Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 231. Seperti Induk Kucing



II 231. Seperti Induk Kucing

0"Hei Likha, kemarilah. Ehh, ada apa ini?" Calista melihat Lewis dibelakang Likha berjalan masuk mengiringinya.     

"Kamu baru tahu? Mereka suami istri." Ujar Darren dengan senyum jahilnya.     

"Apa? Benarkah itu Likha?" Calista yang masih tampak lemah, mencoba tersenyum manis ke perempuan yang masih tampak malu-malu tersebut. Lewis yang berdiri dibelakangnya, tidak segan-segan merangkul mesra pinggang sang istri yang mendapat ejekan dari Darren.     

"Woooo, ada yang takut kehilangan, hahaha …" Darren tertawa terbahak-bahak melihat tingkah pria dengan rambut agak panjang dengan warna abu-abu kecoklatan tersebut.     

"Darren," Calista memberi kode sang suami untuk tidak terus menggoda mereka. Perempuan hamil itu bisa melihat perempuan berjilbab tersebut memerah wajahnya menahan malu. Darren pun mengangkat bahu dan terpaksa menyetujuinya. Padahal, menggoda Lewis adalah hal paling menyenangkan untuknya setelah pria itu selalu menggodanya diawal-awal pernikahan mereka.     

"Nyonya, sudah lebih baik?" Likha berjalan mendekat ke sisi ranjang Calista dimana tidak terdapat Darren disana.     

"Jangan panggil aku nyonya lagi. panggil aku Calista saja. Lagipula aku yakin usia kita tidak beda jauh." Jawab Calista dengan lembut.     

"Aku tidak berani. Atau, jangan-jangan anda tidak mau mempekerjakan aku lagi?" Likha menatap nanar perempuan hamil dihadapannya yang terbaring lemah. Perempuan berjilbab ini masih ingin mengabdikan ilmunya sebagai perawat. Kalau dia tidak bekerja dengan Calista lagi, dia akan mencari kerja di rumah sakit. Dan, waktunya tidak akan sefleksibel seperti saat menjadi perawat Calista.     

"Itu tergantung bagaimana suamimu mengijinkan atau tidak." Calista tersenyum ramah. Likha spontan menatap wajah sang suami yang menghela napas tidak tahu harus berkata apa. Mana mungkin dia mengijinkan istrinya menjadi perawat dirumah temannya? Lagi pula, Lewis bukanlah pria yang kekurangan uang sehingga sang istri harus bekerja juga. Namun, tampaknya Likha juga bukanlah istri yang bisa berdiam diri dirumah seharian. Dia adalah lulusan keperawatan dan pastinya dia tidak mau menanggalkan begitu saja ilmunya dirumah.     

"Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang bukan waktu yang tepat, okay?" Lewis mengusap lembut kepala sang istri yang terbungkus jilbab warna biru. Calista tersenyum senang melihatnya. Pria dingin yang pertama di kenalnya di kantin kantor, dengan segala keunikannya yang pernah membuat Calista kesal, kini sudah melunak. Bahkan mendapatkan istri yang jauh dari perkiraan orang-orang.     

Memang jodoh tidak kemana. Kalau memang sudah takdirnya, siapapun dimanapun jodohnya pasti akan dipertemukan.     

"Darren, kalau aku sudah tidak diperlukan lagi, aku dan Likha kembali ke Jakarta sekarang. Kalian bisa terus hubungi aku kalau ada perlu. Tapi, untuk sementara ini, aku culik istriku dulu ya." Lewis semakin mengeratkan pelukannya ke pinggang ramping sang istri. Dan, perempuan berjilbab itu melebarkan mata tatkala suaminya tidak canggung untuk menunjukkan kemesraan mereka.     

"Iya, selama aku masih di rumah sakit, silahkan berbulan madu. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan dan diberi keturunan yang banyak dan baik-baik semua, Aamiin." Ucap Calista. Dan, serempak diaamiinkan oleh tiga orang lain yang ada didalam ruangan tersebut. "Aamiin".     

"Hati-hati dijalan. Terima kasih atas bantuannya mencari istriku sejauh ini." Darren mengantar kepergian sepasang suami istri itu hanya sampai pintu kamar. Darren tidak ingin lagi meninggalkan Calista seorang diri tanpa pengawasan. Ivan yang biasa mengawal Calista, sedang mengurus barang-barang yang ada di villa bersama Hera untuk dibawa pulang.     

"Kamu mau makan?" Darren kembali menghampiri Calista yang belum bisa bergerak bebas karena perban di kakinya.     

"Tidak, aku belum lapar." Ujar Calista dengan posisi duduk masih miring.     

"Tapi si kembar pasti lapar. Kamu jangan lupakan mereka." Darren mengelus perut perempuan hamil yang mulai tampak membuncit meski masih muda, karena mengandung anak kembar jadi bentuknya sudah melebihi kehamilan anak satu.     

"Bolehlah roti saja. Aku tidak mau makan berat dulu." Jawab Calista.     

"Sambil makan, maukah kamu ceritakan padaku kejadian setelah aku tinggalkan? Aku pergi hanya ingin membeli makanan dan minuman hangat. Pas sampai kamar, ruangan berantakan dan ponselmu hancur bercerai berai." Ujar Darren sambil membuka plastic roti.     

"Aku lagi tiduran. Tiba-tiba suhu kamar panas dan gerah. Waktu aku membuka mata, ternyata mati lampu. Aku cari-cari ponselku untuk menyalakan senter. Dan, ternyata ada bayangan orang asing dengan pisau di tangannya. Huft Darren, aku trauma sekali melihat pisau." Calista menghela napas dan mendesah mengingat betapa dua kali dia hampir mati karena benda tajam tersebut.     

Darren mendekap lembut sang istri, tanpa mengenai luka di punggungnya. "Maafkan aku. Kalau tahu begini, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Maksud aku mengajakmu ke puncak adalah untuk beristirahat menghirup udara puncak yang bersih dan segar. Tapi, malah harus menghirup suasana rumah sakit lagi. Maafkan aku sayang. Kalau terjadi sesuatu lagi padamu, aku tidak akan memaafkan diriku." Ujar Darren sambil mengecup kening dan pipi sang istri.     

"Sudahlah, sekarang semua sudah berakhir. Darren, apa perlu aku belajar bela diri? Aku merasa aku tidak bisa lagi mengandalkan orang-orang untuk menjagaku." Ucap Calista. Di telinga orang lain mungkin ucapan Calista terdengar konyol. Tapi tidak di telinga Darren. Ya istrinya perlu bisa menjaga dirinya sendiri. Setidaknya jika mengalami sesuatu kejadian seperti ini lagi, dia tidak akan menjadi korbannya atau tidak akan parah seperti ini.     

"Kamu sedang hamil, mana bisa belajar bela diri?" Jawab Darren. "Tapi aku bisa mengajarkanmu yang lain." Ucapnya lagi.     

"Apa itu?" Calista tampak antusias mendengarnya.     

"Belajar menembak." Jawab Darren dengan senyuman tersungging di bibirnya.     

"Apa? Kamu ingin aku bisa menembak? Ih, punya senjata api itu kan illegal. Mana mungkin bisa membela diri kalau tidak punya alatnya." Jawab Calista tidak percaya, sambil memutar kedua bola matanya.     

"Kamu latihan menembak dulu. kalau sudah mahir, kamu bisa memiliki ijin resminya nanti sambil jalan. Aku yang akan urus perijinannya." Ujar Darren penuh semangat.     

"Apakah ini kamu?" Calista menatap wajah Darren lekat-lekat. Seperti bukan sifat suaminya yang tidak mengijinkann istrinya melakukan hal yang berbahaya. Ini malah menyuruhnya untuk latihan menembak.     

"Kalau kamu tidak mau tidak apa-apa. Tapi untuk bela diri, kamu harus menunggu setelah melahirkan. Atau bahkan beberapa bulan setelah melahirkan agar kondisimu fit kembali. Itu juga kalau kamu tidak hamil lagi." Ucap Darren dengan santainya.     

"WHAT? Bahkan aku belum melahirkan saja, kamu sudah merencanakan kehamilan selanjutnya. BUG! Bantal rumah sakit melayang menimpa kepala Darren yang kaget dibuatnya.     

"Kamu? Berani sekali memukulku dengan bantal?" Darren menatap tajam wajah Calista.     

"Kenapa aku tidak berani? Bahkan aku berani untuk meninjumu dan menendangmu keluar sekarang juga! Huh!" Perempuan hamil itu mendengus kesal mendengar Darren yang akan menjadikannya seperti induk kucing yang melahirkan terus menerus tanpa jeda.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.