The Eyes are Opened

Gentayangan (Part 02)



Gentayangan (Part 02)

0Sore itu suasana sangat hening di rumah pak Junaidi, meskipun terdapat dua anaknya yang telah pulang sekolah, namun karena kebiasaan mereka suka belajar dan membca buku, suasana rumah menjadi sangat sunyi.     

"Kak, tumben bapak belum bangun sudah sore gini? Apa nggak lebih baik Maya bangunin bapak?" Ucap Maya yang sedang mengerjakan PR sekolahnya.     

"Hmmm... sepertinya jangan dulu, munkin bapak sedang kecapekan semalaman udah bergadang. Nanti aja kalau hari sudah mulai gelap baru kita bangunin ya dek.." Ucap Samirah.     

[tik-tok-tik-tok-tik-tok-tik-tok]     

Jam di dinding rumah pak Junaidi terus berputar, namun hingga sore menjelang pak Junaidi tak kunjung bangun dari tidurnya. Hingga akhirnya pak RT datang menjemput pak Junaidi sesuai dengan perjanjian tadi pagi saat di tengah jalan. Pak RT mengetuk pintu rumah pak Junaidi yang terasa sunyi dan tenang, sampai akhirnya anak pertama pak Junaidi, Samirah membukakan pintu dan menanyakan perihal kedatangan pak RT ke rumahnya. Sore itu kedua anak pak Junaidi belum menadari kondisi bapaknya yang telah meninggal beberapa jam yang lalu, mereka mengira jika bapaknya masih tertidur lelap karena kelelahan hingga akhirnya pak RT menyuruh Samirah membangunkan pak Junaidi. Bertepatan dengan ibunya Sakinah yang baru saja pulang bekerja di salah satu rumah sebagai asisten rumah tangga, segera saja Samirah menyuruh ibunya untuk membangunkan bapaknya yang sedang tertidur sejak siang tadi. Namun siapa sangka saat pintu kamar terbuka..     

"BAPAAKKKK!!!!" Suara teriakan bu Sakinah terdengar saat memasuki kamar mereka disusul dengan suara isak tangis yang menderu-deru memenuhi seisi rumah pak Junaidi sore itu.     

Pak RT yang saat itu bertepatan berdiam di rumah pak Junaidi seketika ikutan terkejut melihat kondisi pak Junaidi yang telah tak bernyawa. Ia keluar dari rumah pak Junaidi dan memnita tolong warga sekitar untuk membantu keluarga pak Junaidi dan jenazahnya agar segera di kebumikan. Pak RT yang terlihat sibuk dengan ponselnya yang beberapa kali berdering tak kuasa menahan tangisannya yang ia tahan sejak tadi. Air matanya seketika pecah saat melihat jenazahpak Junaidi di mandikan oleh beberapa orang bapak-bapak dari tetangga sekitar. Belaupun ikut membantu memandikan dan memberikan kain kafan sebagai pengantar perpisahan terakhir bagi warganya. Hingga akhirnya malampun tiba, seisi rumah pak Junaidi seketika penuh dengan orang-orang yang berdatangan dengan membawa berbagai bahan makan seperti beras, gula, garam, dan air mineral. Ada juga beberapa orang yang memberikan amplop putih sebagai ganti bela sungkawa yang mereka rasakan. Bu sakinah beserta kedua anaknya, Samirah dan Maya pun duduk terdiam di sudut rumah kecil tersebut sambil menenakan pakaian kebaya serba putih dan berkerudung putih menutupi kepala dan sebagian wajah mereka yang sembab karena menangis.     

"Huk-huk-huk-huk... Bapaakkk...huk-huk-huk-huk.. bangun pakkk...huk-huk-huk.." Suara isak tangis Maya yang memecahkan suasana di rumah itu terdengar begitu keras, seakan tak inigin kehilangan sosok sang ayah yang selama ini menemaninya hingga 10 tahun. Di usianya yang masih kecil Maya harus merelakan untuk kehilangan seorang ayah yang biasanya menemaninya saat bermain dan belajar.     

Samirah yang duduk di sebelahnya hanya dapat memeluknya dari sebelahnya untuk menenangkan adiknya yang masih belum dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada. Samirah terlihat tak menangis di saat itu, ia hanya terdiam melihati tubuh sang ayah yang terbujur kaku di depannya dengan kain batik yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia memeluk ibunya dan adiknya yang berada di sisi kanan dan kirinya. Samirah terus menatap dengan mata yang sendu melihat ayahnya terbaring tak dapat melakukan apapun saat itu. Tatapan yang penuh dengan tanya dan perasaan yang tak dapat di ungkapkan seketika pecah tak terkendali. Samirah berlari memasuki kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa menyesal kenapa tak mendengarkan suara adiknya siang itu. Menutup pintu kamarnya dan membungkam wajahnya dengan bantal agar suara tangisannya tak terdengar oleh tamu-tamu yang hadir malam itu. Seisi rumah Samirah malam itu terus dikumandangkan dengan doa-doa agar yang di tinggalkan di beri kekuatan dan ketabahan, serta yang meninggalkan di beri ketenangan di akhirat.     

Semakin malam semakin sunyi, suara para pendoapun mulai melirih. Samirah bersama ibu dan adiknya mulai membasuh wajah mereka dengan air bersih dan berdai di depan jenazah ayahnya bersama pak ustad yang memimpin doa malam itu. Selesai berdoa Samirah bersama adik dan ibunya hanya duduk terdiam dan terus terus memandangi tubuh ayahnya yang mulai kaku dan membiru. Bunga-bunga mawar, melati dan potongan daun pandan di tata di sekitar tilam dimana ayahnya di baringkan agar tak menimbulkan bau busuk yang menyengat di dalam rumah. Hari telah menunjukkan tengah malam pukul 12.00 WIB. Beberapa warga bapak-bapak menemani kami dan menjaga rumah kami hingga pagi hari. Ibu yang masih tak percaya ayah sudah meniggal, masih terus duduk di sanding tubuh ayah sambil membelai rambut ayah. Air matanya sudah kering, hatinya sudah hancur, hingga tak dapat berkata-kata lagi melihat ayah yang terbujur kaku. Ibu hanya berkata kepada kami untuk tidur terlebih dahulu agar besok kami tidak sakit karena kelelahan. Urusan sekolah besok baru di urus dan ijin ke kepala sekolah untuk tidak masuk beberapa hari. Samirah dan adiknya hanya mengangguk dan menuruti ucapan ibunya, lalu masuk ke kamar mereka. Malam itu benar-benar rumah Samirah terasa berbeda dari biasanya. Tak terdengar suara ayah yang membuat canda tawa kami, tak terdengar lagi suara ibu yang mengomel kepada ayah jika ibu meminta tolong. Kenangan-kenangan bersama ayah serasa meluap begitu saja di pikiran Samirah hingga ia tak dapat menahan air matanya yang terus berjatuhan malam itu.     

"Bapaakk adek kangeenn.." Suara lirih dari balik selimut terdengar dari Maya yang terbawa mimpi tentang ayahnya. Mendengar hal tersebut Samirah yang masih terjaga dari tidurnya menangis sesenggukan dan membungkam wajahnya dengan bantal tidurnya, hingga bantal itu basah penuh dengan air matanya. Rasa rindu yang teramat dalam ini menyesakkan hati Samirah bersama adik dan ibunya. Ia tak dapat membayangkan bagaimana kelanjutan hidupnya tanpa seorang ayah yang menemaninya hingga ia dewasa. Samirah akhirnya tertidur karena tubuhnya mulai lelah hingga air matanya tak dapat keluar lagi dan matanya mulai sembab. Malam itu berakhir dengan membawa kenangan sang ayah di dalam mimpi.     

"Hoaaaammmm... ngantuk juga ya? Perasaan baru aja kemarin masih ngobrol santai sama pak Junaidi, eh sekarang kita yang jagain rumahnya.." Ucap salah satu warga yang ikut membantu berjaga malam itu.     

"Iya lho! kok bisa kalau kena sakit tapi nggak ketahuan! Apa nggak ada gejala sebelumnya?" Ujar yang lainnya.     

"Lho bukannya kemarin pak Jun lagi jaga malam di kompleks sama pak Supardi?"     

"Tapi rasanya pak Supardi sendiri masih belum dengar kabar duka ini ya? Soalnya dari pagi rumahnya kosong. Apa lagi ke rumah orang tuanya ya di luar kota?"     

"Ahhh bisa jadi.. saya juga nggak terlalu dekat dengan pak Supardi soalnya.. meskipun saya bertetanggaan dengannya." Jawab seorang yang lain.     

Malam itu rumah Samirah di jaga oleh lima orang bapak-bapak dari warga sekitar yang dekat dengan pak Junaidi. Mereka menemani keluarga Samirah malam itu dan terus menjaga jenazah pak Junaidi serta mengganti bunga yang sudah layu. Para bapak-bapak berjaga dan menggelar tikar di depan rumah pak Junaidi sembari menyeruput secangkir kopi hitam yang hangat untuk mengusir kantuk yang terus datang mengahampiri mereka. Pak Jono, Pak Budi, Pak Andi, Pak Mastro, dan Pak Bayu yang terus bergiliran terjaga hingga keesokan harinya.     

Jam di dinding menunjukkan pukul 02.30 WIB.     

"Pak, saya pasang obat nyambuk lagi ya. Udah banyak nyamuk lagi nih! Kaki saya sudah pada di gigitin nyamuk." Ujar pak Andi yang tengah menggaruk kedua kakinya yang di gigit nyamuk.     

"Iya gih! Pasang yang banyak pak! Biar nggak ada nyamuk juga.." Timpal pak Mastro.     

"Lho obat nyamuknya kok harum banget ya? Bau melati gitu.. Emang ada ya?" Tanya pak Jono.     

"Hah?? Bau apa'an pak? Kok saya nggak cium bau wangi apa-apa ya? Pak Andi juga belum membakar oabt nyamuknya kok." Ucap pak Mastro sambil menunjukkan jarinya ke arah pak Andi yang sedang menyiapkan beberapa obat nyamuk sebelum di bakar.     

"Tapi betulan saya tadi nyium bau bunga melati lho! Pak Andi! Bapak cium bau bunga nggak?" Tanya pak Jono dari kejauhan.     

"Uhmmm nyium pak. Bau bunga sama bau daun pandan dari dalam rumah sih." Jawab pak Andi yang sedang membakar obat nyamuk di dekat pintu rumah.     

"Pakkk.. jangan buat pada ngeri deh. Kita ini sedang jagain jenazah lho pak. Nggak mungkin kan roh jenazah pak Jun gentayangan.." Timpal pak Mastro yang tiba-tiba merasa merinding di sekitar lehernya.     

Di saat yang bersamaan pak Supardi yang baru saja pulang dari rumah ibunya dan langsung bertugas menjaga kompleks berjalan ke arah rumah pak Junaidi karena jam jaganya telah selesai. Rumah pak Supardi memang agak jauh dari rumah pak Junaidi, namun jalan yang di tempuh searah dengan jalan rumahnya.     

"Kok di depan rumah pak Jun ramai sama bapak-bapak yang sedang kumpul ya? Ada apa ya?" Gumam pak Supardi dari kejauhan.     

Sambil membawa beberapa tas pakaian yang ia bawa dari rumah ibunya pak Supardi berjalan semakin cepat mendekati bapak-bapak yang sedang berjaga di depan rumah pak Junaidi. Ia tak menyadari adanya bendera putih dengan lambang kuning di depan rumah pak Junaidi. Langsung saja pak Supardi menyapa bapak-bapak tersebut di tengah malam yang kian sunyi dan dingin itu.     

"Malam pak!! Waahhh sedang apa nih kok tumben kumpul-kumpul di sini?"Tanya pak Supardi dengan nada yang sangat ramah. Bapak-bapak yang berkumpulpun terdiam dan saling bertatapan satu sama lain saat hendak menjawab pertanyaan pak Supardi.     

"Oh, pak Supardi sudah datang?" Kata pak Bayu yang terbangun dari tidurnya di selasar depan rumah pak Junaidi.     

"Oh pak Bayu juga ada di sini?! Waahhh ada acara apa nih pak Jun? Kok tumben sampai bapak-bapak ngeronda di sini?" Tanyanya lagi.     

"Lho kapan bapak pulangnya? Kok nggak kelihatan pulangnya?" Ucap pak Andi.     

"Ohh.. saya pulang dari rumah ibu saya barusan kok jam sebelas tadi, lalu saya langsung jaga pos di kompleks. Hehehe.. Anak istri saya masih tinggal di rumah ibuk saya, besok pagi baru pulang.." jawab pak Supardi yang masih belum menyadari jika rekan kerjanya sudah meninggal dunia.     

"Jaga sama siapa pak? Emang sudah ada gantinya?" Tanya pak Budi.     

"Ya sama sapa lagi kalau bukan pak Jun. Hehehehe.. Tapi pak Jun hari ini entah kenapa kok semakin pucat aja wajahnya. Lalu dari tadi saya aja bicara juga banyak diamnya. Saya kira ia masih sakit, jadi ya saya menghomati pak Jun dan nggak bicara apa-apa lagi. Cuman tadi pak Jun bilang kalau saya di suruh pulang aja, biar dia yang jaga malam ini. Kenapa pak? Kok rasanya ada yang janggal ya?" Ucap pak Supardi sambil melihat kesekelilingnya. Ia baru menyadari adanya bendera putih itu terpasang di depan rumah pak Junaidi dan seketika saja pak Supardi terdiam dengan tatapan yang membelalak dan segera mencari tempat duduk. Seketika kakinya terasa lemas tak dapat di tegakkan. Beberapa bapak-bapak yang berjaga saat itu segera menopang tubuh pak Supardi yang hampir tumbang setelah melihat sekelilingnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.