The Eyes are Opened

Berkemah : "Turun Gunung"



Berkemah : "Turun Gunung"

0Hari itu matahari sudah mulai lebih tinggi, aku yangbaru saja bangun dari tidur melihat ke arah jam tanganku.     

"Waahhh nggak kerasa aku tidur selama dua jam lebih" Gumamku saat mengetahui sekarang sudah pukul 07.15 WIB. Segera aku bangun dan keluar dari sleeping bagku. Aku melihat ke kanan terlihat Claudi yang masih tertidur pulas. Dengan Perlahan agar Claudi tidak terbangun, aku keluar dari tenda dan menikmati matahari pagi yang sudah bersinar.     

"Huuwaahhh udaranya segar banget yaaa ternyata di sini.. Padahal sudah di atas mataharinya.. Tambah ramai aja dari pada yang kemarin." Ucapku sambil melihat ke arah sekeliling     

Aku yang tak tahu harus mau ngapain untuk saat ini memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar tenda. Tak jauh dari area tenda, ternyata terdapat sumber air mata yang mengalir deras. Aku mencoba mendekatinya. Terlihat beberapa orang yang datang ke sumber air mata itu untuk bersemedi maupun untuk berdoa saja. Aku mencoba mendekati sumber air mata itu dan membilasnya pada wajahku sambil ku panjatkan doa selama aku membilasnya. selesai membilas wajahku dengan sumber mata air itu aku kembali ke tenda untuk makan pagi. Dari kejauhan terlihat Claudi yang sudah bangun dari tidurnya sedang menyuruput segelas minuman hangat. Aku berlari menghampirinya untuk ku ajak makan pagi di warung mbok Yem.     

"Diii!!!" Teriakku sambil melambaikan tangan ke Claudi yang tengah asik menikmati minumannya.     

"Lu dari mana aja Ndra? Kok dari tadi nggak keliahatan. Gue cariin lu juga nggak kelihatan. Gue kira lu hilang."     

"Aku abis jalan-jalan ke sekitaran sini. Pengen tahu aja di sekitar Sendang Drajat ada apa aja, terus nemuin sumber mata air disana." Ucapku sambil menunjuk ke arah sumber mata air tersebut.     

"Ow ya? Boleh mandi dong?" Ucap Claudi dengan antusias.     

"Iya bisa mandi kalau kamu mau dilihatin banyak orang disana. Hahahahaha"     

"Iiiiihhhh lu itu ya Ndra sudah bikin orang senengbisa mandi eh, malah di kerjain." Ucapnya sambil memasang muka cemberut.     

"Eh Di, kamu sudah sarapan pagi belum?" Tanyaku.     

"Belum. Maunya sih bikin telur rebus tapi ntaran aja. Kenapa? Lu mau makan?"     

"Iya. Mau makan ke warung Mbok Yem nggak?" Ajakku.     

"Uhmm mau-mau aja sih.. Coba kita tanya bu Maria yang sedang duduk di tendanya, jam berapa kita turun." Ucap Claudi sambil cepat-cepat menghabiskan minumannya dan menghampiri bu Maria. Kami berjalan menuju tenda bu Maria yang tepat di seberang kami.     

"Permisi bu.. Kami mau tanya, kita turun jam berapa ya?"     

"Uhmm... mungkin jam 9 atau jam 10. Kenapa?" Tanya bu Maria.     

"Uhmm... boleh nggak kita turun dulu bu, kita mau ke warung mbok Yem. Kita tunngu di sana sambil sarapan bu.." Ucapku.     

"Uhmm benera ya? Kalian nggak kemana-kemana setelah tiba di mbok Yem? Nggak langsung turun begitu saja juga kan?" Tanya bu Maria yang mengkhawatirkan kami.     

"Iya bu. Kami nggak akan kemana-mana setelah tiba di warung mbok Yem kok. Jadi boleh nggak bu?" Tanyaku dan Caludi bersamaan.     

"Iya. Hati-hati saat turun ke warung mbok Yem yaa... Kamu anak walinya pak Doni ya? Nanti saya akan sampaikan ke beliau." Ucapnya.     

"Iya bu. Makasi.."     

Mendengar hal tersebut, tanpa pikir panjang lagi aku memasukkan semua barang-barangku ke dalam ransel untuk bergegas turun.     

"Ndra! Ini barangnya Karin gimana?"     

"Ya biarin aja di situ. Uhmmm.. aku kasih sticky note aja deh biar nanti dia abis balik dari puncak tahu kalau kita sudah turun dulu."     

"Oke-oke." Ucap Claudi yang sudah hampir selesai mempacking barangnya ke dalam tas ranselnya.     

"Aku tunggu di depan ya Ndra!"     

"Okeee.." Ucapku sambil menulis pesan yang aku tempel di depan tasnya Karin agar ia tak mencari kami saat tiba dari puncak.     

Hawa dingin masih terasa menusuk di kulit kami saat kami hendak menuruni Sendang Drajat. Angin yang berhembus memang sangat sejuk namun juga menusuk hingga ke tulang-tulangku. Aku tetap terus berusaha untuk menjaga agar tubuhku terasa hangat hingga sampai di warung mbok Yem. Jika tidak, maka aku akan kedinginan selama perjalan turun gunung nanti.     

Kami turun ke tempat warung mbok Yem lebih cepat dari pada saat kita naik. Hanya membutuhkan waktu 50 menit, kami telah tiba. Terlihat banyak sekali pendaki yang baru saja tiba ataupun bermalam di sekitaran gunung Lawu sedang menikmati sarapan paginya di warung mbok Yem. Beberapa pendaki juga sedang berbagi cerita pengalamannya selama mendaki gunung Lawu. Aku terus berjalan mendekati warung yang berjejer di sana untuk membeli satu piring makanan dan segelas teh panas sebagai pengahat tubuhku. Aku dan Claudi duduk di pinggiran warung yang terbuat dari batu yang sangat besar sambil menunggu makanan kami di sajikan. Saat kami sedang santai dan menikmati pemandangan sekitar, ternyata ada seorang porter yang membawa peralatan dan kebutuhan kami yang juga sedang makan di warung mbok Yem. Ia sedang berbgai cerita pada pendaki yang lainnya yang juga sedang menikmati kopi dan makan pagi mereka.     

"Sampeyan tekan ngendi mas? (Kamu dari mana mas asalnya?)" Tanya porter tersebut pada seorang pendaki pria yang masih muda menggunakan jaket hitam dengan pelindung kepala berwarna biru dan tas carrier besar berwarna merah di sampingnya.     

"Aahhh,, saya dari Jawa Barat pak. Bapak asli sini?" Tanya pemuda itu.     

"Inggih, kulo tekan Songgoriti mas. Kaping pirang-pirang sampeyan munggah ing Gunung Lawu? (Iya saya berasal dari Songgoriti mas. Mas e sudah berapa kali mendaki gunung Lawu?)" Tanya bapak porter itu.     

Tak lama kemudian, nasi yang aku pesan dan juga teh panasnya telah datang. Aku bersama Claudi dengan cepat makan nasi yang sudah berda di hadapan kami. Pagi itu tersa nikmat sekali makan nasi pecel dari mbok Yem. Rasa lapar di perutku terpenuhi hingga aku tanpa sadar menghabiskan nasi yang ada di piringku dan memesannya lagi.     

"Ndra. lu kelaparan banget ta sampe nambah dua pirimg?" Tanya Claudi yang melihatku keheranan.     

"Hehehehe... iya e.. Ya bilang aja sebagai isi bensin dulu sebelum turun nanti kan? Ow ya beli jajan juga yan Di, biar nanti kalau di tengah jalan waktu turun turun pas laper ada makanan yang bisa di makan."     

"Oke." Ucap Claudi yang masih menikmati nasi pecelnya.     

Kami menikmati makan pagi dengan sangat senang. Meskipun hanya sederhana tapi makanan ini membuatku bahagia.     

["Ternyata enak juga ya naik gunung. Tapi kalau sering keliahatan 'penunggu' di sini ya jadi was-was jugaaa..haaahhhh"] Gumamku dalam hati.     

"Ndra! Dyandra!" Teriak Claudi yang sedang memanggilku beberapa kali namun aku tak menyadarinya.     

"Hmm?? Apa Di?" Tanyaku dengan wajah polos.     

"Ini nasi mu sudah datang nih. Cepetan makan sebelum keburu dingin."     

"Iya-iya. Makasi ya Di sudah kasih tahu." Ucapku sambil mengambil sepiring nasi yang di taruh di atas bangku dekat kami duduk.     

"Waahhh.. gila ya.. ternyata kecil-kecil makannya lebih banyak dari pada gue. Hahahahahah.."     

"Hohohoho.. Rasanya udah kebiasaan deh dari kecil di kasih makan banyak. Hohoho.."     

"Udah lah makan aja dulu ntar tersedak lo! Gue mau ambil gorengan." Ujar Claudi yang hendak mengambil gorengan di depannya.     

Ketika aku masih asik makan, ternyata bapak porter yang berada di depan warung masih melanjutkan cerita pengalamannya selama menjadi porter di gunung Lawu. Ia menceritakan banyak hal mistis yang ia alami selama bekerja. Baik itu ia mengantarkan pendaki yang cuman ingin berwisata maupun pendaki yang ingin melakukan ritual.     

Aku yang sedang makan, akhirnya ikut mendengarkan sebagian cerita dari bapak itu yang juga di dengarkan oleh pendaki-pendaki yang lainnya.     

Bapak itu bercerita jika ia sering kali mengantarkan pendaki yang terkadang selalu melanggar aturan yang ada di gunung lawu meskipun para pendaki sebelumnya sudah di briefing dan melakukan doa terlebih dahulu.     

"Pernah mas saya mengantarkan seorang pendaki perempuan, padahal di awal sudah di beri tahu aturan-aturannya kalau perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh mendaki, tapi ya gitu.. ada saja pendaki yang melanggar, saat sedang jalan ada aja kecelakaan. Dari hal kecil yang susah jalan, smaapai kesurupan. Jadi kalau di gunung manapun itu ada peraturannya, kalau di langgar ya gitu pasti ada halangannya sendiri." Jelas bapak porter bercerita sambil kembali menyeruput kopi hitamnya.     

"Ada lagi nggak pak pengalaman mistis yang pernah bapak alami selama jadi porter?" Tanya pemuda yang berada di sampingnya.     

"Oh ya ada mas.. Banyak pengalaman saya yang seperti itu. Biasanya kalau pengalaman mistis waktu menjadi porter para pendaki ritual."     

"Pendaki ritual?"     

"Iya. Biasanya mereka yang pernah punya nazar dan doanya terkabul selalu ke gunung buat memberikan seserahan gitu."     

"Seserahannya apa pak?" Tanya pemuda itu lgi.     

"Ya.. biasanya nasi tumpeng, lalu mereka juga bawa kambing gitu. Lebih beresiko dari pada menjadi porter pendaki pada umumnya. Pernah ada pelanggan datang, dua orang mau melakukan ritual. Biasanya niatnya naik ke Hargo Dalem dan Sendang Drajat. Mereka sampai bawa kaming dan saya saat itu harus membawa kambingnya ke atas. Yaahhh.. nggak mudah buat bawa kambing naik, apalagi hewan liar di gunung Lawu ini masih ada seperti macan tutul mas. Ya deg-degan saat bawa kambingnya. Merinding pas bawa kambing itu. Lah gimana, setiap kambingnya dengar ada geraman macan tutul langsung nggak mau jalan lagi. Ya saya terpaksa nggendong sampai ke ats, kadang saya masukan kedalam karung mas." Jelas bapak itu.     

Mendengarkan cerita bapak porter yang sangat menarik namun juga mendebarkan membuatku betah berlama-lama duduk dan bersantai di warung mbok Yem. Selagi menunggu rombongan sekolahku tiba aku bersama Claudi akhirnya ikut duduk di dekat bapak porter sambil mendengarkan kisahnya.     

"Saya juga pernah mengalami hal mistis lain saat jadi porter menemani pendai yang ingin melakukan ritual. Waktu itu ada seorang pendaki dari Jawa Barat membawa kambing sebagai ucapan terimakasih karena doanya terkabul. Nah, biasanya setelah kambing itu disembelih, potingan daging kambing, bagian kaki, ekor dan hati di letakkan di Hargo Dalem. Waktu saya menginap di pos bayangan, tahu-tahu ada seperti orang naik kuda tanpa kepala. Kepalanya di tenteng. Saya yang lihat itu terkejut dan langsung saja saya berteriak. Bos yang bersama saya sedang tidur di dalam tenda sampai terbangun, tetapi saya tidak bisa berbicara apapun maupun menengok melihat ke arah penunggang kuda itu. Saya cuman bisa menunduk ke bawah. Saya di tanyai ada apa, lalu saya berkata jika ada orang yang datang kepada saya menaiki kuda. Lalu saya terdiam ngak berani melanjutkan kata-kata saya. Hingga akhirnya saya menceritakan apa yang saya lihat semalam di keesokan harinya. Nggak hanya itu saja mas, ada pendaki lain yang ikut bersama saya. Pendaki itu mengalami hal ghaib saat ia sedang di dalam tenda. Tenda yang kami dirikan tepat di depan warung yang berada di jalur menuju puncak. Malam itu ia bertanya apakah saya mendengar suara orang berjalan layaknya seorang prajurit? Karena saat itu saya nggak mendengar apapun, maka saya nggak terlalu memperdulikan ucapan pendaki itu dan saya menyuruhnya untuk tidur saja. Nah.. nggak lama waktu jam 12 malam, ada yang mengitari tenda saya sambil mengetuk tenda. Terlihat dari dalam tenda seperti bayangan hitam yang sangat besar. Saya tahu jika bayangan itu bukanlah manusia tetapi penunggu gunung Lawu. Akhirnya saya menyalakan ponsel lalu memutar lagu sambil berusaha untuk tidur" Tuturnya.     

Mendengar cerita dari bapak poster itu seketika bulu kuduku berdiri dan aku hanya bisa menatap mata Claudi yang juga terlihat terheran dengan cerita bapak itu. Aku melihat ke arah jam tanganku. Waktu telah menunjukkan pukul 09.35 WIB. Itu tandanya sebentar lagi kami akan pulang ke rumah. Aku masih menunggu di warung mbok Yem bersama Claudi. Lalu selang tak berapa lama, beberapa teman kami yang lain juga datang menuju warung mbok Yem. Terlihat segerombolan anak laki-laki dari kelas E yang tidak mengikuti summit tadi pagi telah turun. Mereka langsung saja masuk kedalam warung mbok Yem untuk membeli beberapa gorengan dan segelas teh hangat. Namun siapa sangka jika penantian yang aku inginkan untuk cepat pulang akan terhambat di tengah jalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.