Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

V 464. Baron Serangan Jantung



V 464. Baron Serangan Jantung

0"Ya, andaikan kami diberi kesempatan untuk memiliki anak kembar lagi. Tapi ya sudahlah, kembar atau tidak yang penting sehat dan tidak kekurangan suatu apapun." Ucap Dian. Dave menggenggam lembut tangan sang istri.     

"Devan punya saudara kembar laki-laki tapi hanya diberikan kesempatan hidup 2 hari dan salah satu anak kembar kami itu meninggal karena sakit. Andaikan Devano masih hidup, pasti akan sangat senang karena memiliki keluarga besar yang sangat perhatian." Jawab Dave. Dave mendekap tubuh wanita hamil dengan sangat mesra.     

Tiada keraguan pada diri pria itu yang dulu terkenal playboy, mesum, liar, dan hidup semaunya, kini berubah 180 derajat setelah menikah. Dian mampu membuat pria dominan dan egois itu menjadi pria yang lembut dan sayang keluarga.     

"Aku lega sekarang. Aku bisa hidup tenang di sisa usiaku karena berhasil mengumpulkan kalian. Kelak, jika sesuatu terjadi padaku, kalian akan mendapatkan apa yang menjadi hak kalian. Aku mencari uang semua demi anak cucuku. Bukan buat siapa-siapa."     

Ucapan Baron membuat semua orang yang hadir memicingkan matanya.     

"Kenapa anda bicara seperti itu, pak? Seharusnya anda senang dan memiliki rencana panjang untuk hidup bersama anak cucu." Darren langsung berkata. Dian dan Rosa diam tidak bertanya dan juga tidak menyela. Mereka terbiasa hidup mandiri tanpa kasih sayang orangtua sehingga mereka tidak merasa sedih jika Baron berkata yang memancing penasaran.     

"Tidak apa-apa, intinya aku senang bisa berkumpul lagi dengan kalian." Ucap Baron. "Besok aku akan pulang kerumahku dengan penerbangan pagi hari. Mari kita rayakan hari ini dengan makan-makan sepuasnya." Baron mengangkat gelasnya. Tidak ada minuman alkohol. Hanya soda dan jus saja. Semua orang pun bersuka cita dengan suasana hati yang berbeda.     

Setelah semuanya pulang, kini tinggallah Dave dan Dian yang duduk menikmati sisa hari ini di teras samping rumah.     

"Aku selalu suka duduk disini. Suasananya sangat damai dan membuatku relaks." Ujar Dian, sambil sesekali menyesap teh manis hangat dengan gula rendah kalori.     

"Aku suka dimanapun istriku berada. Kebahagiaan istriku adalah kebahagiaanku juga." Jawab Dave sambil memainkan rambut istrinya yang mulai dipanjangkan.     

"Kamu sekarang semakin pintar berkata manis. Atau memang dari dulu kamu sudah pintar merayu?"     

"Hahaha, ilmu pintar merayuku sayangnya tidak berlaku pada istriku." Jawab Dave.     

"Tidak juga, buktinya sekarang aku senang mendengarnya. Aku berharap Devan tidak mengikuti jejak daddynya dimasa sebelum menikah."     

"Yayaya, aku dulu memang bejat, playboy, dan segala buruknya lelaki. Tapi, aku bisa insyaf juga kok begitu mengenal seorang perempuan lugu."     

"Perempuan lugu?"     

"Hmm, perempuan lugu yang sifatnya ternyata keras kepala tapi mampu membuatku bertekuk lutut hingga melunturkan mahkota kesombonganku." Jawab Dave. Bibirnya mengecup dahi sang istri yang pipinya terlihat semakin chubby dari hari ke hari.     

"Apa kamu masih akan terus mencintaiku jika aku gendut dan hingga rambutku memutih?" Dian menatap mata sang suami dengan berkaca-kaca. Dave menatap wajah sang istri yang memelas dan sendu.     

"Aku akan mencintai kamu, apapun keadaan kamu. Aku ingin hidup terus menua denganmu. Memperhatikan anak kita memiliki anak lagi dan cucu yang berkeliaran bermain kesana kemari. Kita akan menikmati hari tua dengan banyak berkeliling dunia dan minum minuman terbaik di semua negara." Tak terasa mata Dian meneteskan air mata dan wajahnya memerah menahan haru.     

"Dave, I love you. I love you, daddy Devan." Dian menyusupkan wajahnya ke cengkuk leher sang suami dan menyembunyikan sesenggukan tangisnya disana.     

"I love you more, honey. Dengan segenap jiwa ragaku, aku akan selalu membahagiakanmu dan membuatmu menjadi wanita paling beruntung sedunia. Tidak ada yang bisa mengambil posisimu di hatiku." Dave mendekap tubuh sang istri dengan erat sambil satu tangannya puk puk punggung wanita hamil yang semakin melankolis setiap harinya.     

"Kita ke kamar saja. Anginnya semakin kencang." Ujar Dave.     

"Okay." Jawab Dian sambil berusaha untuk bangkit dari duduknya. "Ehhhhhh," Sekejap kemudian wanita hamil itu merasakan tubuhnya melayang. Dave membopongnya dengan kedua tangannya. "Turunkan aku, banyak orang melihat. Aku malu." Dian memegang leher sang suami dengan erat karena takut terjatuh.     

"Kenapa harus malu? Mereka semua adalah orang yang bekerja di rumah ini." Ujar Dave tidak mau tahu.     

"Dan, mereka jadi tahu betapa majikan tuannya bertindak semaunya tanpa tahu malu." Jawab Dian sambil melebarkan matanya.     

"Haha, aku tidak peduli."     

-----     

"Tuan, silahkan diminum obatnya sebelum kita naik pesawat 1 jam lagi." Laura menyerahkan sebuah pil warna putih di tangannya. Baron memiliki penyakit jantung sehingga harus mengkonsumsi obat setiap hari tanpa henti.     

"Hmm," Baron mengambil botol minuman dan pil yang ada di telapak tangan perempuan bayarannya. Seringai sinis tampak di bibir Laura.     

"Ughhhh," Baron yang sedang berada di kamar mandi selepas minum obat tadi, memegang dadanya dengan kencang. Matanya melebar dan tiba-tiba dia jatuh terkapar di atas lantai.     

"Tolooong, ada orang pingsan." Beberapa orang dan petugas bandara yang mendengar teriakan seorang pria di dalam kamar mandi, langsung berlari memberikan pertolongan. Baron langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sementara Laura yang sudah pergi dari bandara beberapa menit sebelumnya, tersenyum lebar dengan didampingi Ryan sebagai supirnya. Mereka berdua pergi meninggalkan Baron yang terkapar tidak berdaya tanpa ditemani seorangpun orang terdekatnya.     

"Sayang, ponselmu berbunyi." Dave yang sedang mengenakan dasinya, memanggil sang istri yang sedang sibuk memilihkan jas untuk suaminya.     

"Dari siapa ya pagi-pagi begini." Dian segera menghampiri ponsel yang tergeletak di atas nakas.     

"Nomer tidak dikenal." Ujar Dian. Dave memicingkan matanya dan menghampiri sang istri yang masih kebingungan.     

"Halo, apa benar ini ponsel ibu Dian?" Suara seorang pria asing terdengar oleh Dave yang menjawab telpon.     

"Betul, ini dengan siapa?"     

"Maaf, kami ingin memberitahukan kalau pria bernama Baron Sabit sesuai dengan kartu identitas yang kami temukan, telah meninggal dunia. Dugaan sementara karena serangan jantung."     

DEG!!     

Jantung Dave serasa berhenti berdetak. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan ke istrinya yang menatapnya penasaran.     

"Baik, terima kasih atas informasinya. Tolong berikan alamat lengkapnya sehingga kami bisa kesana."     

"Ada apa, Dave?" Dian masih tidak mengerti.     

"Sebentar," Dave mencari ponselnya sendiri dan menelpon sekretarisnya.     

"Tolong kamu undur semua jadwal rapatku hari ini."     

"Ada apa, Dave? Kenapa kamu sangat mencurigakan?"     

"Sayang, ikut aku. Nanti aku ceritakan di jalan." Dave memakai jasnya dan membantu sang istri mengenakan jaket warna coklat yang diambilnya sembarang didalam lemari.     

"Katakan padaku, ada apa?" Tiga kali pertanyaan Dian tidak digubris suaminya.     

"Aku tidak akan ikut kalau kamu tidak katakan padaku ada apa!" Dian menolak digandeng keluar kamar. Wanita hamil itu berdiri tegak disamping ranjang dengan tubuh yang sudah terbalut jaket.     

"Papah Baron meninggal dunia."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.