Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 206. Pertemuan Likha dan Calon Mertua (3)



II 206. Pertemuan Likha dan Calon Mertua (3)

0"Tidak terasa sudah jam 9 malam. Kamu menginap disini saja ya Likha." Anggun menawarkan rumahnya untuk Likha yang sudah kemalaman untuk pulang.     

"Terima kasih tante, tapi besok pagi saya harus siap-siap untuk berangkat di penerbangan pertama ke Bali. Lain kali saja." Likha menjawab dengan penuh sopan dan kelembutan. Sementara itu, Kevin dan Lewis, ayah dan anak sudah memisahkan diri sejak setengah jam yang lalu. Kevin meminta Lewis untuk berbicara di ruang kerjanya.     

"Lewis, kamu yakin dengan pilihan kamu? Papi lihat dia perempuan baik-baik. Dan, pernikahan itu bukan buat main-main." Kevin untuk kesekian kalinya bertanya pada anaknya. Lewis merupakan anak satu-satunya. Dia memang tidak punya pacar tetap tapi jumlah perempuan yang ingin menjadi pacarnya, lebih banyak daripada jumlah karyawannya di kantor.     

"Papi, ini sudah kesekian kalinya papi bertanya. Aku akan tetap menikah dengannya." Jawab Lewis sambil duduk santai dengan satu kaki diatas kaki lainnya.     

"Bagaimana dengan Grace? Orangtua mereka tahunya kalau anak perempuan mereka sering pergi denganmu." Ujar Kevin.     

"Aku sudah bicara dengan tante Lena. Dia mengerti dan karena itu aku sudah berada disini sekarang." Jawab Lewis lagi.     

"Apa mereka tahu kamu akan menikah?" Tanya Kevin lagi.     

"No, untuk apa? Mereka bukan keluarga kita. Tidak semua hal harus aku umumkan ke semua orang, bukan?" Jawab Lewis lagi. "Sudahlah pi, intinya besok aku akan menikah dengan Likha di Bali. Semua sudah aku persiapkan. Pernikahannya sederhana dan hanya orang-orang tertentu saja. Tidak ada kartu undangan. Papi dan mami pasti datang kan? Kalau tidak datang juga tidak apa sih. Kan lelaki tidak perlu wali nikah." Jawab Lewis santai.     

"Dasar anak kurang ajar! Menikah pun tidak mengharapkan orangtua untuk datang. Kalau bukan karena calon istrimu, kami juga malas datang. Huh!" Seperti ayah, itulah anak. Sifat Kevin menurun seratu s persen ke Lewis, anaknya.     

"Aku sudah menyiapkan dua tiket untuk mami papi besok. Kami akan berangkat lebih dahulu." Lewis keluar ruang kerja papinya dan menghampiri Likha yang masih berbicara dengan maminya.     

"Aku antarkan pulang?" Lewis menghampiri Likha. Spontan Likha berdiri dan mengambil tas selempangnya lalu berpamitann dengan calon mami mertuanya.     

"Terima kasih atas jamuan makan malamnya, tante. Semuanya enak sekali." Likha tersenyum senang sambiil mengacungkan dua ibu jarinya ke depan dada.     

Anggun tertawa senang melihatnya.     

"Panggil mami, jangan tante lagi dong. Likha sayang, kamu cantik sekali. Kemana saja selama ini tidak terlihat oleh kami? Lewis sangat beruntung mendapatkan calon istri seperti kamu. Pesan mami dan papi, kamu yang sabar ya menghadapi tingkah suamimu ini nanti. Dia keras kepala dan mau menang sendiri, kamu harus pintar-pintar mengambil hatinya." Anggun merasa harus memberi wejangan kepada calon menantunya yang sudah yatim piatu ini. kepribadian Lewis dan Likha berbeda seratu delapan puluh derajat. Bagaikan timur dan barat. Kalau tidak ada yang mau mengalah salah satu, dipastikan rumah tangga mereka tidak akan bertahan lama.     

"I-iya ma-mami. In Syaa Allah, saya akan melakukan yang terbaik saat menjadi seorang istri. Semoga tuan Lewis pun demikian." Ujar Likha keceplosan.     

"Tuan?" Anggun dan Kevin saling bertukar pandang.     

"Oh mak-maksud saya, Lewis. Saya masih terbawa pekerjaan dengann menyebut tuan. Maaf maaf." Likha menggigit bibirnya karena keceplosan. Kedua orang tuan itu tersenyum lega. Tinggallah Lewis yang menyeringai sambil menatap tajam Likha seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat karena sudah salah bicara.     

"Sudah, kita pulang sekarang. Terima kasih mami papi. Aku tunggu besok di Bali. Waktu dan lokasi sudah kukirim lewat pesan tertulis." Lewis pun menyalakan alarm mobil dan mereka berdua masuk kedalam mobil setelah berpamitan dengan Anggun dan Kevin dan mengucapkan hati-hati saat menyetir untuk Lewis.     

Sepanjang perjalanan menuju hotel tempat Likha menginap, Lewis diam saja tanpa berbicara sepatah katapun, bahkan melirik Likha pun tidak. Perempuan berjilbab itu tahu kesalahannya karena memanggil Lewis dengan sebutan 'tuan' tanpa disengaja. Tapi, bukankah itu wajar kalau biasa memanggil seperti itu? Pikir Likha. Likha tidak ambil pusing, dan malah menyandarkan punggungnya lalu memejamkan mata untuk tidur sejenak.     

"Kamu kira aku supir yang mengantarkan majikan untuk tidur selama dalam perjalanan?" Ucap Lewis ketus.     

Likha sontak melebarkan matanya. Ada apa dengan pria ini? Sepertinya habis makan petasan jadi marah-marah sekarang. Sungguh pria yang aneh dan cepat berubah mood. Pikir Likha.     

"Lalu aku harus bagaimana?" Jawab Likha lagi.     

"Oh, sekarang sudah berani menjawab ya." Ujar Lewis yang benar-benar merasa konyol setelah mengatakan hal tersebut.     

"Anda maunya apa sih? Ok aku salah tadi menyebut tuan, aku minta maaf. Sudah kan?" Likha menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab perkataan Lewis yang diluar nalarnya.     

"Huh, permintaan maafmu telat." Ujar Lewis sambil tersenyum sinis. "Oya, aku sudah bicara dengan Niko, kakakmu tentang pernikahan kita besok. Sudah bisa diduga dia kaget luar biasa dan bertanya macam-macam apa saja yang sudah terjadi pada kita selama di Italy. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tapi, kalau kamu mau bilang kalau kamu menjadi korban pelelangan illegal jual beli perempuan, silahkan katakan sendiri." Ujar Lewis masih tetap fokus dengan menyetirnya, sambil sesekali melihat kaca spion.     

"Oh, tidak." Likha langsung mengambil telpon genggam di dalam tasnya. Likha rasanya ingin menangis dan membenamkan kepalanya hingga ke dasar bumi. Panggilan tidak terjawab dari kakaknya sebanyak puluhan kali muncul di layar ponselnya. "Aaahhh bagaimana ini?"     

"Kenapa? Tinggal bilang saja yang sejujurnya. Apa susahnya?" Lewis berkata dengan santainya.     

"Tuan … eh maksudku … anda mudah sekali mengatakan itu, tapi aku tidak bisa. Kakakku meskipun pendiam, dia adalah pengganti ayah buatku. Perkataanya wajib aku turuti." Jawab Likha.     

"Oh begitu? Setelah menikah, setahu aku tanggung jawab berpindah ke seorang suami dan segala ucapan suami harus dituruti. Benar bukan?" Ujar Lewis lagi.     

Likha terdiam tidak bisa menyangkal karena semua yang diucapkan Lewis benar adanya. Lewis tersenyum sinis melihat sikap diam Likha yang menurutnya sudah menjawab pertanyaannya secara tidak langsung.     

"Sudahlah, aku bukan pria brengsek yang akan tidur dengan wanita lain lagi setelah menikah. Memang duniaku sebelumnya bebas tanpa kendali. Kamu sudah tahu aku seperti apa. Kamu bisa tanya kakakmu kalau ingin lebih jelas lagi mengetahui kehidupanku." Ujar Lewis kembali diam.     

"Lewis, aku berhutang 500 juta. Dan, itu bukanlah jumlah yang sedikit. Namun, aku akan membayarnya dengan seluruh hidupku. Dan, aku rasa kehidupanku lebih berharga dari 500 juta. Jadi, aku mohon setelah menikah nanti, jangan perlakukan aku seperti barang mati yang bisa diperlakukan sesuka hatimu. Aku memang miskin dan tidak punya orangtua. Tapi aku akan pastikan, kalau aku bisa meninggalkanmu jika kamu membuatku seperti barang yang tidka berharga."     

Ciiiiittt … bunyi mobil mengerem mendadak tiba-tiba membuat Likha terkejut dibuatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.