Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 215. Biar Aku Yang Melakukannya



II 215. Biar Aku Yang Melakukannya

0"KALAU KALIAN TIDAK BISA BEKERJA, KELUAR DARI PERUSAHAAN IN! Aku pastikan tidak akan ada yang mau menerima kalian bekerja dimanapun. KELUAR!" Dave mengusir siapa entah Dian tidak bisa melihat kedalam. Sehingga, perempuan itu memilh menunggu di samping dinding bagian luar.     

Hanya dalam hitungan detik, beberapa orang karyawan keluar dari ruangan Dave dengan muka tertunduk lesu dan seperti nyawa sudah hilang dari raga. Bahkan, ada seorang perempuan berpakaian seragam yang sampai mengeluarkan air mata namun tidak bersuara menangis. Dian menghela napas kasihan namun hanya bisa menatap sedih perempuan tersebut. Keinginannya untuk masuk kedalam ruangan Dave yang sedang emosi berat, membuat Dian ragu-ragu untuk mengetuk pintu.     

Namun, bagaimanapun kedatangannya kesini adalah untuk membawakan makan siang yang akan tiba beberapa menit lagi. Dian menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang sampai akhirnya dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu.     

Tok tok tok …     

"MAU APA LAGI?" Dian tersentak kaget mendapati dirinya dibentak sedemikian kerasnya. Hampir saja tas yang dipegang terlepas dari tangan. Dave yang memaki tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang datang, terkejut untuk sesaat ketika tubuhnya berbalik melihat ke pintu.     

"A-aku, aku hanya … ingin mengantarkan makan siang … sesuai janjiku. Aku taruh disini saja ya." Dian bergegas meletakkan tas dan mengeluarkan bekal makan siang diatas meja yang dekat pintu masuk. Perempuan itu pun tersenyum takut-takut dan segera melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan pria yang sedang tidak ramah itu. Tapi memang tidak pernah ramah, batin Dian.     

"Berhenti! Jangan berani keluar dari ruanganku!" Perintah Dave. Dian pun seketika berhenti melangkah. Napasnya seolah-olah ikut berhenti tertahan di tenggorokan. Tubuhnya yang masih memunggungi Dave, tidak bergerak sama sekali dengan tangannya yang sedang memegang handle pintu.     

Dave melihat sambil tersenyum tipis. Tidak disangka, istrinya pun akan sangat takut padanya. Pria berambut panjang itu pun mendekati istrinya yang masih mematung dan memeluk tubuhnya dari belakang dan meletakkan kepalanya di bahu sang istri sambil berbisik lembut, "Maaf, aku tidak tahu kamu yang datang. Sekarang aku mau makan siang bareng istriku. Apa boleh?" Dave mengecup cuping telinga Dian dengan gerakan sangat lembut sehingga perempuan yang sempat kaget itu menggeliat geli.     

"Sepertinya, kamu sedang sibuk sekali. Aku … hanya mengantarkan makan siang buatmu lalu aku akan pulang." Ujar Dian tanpa membalikkan tubuhnya.     

"Kemarilah. Aku tidak ingin terlihat seperti suami yang ingin memakan istri mentah-mentah." Ucapnya. "Bukankah kamu setiap saat selalu ingin memakanku?" Dian menjawab dalam hati.     

Mereka pun duduk bersama menghadapi makanan yang sudah disiapkan oleh Dian.     

"Hmm wanginya harum." Dave bisa mencium aroma ikan bakar ketika satu persatu kotak makan terbuka dan dihidangkan dihadapannya.     

"Ehm, semoga kamu suka. Dulu aku membuat ini hanya seminggu sekali. Karena harga ikannya lumayan mahal." Dian tersenyum sambil mempersiapkan alat makan dan minumnya. Tidak lupa Dian membuat jus tomat sebagai pelepas dahaga. Dave mendengarnya dengan penuh perhatian.     

"Bagaimana bisa dia tergila-gila dengan perempuan yang sangat sederhana ini? Perempuan yang tidak pernah menuntut apa-apa sejak pertama mereka menikah. Dan, pagi ini adalah permintaan pertamanya yaitu sebuah telpon genggam." Kata hati Dave berkata.     

"Oya, tunggu sebentar." Dave berjalan menuju mejanya dan mengambil sesuatu dari dalam laci. Dian melihatnya pergi dan menatapnya lamat-lamat. "Ini, telpon genggam yang aku janjikan tadi pagi. Angka 1 adalah nomer telponku. Jangan pernah membuang telpon lagi, okay?" Ujar Dave sebelum menyerahkan dus telpon genggam warna putih biru tersebut.     

Wajah Dian sumringah dibuatnya. Perempuan itu menyambutnya dan langsung dibuka dusnya. Dian tidak mempedulikan merk dan harga ponsel. Yang terpenting untuknya adalah dia bisa menghubungi lagi sahabatnya, Calista, setiap saat.     

"Terima kasih. Boleh aku coba?" Tanya Dian.     

"Tentu saja." Dave menunda makan siangnya dengan memperhatikan sang istri yang sedang mengoperasikan gadget baru tersebut. Namun, sedetik kemudian air wajah Dian berubah menjadi murung. Namun, tersenyum kembali.     

"Kenapa? Apa kamu tidak suka modelnya? Aku bisa minta tukar atau beli lagi." Ujar Dave.     

"Tidak tidak, ini saja sudah sangat bagus. Ayo kita makan." Dian mengesampingkan sejenak telpon baru tersebut. Dave mengerutkan alisnya tidak mengerti, apa ada yang salah dengan ponselnya? Pikirnya.     

Hanya lima belas menit dan makan siang pun selesai. Dian memasukkan kembali peralatan makan kedalam tas dengan rapih dan terorganisir dengan baik.     

"Baiklah, aku mau langsung pulang saja. Aku pulang dulu." Dian bangkit dan hendak berdiri untuk pulang, namun Dave meraih tangan Dian dan menariknya duduk kembali diatas sofa.     

"Aku sudah memasukkan nama temanmu di ponsel itu. Kamu bisa menelponnya kapanpun kamu inginkan. Tapi …" Wajah Dian lagi-lagi sumringah tersenyum senang. Dave tahu betul kalau wajahnya murung karena di tidak hapal nomer Calista yang baru.     

"Tapi apa?" Tanya Dian lagi.     

"Tapi, aku tidak mau melihat lagi kamu berbuat bodoh dengan kabur dari rumah. Kamu bisa janji?" Tanya Dave sambil mendekap lengan sang istri. Dian tersenyum tipis tidak tahu harus berkata apa. Tapi, untuk saat ini, berada didekat Dave adalah hal yang terbaik. Pria ini pun sudah mengurangi keegoisannya dan perlahan mulai mengerti apa yang kumau.     

Dian hanya mengangguk lemah. Tidak berkata apa-apa.     

"Kamu tidak bisa berjanji untuk tidak kabur dari rumah?" Sorot mata Dave mulai menggelap dan Dian merasakan sinyal bahaya akan segera datang. "Dian, jangan bodoh. Iyain saja dulu sekarang." Batinnya.     

"Ya, aku berjanji. Selama kamu tidak memperlakukanku seperti tawanan dan tidak berbuat kasar padaku, aku berjanji untuk tidak kabur dari rumah lagi." Jawab Dian sambil menundukkan wajahnya.     

Dave meraih dagu perempuan yang takut-takut itu agar kedua mata mereka bisa bertemu.     

"Kamu tahu, apa yang sebaiknya dilakukan setelah makan siang?" Dave menatap bibir Dian yang sudah menjadi candunya sejak pertama kali dia menyesapnya di sofa yang mereka duduki sekarang.     

"A-apa? Bekerja! Iya iya bekerja! Karena energi baru saja di isi jadi bekerja pasti lebih semangat." Jawab Dian gugup dengan jantungnya yang berdegup kencang.     

"No No. Bekerja setelah makan tidak akan efisien karena pasti mengantuk." Ujar Dave lagi sambil meraba bibir sang istri dengan ibu jarinya yang besar. Wajah mereka berdua bertemu dan hidung pun saling menempel satu sama lain.     

"Jadi, apa … yang harus … dilakukan?" Mata Dian menatap mata sang lelaki dengan napas yang mulai terengah-engah keluar dari hidungnya.     

"Tebak!" Ujar Dave lagi dengan senyum memikatnya.     

"Aku … tidak berani … menebaknya." Dian menggigit bibir bawahnya.     

"Jangan gigit bibirmu. Biarkan aku yang melakukannya." Dave menempelkan bibirnya ke bibir Dian perlahan. Pria itu menyesapnya dengan lembut namun lama kelamaan hasratnya meminta lebih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.