The Eyes are Opened

Hey Karin! (Part 02)



Hey Karin! (Part 02)

0[Tiiinnnn!!!Tiiinnnn!!Tiiiiinnn!!!]     

[Priiittt!!!Prriiiiittt!!!]     

Suara bising klakson kendaraan bermotor dan juga suara peluit tukang parkir menghiasi jalan di pagi hari yang sudah sibuk sedari tadi. Karin yang setiap hari berjalan kaki jika hendak ke sekolah selalu paham akan situasi tersebut. Ia berjalan menyusuri dari gang ke gang hingga ke jalan raya, lalu berjalan menyusuri trotoar yang terdapat di sepanjang tepi badan jalan dengan jarak kurang lebih 500 kilometer jauhnya dari rumahnya. Pagi itu cuacanya sangat cerah dan terang, matahari telah bersinar terang hingga teriknya terasa di kulit. Namun cuaca hati Karin sedang tak secerah hari itu, seakan ada awan yang tebal berwarna kelabu yang menyelimutinya. Ia tak seceria biasanya ketika pergi ke sekolah. Ia berjalan dengan sangat lambat dan pelan sambil menundukkan kepalanya melihat setiap langkah kakinya berjalan dengan sesekali melihat kesekitarnya. Hingga akhirnya ia tiba di depan gerbang sekolah yang hampir di tutup. Yap. Karin tiba di depan gerbang tepat pukul 07.58 WIB dimana banyak anak-anak yang sengaja terlambat datang lebih siang dari jam biasanya. Karin yang mengetahui dirinya telah tiba di sekolah dengan segera memasang wajahnya yang tampak muram berubah menjadi ceria seperti biasanya. Ia tak ingin teman-temannya melihatnya dengan wajah yang muram. Ia terus berjalan memasuki halaman sekolah yang cukup besar dan akhirnya ia bertemu denganku saat aku sedang berjemur di tengah lapangan.     

"Andraaaaaa!! Dyandraaa!!! Claudiii!!" Teriak Karin dari kejauhan sambil berlari mendekati kami.     

"Hei Rin! Lu baru datang jam segini?" Tanya Claudi yang kaget melihat Karin yang baru saja tiba di sekolah.     

"Wahhhh gila lu bisa-bisanya lu datang sesiang ini. Tumben-tumben banget lu Rin?"     

"Hahahaha.. Iya nih malas bangun pagi-pagi. Selagi boleh masuk siangan ya kenapa enggak. Hahahaha.."     

Melihat sekilas dari wajah Karin saat itu, ia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Saat itu aku hanya terdiam dan terus memandang gerak-gerik serta ekspresinya tanpa bertanya sepatah katapun. Terlihat sangat jelas jika ia sedang berusaha untuk menutupi sesuatu yang nggak ingin semua orang tahu akan keadaannya. Ia juga terus-terusan memegang perutnya dengan kedua tangannya. Tanpa basa-basi setelah aku dan Claudi mengantar Karin ke kelasnya, aku memutuskan untuk mengajak ke kantin.     

"Eh, abis gini ke kantin yuk! Aku pengen makan soalnya." Ucapku.     

"Wah boleh tuh! Aku juga laper gara-gara lu Ndra."     

"Lho emangnya kamu abis ngapain Ndra?"     

"Ohhh ada deh.. nanti di kantin aku ceritain. Yuk! Cepet taruh tasmu terus kita ke kantin!" Ucapku sambil menarik tangan Karin.     

Kami berjalan bertiga menyusuri lorong kelas yang riuh dan padat dengan anak-anak lain yang sedang bermain maupun bergerombol. Suasana sekolah saat itu sangat berbeda dengan hari-hari biasanya. Sangat kental dengan suara teriakan siswa ataupun siswi yang bermain di dalam kelas maupun di luar kelas. Ada yang foto-foto menggunakan kostum tradisional, ada yang menjadikan kelasnya sebagai bioskop, dan ada juga beberapa anak membuka jasa manipedi di kelas, dan masih banyak hal lain yang dilakukan saat itu. Tak hanya itu saja, ada beberapa siswa yang juga sedang asik menikmati bermain futsal di lapangan futsal sekolah dengan menggunakan seragam sekolah. Seakan hari ini sekolah berubah menjadi teman bermain.     

"Kamu mau makan apa Rin sekalian aku pesanin. Kalian ambil tempat duduk aja dulu. Kamu apa di?" Tanyaku kepada mereka berdua yang tengah sibuk mencari tempat duduk di kantin yang saat itu sangat ramai. Seakan-akan kantin menjadi tempat basecamp seluruh anak di sekolah.     

"Uhmmm.. gue mau nasi gorengnya tacik itu aja Ndra. Nasi goreng merah ya!" Ucap Claudi.     

"Aku bakso aja dulu Ndra." Ujar Karin yang telah menemukan tempat duduk di ujung belakang kantin sambil ku acungkan tangan dengan simbol oke pada kedua temanku saat itu.     

Dengan segera aku mengantri di beberapa stand untuk mendapatkan makanan yang ingin kami makan, dan beruntungnya hari itu pihak kantin bisa mengantar makanan pesanan kita ke meja. Jadi setelah aku memesan makanan yang ingin kami makan, segera aku menghampiri teman-temanku.     

"Sudah aku pesankan semuanya! Nanti ada yang antar ke sini katanya." Ucapku dengan wajah sumringah.     

"Hah?! Seriusan lu Ndra? Sejak kapan kantin sekolah kita punya yang kaya begituan?" Ucap Claudi yang tercengang keheranan.     

"Uhmmm.. aku sendiri ya gak tahu sejak kapan.. Tapi tadi pas pesen makanan di tacik kantin bilangnya gitu, yang lainnya juga gitu kok. Makanya ini aku bawa nomor meja." Ucapku sambil menunjukkan tiga papan kecil yang bertuliskan angka yang sangat besar dan terdapat nama toko kantin di baliknya.     

"Waahhhh keren-keren nih sekolah kita! Kaya gini dong sering-sering. Hahahahaha.. Kan jadinya nggak sering rebutan tempat duduk kalau pas beli makan di kantin." Ucap Claudi yang masih kegirangan dengan sistem pelayanan di kantin.     

"Ow ya Ndra tadi kamu mau cerita apa?" Tanya Karin tiba-tiba mengingatkan.     

"Oh iya! Itu aku mau cerita kalau dari semalam aku ketempelan hantu kunti laki." Bisikku pada kedua temanku yang sedang mendengarkanku dengan seksama.     

"Hah!! Seriusan lu Ndra!" Teriak Claudi yang tiba-tiba sehingga membuat seluruh orang yang terdapat di kantin menoleh dan melihat ke arah kami.     

"Ssssstttttt.. nggak usah teriak teriak Di. Tuh sampe di lihatin satu kantin kan! Nggak malu apa?" Ucapku yang masih menggunakan suara pelan.     

"Sori.. soriii.."     

"Gak apa kok. Aku juga sudah menduganya jika kalian pasti terkejut mendengar hal seperti ini dari aku. Tapi apa yang aku ucapin tadi emang beneran nyata lho. Yahhh.. sebenarnya waktu tadi pagi kamu ikut aku putar-putar lapangan itu juga karena hal itu juga sih. Abisnya aku nggak bisa usir hantu itu dan aku kebingungan juga. Hehehehe.. Makasi ya Di udah nemenin.. Hehehehe.. Eh, tapi tadi untungnya ada kak Andrew yang bisa usirin tuh hantu dari pundakku, jadi sekarang aku baik-baik aja.."     

"Kak Andrew yang anak osis itu ta Ndra?" Tanya Karin.     

"Iya. Kak Andrew yang itu."     

"Eh, lu kok bisa ketempelan gitu gimana ceritanya?" Tanya Claudi yang mulai ingin tahu.     

"Uhmmm... jadi itu bisa nempel sama aku karena aku lagi haid kaan.. terus aku juga lagi kecapean, dan ditambah daerah rumahku itu juga banyak banget penunggunya. Jadi yaaa.. udah gitu aja kejadiannya. Awalnya aku nggak tahu kalau aku tempelan, aku cuman kerasa pundak, leher, dan kepalaku berat banget seakan-akan aku membawa beban yang berat banget dipundak padahal aku nggak bawa apa-apa dan itu berlangsung beberapa jam. Sampe-sampe semalam juga susah tidur, hampir nggak tidur sih aku semalam. Cuman tidur satu jam aja. Nah.. tahunya ya itu tadi waktu kak Andrew bilang ke aku lewat chat tadi kalau aku ketempelan." Ucapku yang masih belum berani menceritakan kejadian yang sebenarnya.     

"Iiiihhh kok ngerik anget sih lu Ndra. Jangan-jangan di sini banyak setannya lagi." Ucap Claudi yang pura-pura takut saat itu.     

"Iya ada setannya. Elu Di. Hahahahahaha..."     

"Awas lu Ndra ngerjain gue.. Hahahahaha.."     

Kami bertiga tertawa dan suasana seketika mencair, tak lama kemudian makanan yang kami pesanpun tiba bersamaan. Tanpa pikir panjang, kami langsung melahap semua makanan yang kami pesan hingga habis. Namun saat kami sedang menyelesaikan makanan kami, Karin tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kerarah stand kantin.     

"Kamu beli apa Rin?" Tanyaku.     

"Aku tadi beli makanan lagi. Beli mie ayam hehehehe.. Abis masih kurang ternyata makan bakso aja. Hehehehe.."     

"Waahhh ternyata makan lu banyak juga ya Rin?" Ucap Claudi yang baru saja menyelesaikan makannya.     

"Yaahhh.. habisnya tadi aku lihat Dyandra makan mie ayam keliatan enak banget sih! Jadi kepengen makan juga kaann.. Dari pada ntar ngiler. Hahahahaha.." Tukasnya.     

"Eh tuh pesananmu datang tuh." Ucapku.     

"Oh iya. Asiikkk! Makan dulu ya guysss.." Ucapnya terlihat senang makanan yang ia pesan datang.     

Akhirnya kami hampir seharian mengobrol dan bermain di kantin, dari kantin yang ramai karena banyak anak-anak yang datang untuk makan pagi, saat kantin sepi, hingga kantin ramai kembali di saat jam makan siang. Disana juga kami hampir seharian makan terus, seperti promgram penggemukan di kantin. Apalagi Karin yang hampir tiap jam selalu memesan makanan. Entah itu makanan berat ataupun makanan ringan, hingga minuman bersoda dan manis. Seketika aku tahu jika Karin sedang tidak dalam keadaaan baik-baik saja. seakan ia mengutarakan stresnya dalam bentuk makan yang banyak. Yaahhh.. hal ini bukanlah sesuatu yang tabu lagi, akupun juga sering melakukan ini jika sedang stres terhadap sesuatu. Ini terlihat dengan jelas pada Karin, samapi Claudi yang tak tahu menahu apapun melihat tingkah laku Karin yang menggila pada makanan pun menjadi khawatir.     

"Rin, lu nggak apa kan? Tumben banget lu makannya banyak banget kaya gini?" Ucap Claudia yang mulai mengkhawatirkannya.     

"Iya, aku nggak kenapa-kenapa kok Di." Ucap Karin yang setelah itu terdiam mengunyak makanannya.     

Mata dan hidungnya mulai memerah, kami yang semakin khawatir dengan sigap membungkus beberapa makanan yang tadi ia beli untuk di bawa pergi dari kantin. Claudi membereskan makanan dan minumannya, sedangkan aku menarik tangannya untuk bangkit dari bangkunya. Lalu aku mengajak kedua temanku ke lorong dekat laboratorium yang sepi dan sangat jarang sekali di lewati orang agar ketika Karin benar-benar menangis tak malu di hadapan banyak orang. Kami duduk di bangku lorong dan tak mengucapkan sepatah kata apapun.     

"Rin, kalau elu mau cerita, cerita aja nggak apa ke kita. Tapi kalau lu nggak mau cerita sekarang juga gak apa kok. Lu mau nangis aja juga nggak apa kok. Kita tampung semua tangisanmu sekarang dan jangan lu pendam sendiri." Ucap Claudi mencoba menenangkan Karin yang masih terdiam sejak tadi.     

Tak lama setelah Claudi berhenti berbicara, air mata Karin perlahan membasahi pipinya, tetes demi tetes hingga air mata itu tak terbendung lagi. Karin yang termasuk anak yang tidak menunjukkan emosinya ke orang lain, kini meluapkan segala hal yang ada di hatinya. Seakan awan yang mendung sudah tak sanggup menahan debit airnya hingga hujan yang deras jauh ke bumi. Aku memeluknya dan menyandarkan kelapanya ke pundakku. Ia terus menangis dan tangisan itu semakin keras. Aku hanya bisa mengelus kepalanya dan Claudi hanya menenpuk pundaknya. Kami bertiga seakan dapat melihat seberapa sakitnya hatinya, seberapa beratnya beban yang ia bawa saat ini hingga kami tak dapat menasehati apapun selain memeluknya.     

Disaat aku memeluknya dengan erat agar dia merasa nyaman, seketika saja aku memperoleh penglihatan tentang Karin apa yang ia alami saat ini. Ia benar-benar dalam kondis shock berat hingga tak dapat berkata apapun mengenai hidupnya. Aku melihat papinya menggandeng seorang wanita, tampak lebih muda, namun seperti bukan tante Hetty. Namun ada hal yang aneh pada wanita itu, ada aura lain yang bercampur dengan auranya. Saat aku memperdalam apa yang aku lihat, aku seketika terkejut dan melepaskan pelukanku pada Karin. Karin dan juga Claudi terkejut dengan apa yang aku lakukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.