Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 232. Dialah yang Berusaha



II 232. Dialah yang Berusaha

0"Kenapa aku tidak berani? Bahkan aku berani untuk meninjumu dan menendangmu keluar sekarang juga! Huh!" Perempuan hamil itu mendengus kesal mendengar Darren yang akan menjadikannya seperti induk kucing yang melahirkan terus menerus tanpa jeda.     

"Hahaha, aku hanya becanda. Mana mungkin aku membiarkan istriku hamil dan melahirkan terus menerus? Sudahlah, anggap saja itu intermezzo. Setelah dari sini, kita langsung kembali ke rumah ya. Liburannya batal." Ucap Darren sambil mengambil bantal yang jatuh ke lantai.     

"Huh! Terserah kamulah." Jawab Calista sambil ingin berbaring kembali karena sudah terlalu lama duduk. Darren pun reflek membantu Calista merapihkan bantal dan posisi tidurnya agar lebih nyaman.     

-----     

Sepasang suami istri yang baru saja 'bekerja keras' diruang baca tadi pagi, kini sudah kembali berada dikamar setelah mandi dan berganti pakaian kembali.     

"Sayang, kemarilah." Dave menarik lembut tangan bidadari hatinya untuk duduk bersama dengannya di tepi kasur. "Seandainya, aku melakukan kesalahan besar, apakah kamu masih akan berada disampingku?" Dave menatap sepasang netra dengan bola mata warna hitam itu lekat-lekat.     

"Kesalahan apa yang kamu lakukan?" Dian balik bertanya, mencari jawaban di sepasang mata didepannya. Sejujurnya, dulu Dian ingin pergi sejauh mungkin dari pria yang berstatus suaminya ini. Namun, begitu banyaknya kejadian diantara mereka yang ternyata Dian tidak bisa menjauh darinya. Dan perlahan, rasa itu mulai tumbuh. Dia menyukai kehadiran Dave dan mengharapkan sentuhannya setiap saat. Bila Dave tidak ada disisinya, dia merasa ada yang kurang.     

"Hanya andaikan saja. Kalau aku, apapun yang terjadi, tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku sangat berharap dan selalu berdoa, agar Dave junior segera hadir di rahimmu. Aku sudah berbuat kesalahan yang amat besar sebelumnya, jadi aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Ujar Dave, pria iblis yang selalu menghantui seorang Dian.     

"Sudahlah, jangan bicara yang tidak-tidak. Aku mau menelpon Calista dulu. Sejak aku punya telpon, aku belum menghubunginya." Dave terkesiap mendengar penuturan sang istri. Dia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Sesungguhnya yang terjadi adalah, dia yang merencanakan pembunuhan Calista didalam villa. Namun karena keluguan orang-orang suruhannya, rencana itu berhasil digagalkan dan ketiga orang yang menculik Calista saat ini masih dalam proses penyelidikan di kantor polisi. Beruntung Dave tidak bertatap muka langsung dengan para penculik itu saat memberikan tugas. Namun, tetap saja Dave diliputi kecemasan sewaktu-waktu istrinya tahu kalau dialah yang berusaha membunuh temannya.     

"Calista, ini aku Dian." Dian tampak sumringah dan senang sekali sambungan telponnya diterima oleh teman satu-satunya itu. Dave duduk tersenyum tipis disebelah sang istri. Pria itu ingin mengetahui perkembangan perempuan yang gagal dibunuh itu.     

"Dian, apa kabar kamu? Kenapa kamu baru menelponku sekarang?" Suara Calista jelas terdengar dalam keadaan lemah.     

"Kamu … kenapa terdengar lemas? Kamu lagi sakit?" Dian menatap sang suami disebelahnya. Dave tersenyum dan mengusap rambut Dian yang tampak sangat khawatir dengan kondisi temannya itu.     

"Tidak apa-apa, aku hanya baru bangun tidur. Kamu dimana sekarang? Kita ketemuan yuk." Ucap Calista. Dia rindu dengan temannya itu. Dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama dan mengobrol apa saja hingga larut malam. Kini mereka sudah sibuk dengan suami masing-masing dan nyaris tidak pernah bertemu sama sekali.     

"Hayuk, alamat kamu kirim ke aku. Nanti aku kerumahmu. Atau, kita bertemu di luar." Ucap Dian dengan antusias.     

"Nanti kalau aku sudah ada di Jakarta, aku akan kirim alamat rumahku." Jawab Calista di ujung telpon.     

"Kamu sekarang dimana? Tidak lagi dirumah?"     

"Aku lagi diluar. Senang mendengar suaramu kembali." Ujar Calista dengan suara paraunya.     

"Sepertinya kamu sedang sakit. Ya sudah, kamu istirahat dulu. Ini nomer telponku, kamu bisa simpan ya." Ucap Dian sebelum mengucapkan salam perpisahan.     

"Siapa?" Darren yang sudah membelikan Calista ponsel baru dengan bantuan Ivan dan Hera, menyimak sejak tadi percakapan istrinya dengan orang yang tidak dikenalnya.     

"Dian. Temanku satu-satunya. Kami merencanakan untuk bertemu satu sama lain." Jawab Calista.     

"Ooh. Oya, dokter tadi bilang kalau kamu sudah boleh pulang hari ini. Sebentar lagi kita pulang, setelah Hera menebus resep di apotik." Ucap Darren.     

"Benarkah? Syukurlah, aku tidak suka bau rumah sakit. Walaupun aku kelak akan kembali lagi kerumah sakit saat melahirkan." Calista tersenyum cerah.     

"Permisi tuan, obat yang harus ditebus sudah selesai. Surat-surat juga sudah selesai distempel. Nyonya sudah bisa pulang sekarang." Ujar Hera yang menyusul ke puncak dengan dijemput oleh Ivan.     

"Bagus. Kita pulang sekarang, sayang. Aku tidak mau berlama-lama di tempat ini." Ivan yang sudah menyiapkan kursi roda dibantu salah seorang perawat di rumah sakit ini, membantu mengangkat Calista perlahan untuk duduk di kursi roda di dorong oleh Darren menuju mobil mereka yang dikemudikan Ivan. Darren merasa lelah dan ngantuk karena semalaman tidak tidur jadi dia tidak ingin mengemudi mobil saat ini, daripada terjadi hal yang tidak diinginkan.     

Hera duduk dengan Ivan di kursi penumpang bagian depan. Sementara kedua majikan mereka duduk di belakang. Calista menyandarkan tubuhnya ke samping dimana Darren duduk. Pria yang penampilannya sedikit kusut itu, mendekap lengan sang istri dengan penuh kehangatan. Istri yang terlalu banyak mengalami penderitaan akibat ulah kejam beberapa orang. Entah apa yang akan terjadi lagi padanya, tapi kali ini Darren pastikan, orang itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.     

Perjalanan menuju Jakarta memakan waktu lebih dari dua jam karena saat ini adalah akhir pekan. Waktu yang lama tersebut dimanfaatkan oleh Darren untuk beristirahat memejamkan mata agar tubuhnya kembali segar setelah tidur sejenak.     

Sementara di tempat lain, sepasang suami istri sedang mampir di rest area sebelum sampai dirumahnya.     

"Kamu lapar? Kita mampir makan dulu setelah mengisi bensin." Ucap Lewis sambil mengusap pipi mulus Likha dengan empat jarinya. Likha tersenyum dan mengangguk setuju. Setelah mereka menghabiskan momen berdua dengan suasana yang cukup panas dan romantis, Lewis tampak lebih romantis dann tidak canggung lagi untuk menunjukkan kemesraan dihadapan siapapun. Justru terkadang Likha yang merasa risih namun dia sedikit nyaman juga.     

Lewis menggandeng tangan Likha menuju sebuah restoran dengan ciri khas masakan bumi parahiyangan. Likha dan Lewis yang tidak terbiasa, mau mencoba menu makanan direstoran ini yang terkenal dengan ambil lalapan dan sambal sepuasnya. Likha memesan gurame goreng, tahu dan tempe goreng, juga sayur asam. Lewis meminta sop iga sebagai sayuranya. Minuman yang dipesan Likha adalah teh manis hangat dua.     

Sambil menunggu pesanannya dengan duduk di kursi dan meja yang terbuat dari kayu, Lewis menatap wajah ayu Likha yang tidak henti-hentinya dia pandang. Perempuan yang merasa di tatap itu, pura-pura melihat ke arah lain.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.