Likha sebelum terbang ke Bali besok pagi-pagi.     

-----     

"Malam tuan." Ivan, sang pengawal Calista berdiri tegap menghadap tuan majikannya di luar ruangan tempat Calista beristirahat setelah keluar dari ruangan ICU.     

"Ivan, saat kejadian kamu bilang kamu melihat ada tiga orang pria yan berlari ke arahmu dan menabrakmu. Apa kamu masih ingat wajah mereka?" Darren yang sedang menginterogasi Ivan, duduk dengan satu kaki berada diatas lutut kaki lainnya.     

"Maaf tuan, suasana saat itu sangat berlangsung cepat. Aku tidak sempat melihat wajah mereka." Ujar Ivan lagi.     

"Cih! Bagaimana ini mencari Britney dan orang-orang bayarannya. Aku tidak yakin tiga orang yang melakukan eksekusi pada istriku adalah karyawan The Anderson Group." Ujar Darren dengan pikiran yang sedang berkelana mencari sebuah solusi.     

"Kalau tuan ijinkan, aku akan mencari nona Britney dimanapun. Aku punya banyak teman yang bisa membantuku mencari keberadaan orang-orang yang susah ditemui." Ujar Ivan. Darren lupa kalau Ivan adalah mantan seorang debt collector. Pastinya lingkaran pertemanannya luas.     

"Bagus, bagus. Kamu cari Britney sampai ketemu. Bawa dia hidup-hidup kehadapanku. Berserta kawanannya lebih baik lagi. Aku mau mereka merasakan apa yang Calista rasakan." Rahang mengeras ditampilkan oleh Darren dengan seringai sinis di wajahnya.     

"Baik tuan, akan aku usahakan sebaik dan secepat mungkin. Demi nyonya Calista, mereka harus mendapatkan bayaran yang setimpal." Ivan pun mengepalkan tangannya.     

"Maaf tuan, nyonya Calista membutuhkan tuan." Hera mendadak keluar dari kamar dan mengatakan tentang Calista yang mencarinya. Darren pun segera bangun dan berjalan masuk kedalam kamar, sementara Hera menunggu di luar.     

"Ada apa sayang? Kamu memanggilku?" Darren menghampiri Calista yang masih berbaring lemah tak berdaya. Lukanya memang sudah diobati tapi rasa sakitnya masih dirasakan Calista, terutama ketika bernapas, perempuan hamil itu harus mengatur ritme tarikan dan hembusan napas sebaik-baiknya.     

"Darren, kamu sedang apa diluar?" Tanya Calista sambil mengulurkan tangannya meminta untuk di gapai.     

"Tidak ada. Kamu mau apa? Minum atau makan sesuatu?" Darren bertanya dengan mengganti topik pembicaraan. Pria bermanik mata hijau itu tidak ingin membuat pikiran istrinya menjadi bercabang. Jadi, dia ingin menyelesaikannya sendiri. Dan, Calista tidak sebodoh yang Darren kira. Perempuan hamil yang masih lemah itu menyunggingkan senyuman berarti.     

"Aku mau duduk. Bisakah kamu bantu aku?" Calistapun memilih untuk pura-pura tidak tahu dengan apa yang suaminya rencanakan.     

"Baiklah. Perlahan-lahan saja ya. Dokter bilang kamu jangan banyak bergerak terlebih dahulu." Darren menopang bahu istrinya dengan kedua tangannya secara perlahan dan sangat hati-hati.     

"Aku minta minum." Calista berkata.     

Darren mengambilkan sang istri sgelas minuman air putih yang berada diatas nakas tempat tidur sang istri. Calista meminumnya perlahan-lahan. Dan, setelah selesai, diserahkan kembali ke Darren.     

"Darren …" Ujar Calista.     

"Ya …"     

"Aku tidak menyangka, kehadiranku akan membuat semua penggemarmu kecewa, heh. Jadi memang lebih baik tidak usah diadakan pesta pernikahan. Toh, sebentar lagi malah aku akan melahirkan." Ujar Calista dengan suara masih sangat lemah dan terbata-bata.     

"Ya aku pun berpikir demikian." Sahut Darren.     

"Berpikir apa?" Calista memicingkan matanya.     

"Berpikir tidak usah merayakan resepsi pernikahan." Sahut Darren lagi.     

"Karena?" Andaikan aku tidak sedang terluka, ingin rasanya aku mencekik lehernya, batin Calista.     

Sebegitu mudahnya kah dia menyetujui ucapanku?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.