Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 217. Aroma Keras Nikotin



II 217. Aroma Keras Nikotin

0Didalam kamar sebuah apartemen mewah yang berlokasi di bilangan segitiga emas ibukota, seorang pria berdiri didekat jendela kamarnya yang ada dilantai 20. Matanya menerawang jauh ke bawah dimana lampu kendaraan yang merayap di sepanjang jalan berkelap kelip seperti bintang yang ada di atas langit.     

"Dimana kamu Likha? Hampir dua minggu sudah kamu pergi dariku. Aku tahu kamu tidak akan bisa pergi jauh. Tapi, sedekat apa kamu sehingga aku masih tidak bisa menemukanmu!" Rahang pria itu mengeras membayangkan sosok istrinya yang entah apa yang terjadi pada dirinya. Apakah dia hidup dengan baik atau tidak? Apakah dia berada ditempat yang dia sukai atau tidak? Pria itu tidak bisa membayangkan andaikan sang istri berada lagi dalam tempat seperti penculikan di Italy beberapa waktu yang lalu.     

Segala cara sudah Lewis kerahkan untuk mencari keberadaan sang istri. Rumah sakit, panti jompo, panti asuhan, dan semua tempat yang ada di Jakarta sudah Lewis kerahkan mata-mata dimana-mana namun tidak ada satupun yang berhasil menemukannya. Bahkan ciri-ciri yang mendekatipun tidak ada. Tidak mungkin kan Likha hilang ditelan bumi?     

Sementara itu di tempat berbeda, seorang perempuan yang sudah selesai menunaikan tugasnya menemani nyonya majikannya selama 8 jam bekerja, kini berada di dalam kamarnya. Duduk menatap kaca didepannya yang berbentuk persegi. Kala sedang sendiri, perempuan itu dilanda sepi dan seperti ada batu yang menghimpit dadanya hingga menjadi sesak tidak bisa bernapas.     

Dia adalah perempuan yang telah menikah namun belum mendapatkan malam pertama bersama sang suami. Malam yang seharusnya menjadi penyatuan antara sepasang suami istri yang telah secara resmi terikat dalam status pernikahan, namun harus terpisah karena sang suami lebih memilih tidur dengan pacarnya.     

Saat itu Likha tidak merasa cemburu sama sekali. Karena pernikahannya dengan sang suami adalah atas dasar membayar hutang yang akan lunas jika telah terucap ijab sah. Tidak ada cinta di hatinya untuk lelaki itu. Namun, lelaki itu selalu ada untuk dirinya kapanpun dia butuhkan. Meskipun dia tidak mencintainya, kenangan bersama pria itu selama berada di Italy, tidak akan bisa dilupakan.     

Likha menatap layar ponselnya. Ingin rasanya dia memberitahu sang kakak keberadaan dirinya, namun dia takut posisinya akan kelacak. Likha hanya bisa mengamati Niko, kakaknya dari kejauhan. Lewat campur tangan sang teman yang pernah satu rumah sakit dengannya, Likha bertanya kabar Niko tanpa harus mengatakan dimana dia tinggal pada temannya itu.     

Tok tok tok …     

"Iya siapa ya?" Likha segera mengambil jilbab instant yang tergeletak diatas kasur dan dipakainya dengan cepat.     

"Likha? Kamu sudah tidur?" Suara bu Hera memecah kesunyian malam. Likha melihat jam di dinding masih jam 8 sore. Memang belum waktunya tidur tapi Likha juga tidak ingin begadang.     

Perempuan yang sudah mengenakan piyama panjang itu dan jilbab warna coklat dikepalanya, membuka pintu untuk Hera agar bisa masuk.     

"Belum bu, ada apa ya?" Likha membuka pintu selebar tubuhnya berdiri.     

"Aku mau ngobrol sebentar. Bolehkah?" Hera tersenyum penuh kelembutan seperti seorang ibu yang Likha damba sejak lama.     

"Boleh ibu, mau dikamar saya saja?" Tanya Likha lagi.     

"Boleh, kalau kamu tidak keberatan." Jawab Hera.     

"Silahkan bu, dengan senang hati." Likha tersenyum senang dan mempersilahkan Hera untuk masuk. Lebih baik baginya ngobrol didalam kamar daripada diluar.     

"Oya bu, apakah nyonya Calista sudah tidur?" Likha teringat majikannya yang perlahan mulai membaik kondisinya.     

"Aku tidak tahu tapi tuan Darren sudah pulang sejak tadi." Jawab Hera.     

"Oh, syukurlah. Nyonya Calista sangat hebat. Beliau kuat menahan rasa sakit akibat tikaman ditambah lagi dalam keadaan mengandung." Likha duduk berhadapan dengan Hera di kursi yang ada di dalam kamar.     

"Ya, kita wanita harus kuat, apapun kondisi dan status kita. Kalau kita wanita lemah, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari seorang wanita. Oya Likha, maksud kedatangan aku kemari adalah, apakah kamu bisa menolong keponakanku yang sedang terbaring lemah dirumahnya?" Hera mulai berbicara pada intinya yang sudah diduga sebelumnya oleh Likha.     

"Keponakan bu Hera sakit apa? Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" Ujar Likha.     

"Tidak perlu, dirumah lebih baik karena banyak yang bisa bergantian menjaganya.     

"Oh begitu, memangnya sakit apa keponakan ibu?" Tanya Likha lagi, karena merasa belum mendapat jawaban dari perempuan paruh baya di hadapannya.     

"Tubuhnya demam menggigil sepulang bekerja. Sudah diperiksa ke klinik dan harus dirawat tapi dia tidak mau. Jadilah sekarang dia tinggal meringkuk di dalam kamar dekat rumah ini." Jawab Hera.     

"Oh, aku tidak tahu apakah aku bisa membantu yang seperti apa. Karena aku bukan dokter. Tapi, aku akan melihat keadaannya bersama dengan bu Hera kesana." Jawab Likha.     

"Baik, ayo aku antarkan sekarang." Ujar Hera dengan senyum sumringahnya. Keponakan satu-satunya yang disayanginya, karena sudah tidak memiliki kedua orangtua lagi, adalah tanggung jawabnya sampai dia menikah nanti.     

Likha mengambil jaketnya dan beberapa obat yang dia miliki di kotak obatnya, sekiranya dibutuhkan oleh keponakan bu Hera nanti. Kamar keponakan bu Hera, Wandi, berada di bagian belakang rumah utama Darren. Mereka berjalan keluar melewati pintu belakang dan akhirnya tembus ke lorong kamar khusus para pelayan yang jumlahnya puluhan.     

Kamar-kamar yang berada di lorong rumah ini mengingatkannya pada rumah sakit di Denpasar tempat dia pernah bekerja, sebelum akhirnya direkrut Lewis untuk menjadi perawat pacarnya ke Italy. Likha tidak menyangka ada bagian didalam rumah mewah ini yang masih tidak dia ketahui.     

Kamar keponakan bu Hera ada di bagian paling ujung.     

Tok tok tok     

"Bibi masuk ya Wandi." Ujar Hera memberitahu sebelum masuk kedalam kamar keponakannya. Likha tersenyum tipis di luar.     

"Iya bi." Terdengar sahutan lemah dari dalam kamar. Suara disertai batuk ringan dan Likha bisa merasakan sesak diantaranya.     

Hera pun masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Likha.     

"Siapa dia bi?" Wandi terkejut ada orang lain yang datang bersama bibinya. Ditambah lagi penampilan dan wajahnya sangat cantik dan sederhana dengan jilbab yang menutupi kepala dan mengulur hingga ke dada.     

"Namanya Likha, dia ini perawat khusus nyonya Calista dan bibi minta tolong Likha untuk melihat keadaan kamu." Jawab Hera.     

"Aku kan sudah berobat ke dokter, bi. Aku hanya butuh istirahat saja." Jawab Wandi lemah, dengan muka lemas dan pias.     

"Iya betul, kamu hanya butuh istirahat saja. Jangan lupa obatnya diminum dengan teratur setelah makan. Kurangi merokok biar lekas sehat." Likha bisa mencium aroma keras nikotin di dalam ruangan lelaki ini. Kondisi masih sakit tapi masih menyempatkan diri untuk menghirup benda beracun yang mematikan perlahan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.