Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

V 519. Hadiah Untuk Leon



V 519. Hadiah Untuk Leon

0"Sayang, kemarilah." Lewis mengulurkan telapak tangan besarnya pada sang istri yang masih menundukkan wajahnya. Likha melihat wajah sang suami sejenak lalu perempuan berjilbab itu pun menghampiri sang suami dan menyambut tangannya untuk duduk di kursi yang lebih dekat dengan pria yang masih tetap tampan meski sudah memiliki anak tersebut.     

Bukannya membiarkan Likha duduk di kursinya, Lewis justru menarik tangan istrinya dan membuat perempuan itu terkejut karena dia kini berada diatas pangkuan sang suami.     

"Lewis, biarkan aku duduk di kursi. Aku tidak enak kalau ada yang masuk dan melihat aku begini." Ujar Likha panik.     

"Siapa yang berani masuk ke ruanganku begitu saja? Dia sudah bosan bekerja di perusahaanku."     

"Tapi, aku lebih nyaman duduk di kursi."     

"Aku ingin memelukmu lebih erat. Aku merasa … kalau akhir-akhir ini kamu menghindariku." Lewis memilin ujung jilbab Likha yang menutup rambut hitam lebatnya. Likha tertunduk diam. Dia memang sedang tidak ingin berduaan dengan suaminya karena hatinya seperti ada yang kosong meski sudah ditemani lantunan ayat-ayat suci setiap sesudah sholat.     

"Aku tahu … kamu sedang dalam fase jenuh. Semua orang pasti mengalami. Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpamu kalau kamu ke Bali? Aku tidak bisa lagi merasakan masakan buatanmu, tidur memelukmu, dan melihat rambut basahmu setiap pagi. Aku punya ide yang bagus agar kamu tidak jenuh dirumah." Ujar Lewis dengan senyum mengembang.     

Likha mengedipkan matanya berkali-kali.     

"Ide … apa?"     

"Kamu … boleh bekerja di rumah sakit itu …"     

"Benarkah?" Spontan sepasang mata indah itu berbinar-binar dan senyumnya mengembang lebih lebar dari ujung telinga ke telinga satunya.     

"Tapi …"     

"Tapi?"     

"Tapi … aku tidak ingin kamu bekerja di malam hari. Kamu hanya boleh bekerja dari pagi sampai siang. Jam kerja hanya delapan jam bukan?" Lewis menaikkan kedua alisnya.     

"Iya sih tapi … kan bukan aku yang menentukan jam kerjanya." Jawab Likha bingung. Ekspresi bengongnya membuat Lewis menahan tawa dalam hati.     

"Memang bukan kamu, tapi aku yang menentukan."     

"Kamu kan bukan pemilik rumah sakitnya, Lewis. Bagaimana mungkin …"     

"Pemilik rumah sakitnya adalah teman baikku. Dia harus mengikuti ucapanku atau aku akan buat rumah sakit itu bangkrut. Bagaimana?" Jawab Lewis lagi.     

"Huft, memiliki uang banyak itu mengerikan. Aku tidak akan pernah mengajarkan Leon untuk berbuat seperti itu." Jawab Likha sambil mengerutkan bibirnya.     

"Hehehe, dan sepertinya kamu tidak tahu berapa kekayaan yang dimiliki suamimu ini sampai-sampai aku takjub biaya tagihan kartu kreditmu tidak lebih besar dari tagihan listrik tiap bulan." Jawab Lewis lagi.     

"Memangnya aku kekurangan apa? Semua yang aku miliki sudah lebih dari cukup. Aku bekerja hanya ingin menggunakan ilmu yang kudapatkan dengan susah payah."     

"Iya iya aku tahu. Itulah betapa aku sangat beruntung memiliki istri seperti kamu. Aku yakin, di kehidupan sebelumnya aku pastilah pria yang banyak berjasa untuk negara sehingga aku dilimpahkan banyak kebahagiaan di kehidupanku yang sekarang." Lewis terkekeh sambil mengusap-usap lengan sang istri.     

"Kamu yang terbaik! Terima kasih, sayang. Maafkan aku selama ini bersikap tidak baik dan menegcewakanmu." Likha memeluk leher sang suami dan merasakan aroma parfum yang dikenakan sang suami begitu menenangkannya.     

"Kamulah yang terbaik untuk aku dan Leon. Tapi sayang, aku ingin memberi hadiah untuk Leon. Apa kamu setuju?" Bisik Lewis di telinga Likha dibalik jilbabnya.     

"Hadiah apa? Ulang tahun Leon masih lama." Likha merenggangkan pelukannya dan menatap wajah sang suami yang sangat segar dengan rahang kokohnya.     

"Aku ingin memberikan hadiah ke Leon seperti Darren, Jack, dan Dave memberikan hadiah untuk anak-anak pertama mereka." Jawab Lewis lagi. Untuk beberapa menit, Likha masih belum paham. Namun tiba-tiba wajahnya memerah dan mulutnya menganga tidak percaya dengan yang didengarnya.     

"Lewis, kamu!"     

Tanpa menunggu waktu lama lagi, pria yang sudah bisa mengembalikan senyum di bibir sang istri tersebut, menarik lembut tangan sang istri dan membawanya ke kamar khusus yang ada di sebelah ruangan kerjanya.     

"Lewis, aku … Umpphh," Lewis tidak menyia-nyiakan waktu setelah mengunci pintu dari dalam. Sudah hampir satu minggu dia tidak mendapatkan haknya. Dan, Likha bisa melihat betapa suaminya sangat merindukan hal tersebut. Likha tidak bisa menolaknya kali ini sehingga dia pasrah dan menyerahkan semuanya pada Lewis yang seperti biasa mendominasi permainan panas mereka di atas ranjang.     

-----     

Seorang pria tampak sedang berendam didalam bathtub didalam kamar mandi rumahnya yang baru saja ditempati kurang dari satu minggu. Momen seperti ini adalah yang paling dinantinya setiap pulang bekerja. Suasana kerja yang masih baru dengan wajah-wajah baru membuatnya harus beradaptasi lagi dari nol. Tapi, entah mengapa dia merasa tenang setiap malamnya, walaupun rasa itu kadang-kadang muncul setelah seringnya dilakukan bersama sang kekasih, Ruby.     

"Anton, sedang apa kamu?"     

"Aku sedang berendam. Aku baru pulang kerja dan sampai rumah. Bagaimana denganmu, sayang? Apa kamu sudah sampai rumah?"     

"Berendam? Sepertinya menyenangkan. Aku akan melakukannya juga begitu aku sampai rumah." Jawab Ruby dengan nada lemah.     

"Kamu sehat-sehat saja kan? Kenapa suaramu terdengar lemas?" Anton menyalakan speaker untuk melalukan hubungan komunikasi jarak jauh dengan sang kekasih.     

"Aku memimpin dua rapat hari ini. Rapat yang panjang dan melelahkan. Dan, aku tidak punya tenaga untuk melakukan semua itu … kalau kamu tidak ada disini." Ujar Ruby sambil menatap ke luar jendela. Ruby memakai jasa supir selama sejak satu minggu yang lalu karena dia ingin langsung memejamkan mata selama dalam perjalanan dari kantor ke rumah. Rumah yang sudah bisa di sewa sendiri, tanpa harus tinggal menumpang lagi dirumah tante Sara.     

"Kamu … baik-baik saja kan?" Pertanyaan Anton sepertinya sia-sia karena Ruby justru terdiam.     

"Aku kangen kamu." Anton tersenyum mendengar perkataan perempuan berambut pirang yang terdengar jelas sangat merindu.     

"Aku juga kangen kamu. Sangat sangat kangen." Jawab Anton. Tidak dipungkiri momen-momen bersama Ruby adalah yang terbaik yang pernah dia rasakan. Rasa lelah langsung hilang begitu saja setiap kali mereka memadu kasih sepulang bekerja. "Tapi, kita harus kuat sampai waktunya tiba. Aku ingin membuktikan pada semua orang kalau aku bisa memegang amanah ini." Jawab Anton sambil mendongakkan kepalanya untuk meresapi air hangat yang menyentuh tengkuk bagian belakangnya.     

"Hari Jumat ini tanggalan merah. Aku akan terbang kesana pagi-pagi sekali. Dan, kembali ke Jakarta minggu pagi. Apakah … kamu mau menyambutku di bandara?" Tanya Ruby sambil menggigit bibirnya.     

"Aku tidak sabar untuk menantikan hari itu. Kita akan memiliki tiga hari paling menakjubkan karena tidak ada siapapun yang kita kenal disini." Jawab Anton dengan seringai nakalnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.