Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

V 465. Pemakaman Baron Sabit (1)



V 465. Pemakaman Baron Sabit (1)

0"Aku tidak akan ikut kalau kamu tidak katakan padaku ada apa!" Dian menolak digandeng keluar kamar. Wanita hamil itu berdiri tegak disamping ranjang dengan tubuh yang sudah terbalut jaket.     

"Papah Baron meninggal dunia."     

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Dian hanya diam tidak berkata apa-apa sama sekali. Dave selalu menggenggam tangannya saat lampu merah tiba dan kembali menyetir dengan kecepatan tinggi saat lampu hijau kembali menyala. Sesampainya di bandara, Dave mncari informasi keberadaan jenazah papah Baron berada dimana. Setelah mendapatkan informasinya, Dave yang selalu menggandeng tangan sang istri, berjalan menuju tempat yang dituju.     

"Beliau pingsan di kamar mandi dan langsung meninggal saat itu juga. Serangan jantung adalah dugaan pertama." Jawab salah seorang petugas medis yang memeriksanya. Mata Dian berkeliling mencari seseorang.     

"Ada seorang perempuan dan laki-laki yang selalu bersama beliau. Dimana mereka?" Dian bertanya. Dave baru ingat kalau papah mertuanya punya seorang sekretaris dan perempuan yang selalu menemaninya.     

"Oh, aku tidak tahu. Aku hanya bertugas disini. Mungkin kalian bisa bertanya pada petugas kepolisian disana." Tunjuk pria itu pada dua orang pria berseragam coklat yang bertugas menjaga keamanan bandara.     

"Aku ingin melihat jenazah papahku." Ujar Dian dengan ekspresi datar.     

"Silahkan."     

-----     

"Laura, kamu yakin rencana kita tidak akan ketahuan?" Ryan yang duduk di sebuah ruangan, tampak berbisik-bisik dengan perempuan yang duduk di sebelahnya dengan ekspresi tenang seperti tanpa beban.     

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja asalkan kamu mau menutup mulutmu dan pura-pura tidak terjadi apapun." Ucap Laura sambil tersenyum tipis.     

"Maaf telah membuat anda menunggu lama. Jadi, anda berdua tadi bilang kalau kalian berdua ada di dekat korban sebelum korban menuju kamar mandi. Lalu apa yang kalian bertiga lakukan sambil menunggu masuk kedalam pesawat?" Seorang polisi menginterogasi Laura dan Ryan karena dugaan tertentu.     

Proses interogasi berjalan cukup lama dan Laura mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik tanpa keraguan.     

Darren yang mendengar kabar Baron meninggal dunia, langsung meninggalkan meeting yang sedang berlangsung dan keluar ruangan menuju bandara seperti yang Dave katakan. Andrew yang mendengar ayah mertua yang baru dikenalnya, tidak bisa langsung meninggalkan kantor karena dia harus mewakili bosnya melanjutkan rapat. Namun, Andre terpaksa menyampaikan kabar duka cita tersebut pada istrinya. Rosa yang mendengar berita tersebut dari sang suami, hanya bisa sesenggukan menangis. Menangis bukan karena cintanya tapi menangis karena baru saja bertemu dengan ayahnya setelah puluhan tahun tapi harus dipisahkan kembali dan kali ini untuk selamanya.     

"Dian,"     

"Ya kak,"     

"Kamu ... sudah mendengar?     

"Ayah meninggal? Aku sedang berada di depan kamar jenazah. Ayahnya Devan sedang mengurus kepulangan ayah." Jawab Dian dengan ekspresi datar.     

"Oh, maafkan kakak tidak bisa hadir disana. Kini hanya ada kamu yang menjadi keluarga kakak. Baik-baik jaga kesehatanmu ya." Ucap Rosa sesekali menangis sesenggukan.     

"Iya kak. Kakak juga jaga kesehatan selalu. Kita akan selalu bersama dengan keluarga besar kita. Aku akan menyelidiki penyebab ayah meninggal." Ujar Dian.     

"Maksud kamu? Andrew bilang kalau ayah meninggal karena serangan jantung." Rosa tidak mengerti dengan ucapan adiknya.     

"Ada yang tidak beres. Tapi, ini baru feelingku saja. Nanti aku ceritakan ke kakak kalau sudah pasti." Jawab Dian. Setelah beberapa saat, panggilan pun berakhir.     

"Masih ada beberapa persyaratan lagi tapi hari ini pasti bisa dipulangkan. Kita bawa jenazah ayah kerumah lalu dimakamkan di Jakarta saja, jangan di Riau." Jawab Dave.     

"Iya," Dian diam tidak bisa berkata apa-apa. Dave memeluk sang istri dengan penuh cinta.     

"Kamu masih punya aku dan Devan. Kini bertambah lagi ada kakak kandungmu, teman-temanmu, dan lainnya. Kamu tidak akan sendiri, sayang. Ikhlaskan ayah pergi." Pria itu mengecup kepala sang istri. Dian yang tidak tahan dengan kata-kata rayuan Dave akhirnya luluh juga. Suaranya justru lebih kencang daripada kakaknya yang hanya menangis sesenggukan. Semua orang yang ada disekitarnya melihat ke arah perempuan menangis. Dave sampai tidak enak hati dan tersenyum tipis pada semua orang.     

Dave membawa Dian pulang untuk beristirahat agar tidak terlalu capek. Darren yang sudah tiba di lokas sejak satu jam yang lalu bersama salah seorang supirnya, melanjutkan proses pemulangan jenazah Baron ke rumah Dave dan Dian. Pria bermata hijau itu menyempatkan diri ke pos polisi terdekat untuk mengetahui jalannya penyelidikan pada perempuan dan aissten pribadi Baron yang dicurigai terlibat dengan kematian Baron.     

"Darren ... eh maksudku, tuan Darren," Laura yang baru selesai menjalani pemeriksaan, tersenyum lebar saat melihat pria yang dicintainya datang. Dia mengira Darren datang karena mengkhawatirkannya. Ryan yang melihatnya, tidak suka dan menebarkan aura permusuhan pada Darren yang berdiri tidak jauh darinya     

"Nona Laura, tolong jaga sikapmu. Semoga kalian tidak ada hubungannya dengan meninggalnya Baron Sabit. Atau, kalian akan mendekam di penjara dan tidak akan bisa keluar lagi." Jawab Darren dengan tatapan tajamnya.     

"Aku ... aku tentu saja tidak mungkin melakukan itu. Tuan Baron punya riwayat penyakit jantung dan dia ... sering mengalami serangan jantung mendadak. Hanya saja ..."     

"Sudahlah, aku kesini bukan untuk menginterogasi kalian." Darren meninggalkan sepasang kekasih di belakang layar itu.     

Laura mengeraskan rahangnya sementara Ryan tersenyum kecut pada Laura, perempuan yang membuatnya meninggalkan anak istrinya.     

"Korbanmu selanjutnya?" Tanya Ryan dengan nada sinis.     

"Korban? Dia adalah pria sempurna yang pernah aku kecewakan dan telantarkan. Tapi kini, aku tidak akan melepaskannya lagi." Ucap Laura dengan senyuman sinis.     

"Cih, terserah siapa incaranmu selanjutnya. Tapi, jangan lupa. Aku yang selalu ada untukmu." Jawab Ryan sambil menarik dagu Laura dan menatapnya seolah-olah ingin menelan dirinya.     

"Lepaskan! Banyak orang disini."     

"Kamu punya banyak hutang padaku. Jangan lupakan itu!"     

"Aku tidak akan lupa!" Jawab Laura sambil mengeratkan giginya.     

"Ckckck, aku tidak mau di pelototin begitu. Kita kembali ke hotel setelah ini. Dan, aku akan memberimu hukuman karena telah berani menentangku." Ucap Ryan dengan aura mengancam.     

-----     

Suara sirine ambulans terdengar nyaring meraung-raung memecah kesunyian perumahan elit. Rumah Dave sudah dipenuhi oleh orang-orang yang datang melayat. Ada Rosa dan Andrew, Jack dan Carol, Lewis dan Likha, Jhonny dan Jenny, juga Calista. Darren datang bersamaan dengan rombongan ambulan namun menggunakan mobilnya sendiri mengawal dari belakang.     

Rumah Dave yang biasanya sunyi kini berubah jadi ramai. Tenda dipasang di depan halaman rumahnya yang luas. Tamu yang datang ingin melayat datang terus menerus. Mendengar pengusaha terkenal Baron Sabit meninggal, beritanya langsung tersebar di berita online. Semua orang yang mengenalnya dan kebetulan ada di Jakarta langsung berdatangan ingin melayat. Beberapa awak media yang ingin meliput, dicegah oleh beberapa petugas keamanan yang disiagakan di pintu masuk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.