The Eyes are Opened

Hantu Penunggu



Hantu Penunggu

0H-3 Malam Pentas Seni.     

Tak terasa waktu berjalan begitu sangat cepat. Siang itu aku bersama Albert pergi ke bascamp Theater untuk di kenalkan ke timnya. Aku sangat gugup dan grogi jika aku tak di sukai di sana. Entah kenapa saat itu aku memilih untuk membantu tim theater dalam dramanya, namun yang pasti saat ini aku menikmati semua proses bermain theater bersama dengan orang-orang baru. Bagusnya lagi tak semua anak theater sombong dan angkuh dengan anak baru, sehingga aku banyak belajar dari mereka. Kami menyusuri sepanjang lorong depan kelas hingga berhenti di salah satu ruangan di ujung sekolah lantai dua. Ruangan yang sangat strategis jika disebut sebagai bascamp, karena ruangan ini sangat sepi dan jarang sekali orang yang lewat atau berkumpul di dekat sini. Ketika hari mulai sore, di selasar bascamp menjadi sangat teduh dan angin sore berhembus sepoi-sepoi sehingga sangat nyaman untuk bersantai menikmati pemandangan sore hari dari sini.     

"Andra!! Sini masuk!! Ngapain kamu di luar terus?" Teriak Albert yang menyuruhku untuk masuk ke dalam ruang Theater.     

"Eh iya Bert, bentar lagi aku masuk deh. Abis di sini enak banget buat bersantai." Ucapku sambil tersenyum.     

"Iya emang di sini enak banget suansananya, apaagi jam-jam segini siang menjelang sore gini. Matahari udah ketutup gedung, Jadinya lebih dingin dan angin yang berhembus jadi lebih sejuk. Aku bersama anak-anak lain sering kali cari inspirasi ide cerita atau latihan juga sering di selasar kok. Dari pada di dalam ruangan, terkadang bosen kan? Hehehehe". Ujar Albert yang tiba-tiba berada di sebelahku dan ikut menikmati udara sore di selasar.     

"Bert!! Ayo!!" Teriak salah seorang tim theater.     

"Iya ini aku mau masuk kok." Jawabnya.     

"Udah nih, masuk sekarang?" Tanyaku.     

"Iya. Yuk. Sekalian aku kenalin ke yang lain." Ucapnya sambil melangkah memasuki pintu bascamp.     

Jantungku berdebar kencang bukan karena aku jatuh cinta, melainkan gugup saat memasuki ruangan Theater untuk pertama kalinya. Di saat aku mulai melangkahkan kakiku di ruang Theater, hawa lembab dan singup sangat kental aku rasakan. Aku hanya terdiam dan langsung memperhatikan sekitarku dengan seksama. Dan benar saja saat aku berdiri di sebelah bangku-bangku yang di tumpuk di sepanjang dinding, aku melihat ada seperti orang yang sedang menunduk sambil meringkukkan badannya. Hanya terlihat rambut hitam yang gelap dan kumal, serta kuku kaki yang kotor dan panjang. Saat aku hendak mendekatinya, tiba-tiba..     

"Ndra!! Andraa!!" Albert memanggil ku berkali-kali hingga membuatku terkejut.     

"Kamu ngapain? Siniii!! Aku mau kenalin ke yang lainnya." Ucapnya sambil mengajakku ke tengah-tengah lingkaran tim theater yang sedang berkumpul dan aku mengenalkan diriku di sana. Banyak orang yang menyambutku dengan baik saat itu dan seperti dugaanku, Tika dan Selena tak begitu menyukai kehadiranku saat itu.     

Aku terus memperhatikan sekelilingku dan tak ada wujud orang yang aku lihat tadi di tengah-tengah tim. Aku kembali menoleh ke belakang, ketumpukan bangku yang tertata rapi, anak itu masih ada di situ. Tetap meringkuk seakan takut sesuatu, lalu ia menolehku dengan tatapan tajam, mata yang berwarna merah darah dan wajah yang pucat memandangiku cukup lama saat itu. Aku terkejut dan berteriak.     

Seluruh orang di sekitarku ikut terkejut dan berteriak. Mereka bertanya apa yang terjadi padaku dan aku hanya dapat menjawab jika aku melihat seekor tikus hitam yang besar berlari di sekitaran ruang theater. Seketika saja beberapaa orang dengan sigap membongkar beberapa barang di tempat yang memungkinkan adanya tikus bersembunyi. Mereka tak ingin ada properti untuk pentas yang rusak karena tikus. Di sela-sela beberapaorang sibuk dengan memebrsihkan ruangan theater, aku melirik ke kananku. Tika danteman-temannya jelas sekali mengejekku di belakang. Mereka tertawa dan membuatnya lelucon garing yang membuatku jengkel. Namun aku tak ingin bertengkar dan marah melihat kelakuan mereka seperti itu. Aku hanya diam seakan-akan mereka tak membicarakanku. Aku memutar badanku ke arah belakang dan meihat hantu yang sedari tadi meringkukkan badannya di ujung ruangan, tiba-tiba telah menghilang. Sesaat perasaanku sedikit tenang, namun keitka tak sengaja aku melihat di belakang Tika dan teman-temannya, hantu itu tepat berdiri di belakang Hans dan menghadap ke Selena yang sedang memain-mainkan rambutnya yang panjang. 'Ia' terus menatap Selena seakan menginginkan sesuatu atau mengganggu Selena tapi aku tak dapat berbuat apapun di saat itu, aku tak ingin di anggap orang aneh karena melakukan hal yang tak dapat semua orang melihatnya. BUlu kuduku seketika menjadi merinding dimana aura hantu tersebut semakin kuat. Aku berusaha untuk tak ikut campur dengan mereka dan menjuh dari tempatku saat itu. Perasaanku semakin nggak enak dan membuatku seperti sesak. Aku berjalan dan memutuskan untuk duduk di ujung ruangan yang masih terpapar sinar matahari sore yang semakin meredup sambil membaca naskah drama yang harus aku mainkan. Hingga akhirnya aku mendengar suara teriakan dari Selena.     

"Kenapa Sel?" Tanya Hans.     

"Kamu jangan narik rambutku dong Hans! Sakit Tahu!" Ujarnya dengan geram.     

"Hah? Sapa yang narik rambutmu? Lagian akulagi makan batagor gini lho! Kaya nggak ada kerjaan aja aku narik-narik rambutmu. Hahahahaha.." Ucap Hans sambil tertawa dan diikuti yang lainnya.     

"Halah! Jangan bercanda deh Hans! Udah lah aku pindah aja kesebelahnya Oline". Ucap Selena sambil berjalan memutar ke sebelah Oline yang berada di dekat pintu.     

Aku tersenyum melihat apa yang telah terjadi pada Selena namun juga sedikit kasian karena aku baru saja aku tahu jika hantu tersebut sangat usil dan jail. 'Ia' akan sangat tertarik pada orang yang sering melamun dan menarik perhatiannya. 'Ia' Juga tak segan-segan untuk mengganggu manusia yang berada di sekitarnya jika mereka sangat berisik dan mengganggu istirahatnya. MAkanya aku lebih memilih untuk menjauhd ari tempat mereka berdiri dan menghafalkan naskahku bersama kakak-kakak yang lainnya.     

Jam berputar semakin cepat, mataharipun mulai tenggelam dimana langit berubah menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Beberapa anak dengan segera menyalakan lampu ruangan dan mulai menutup gorden agar tak terlihat dari luar ruangan. Ketika mereka sibuk menyalakan lampu dan menutup gorden, aku sempat terkejut ketika melihat di balik tirai depan selasar, terdapat seorang perempuan berambut sebahu dengan menggunakan baju seragam dan memiliki wajah yang pucat pasi berdiri di depan sana. Namun di saat tirai itu tersibak terkena angin, ia sudah menghilang entah kemana. Aku berusaha memberanikan diri dan tak membuat takut tim theater di sini. Ternyata semakin malam, ruangan theater adalah tempat tinggal 'mereka', oleh karena itu saat aku pertama kali melangkahkan kakiku masuk aura singup sangat kental sekali. Beberapa hantu yang lainpun bermunculan di dalam ruangan theater hingga aku gak tahan dengan kehadiran mereka. Rasanya aku ingin sekali keluar dari ruangan ini dan segera pulang ke rumah. Meskipun 'mereka' kebanyakan nggak mengganggu, namun wajah 'mereka' beberapa hancur dan rusak. Itu yang membuatku takut dan gak betah di dalam ruang theater. Beberapa menit aku berusaha untuk menahan diri hingga jam di dinding menunjukkan pukul enam malam, aku meminta ijin untuk pulang terlebih dahulu.     

"Kak Willy, apa saya boleh pulang lebih awal?" Ijinku pada kak Willi yang merupakan ketua tim theater di sini.     

"Oh sudah jam enam ya? Ya sudah kamu boleh pulang dulu. Tapi di rumah jangan sampai lupa ya untuk latihan lagi. Hafalkan naskahnya dan belajar mimik ekspresinya ya Ndra. Kalau kamu lupa naskahnya, kamu boleh belajar untuk improvisasi dramanya kok. Asalkan masih nyambung dengan ceritanya ya!" Ucap kak Willy sembari melihat jam tangannya.     

"Lho udah boleh pulang ta Will?" Tanya salah seorang tim yang lain.     

"Iya. Kalau kalian sudah selesai bisa pulang kok. Besok aja di lanjutin lagi. Lagi pula ini sudah malam." Ucap kak Willi yang juga membereskan beberapa barangnya.     

Di saat aku hendak pulang dan berpamitan dengan anggota yang lainnya, aku berjalan menuju pintu bersamaan Tika dan teman-temannya berjalan menuju arahku. Aku pun berpamitan padanya dan teman-teman yang lain, namun entah di sengaja atau tidak, Tika menabrakkan badannya kepadaku hingga aku terjatuh tersungkur. Seluruh mata di ruangan itu memandangku dengan wajah yang kaget.     

"Eh! Kamu nggak kenapa-kenapa Ndra? Tanya kak Vivi yang kebetulan berada di sebelahku membantuku untuk berdiri.     

"Eh, kamu jatuh ya? Sori ya Ndra. Nggak sengaja, tadi kakiku licin soalnya." Ucap Tika sambil melihatku dengan tatatpan tak suka.     

"Oh iya kak aku nggak apa kok. Makasih ya." Ucapku membalas kak Vivi.     

"Iya nggak apa kok Tik. Aku pulang dulu ya." Ucapku sambil lalu, namun kak Vivi mencegahku untuk berjalan pulang dan menahan tanganku.     

"[Haduuhh! Apa lagi sihh??!! Ya aku tahu tadi Tika sengaja dan aku nggak mau. buat masalah sekarang. Aku mau pulaanggg, kok malah di cegah pulang sama kak Vivi?] Ya kak? Kenapa ya?". Ucapku sambil menggerutu dalam hati.     

"Tik, aku tahu kalau kamu nggak sengaja, tapi ya kamu juga harus ada etikanya dong kalau habis menabrak orang. Minta maaf gih sama Andra! Sudah lu tabrak sampe jatuh masa diem aja." Ucap kak Vivi yang langsung melabrak Tika di depan tim thearer.     

"Apa se kak?! Kok malah ikut campur urusan orang aja. Toh ya Andranya fine-fine aja kan? Nggak luka juga? Nggak ada yang patahkan tulangnya? Terus apa lagi??" Ucap Tika dengan nada tinggi.     

"Eh Tik sudah lah.. ngalah aja.. nggak enak tuh dilihatin yang lain.." Bisik Oline dari belakang Tika.     

"Iya Tik. Minta maaf'o aja sama Andra." Sambung Selena.     

"Apa'an sih kalian ini. Kalian ini temanku apa bukan sih?" Teriak Tika yang menjadi-jadi dan langsung saja Hans dan teman-temannya menahan Tika yang ingin pergi meninggalkan ruangan.     

Dalam seketika ruangan theater menjadi panas karena emosi Tika yang tiba-tiba meluap, hingga seluruh anak theater melihat kearah kami dengan tatapan sinis. Yaaa.. meskipun ada beberapa orang yang tak ingin teribat masalah hal seperti ini dan memilih untuk pergi meninggalkan ruangan bascamp. Hingga akhirnya kak Willi turun tangan melerai menyelesaikan masalah kami. AKu yang berdiri di tengah-tengah ruangan semaik lama bulu kuduku semakin berdiri. Aku merasakan banyak sekali hantu yang berdatangan dan sesekali merekapun usil menjatuhkan barang memberi tanda agar kami segera keluar dari ruangan ini.     

"Hei! Siapa itu!" Teriak Kak Willi mendekati sumber suara barang yang terjatuh, namun ketika di dekati dan dilihat tak terdapat apapun yang terjatuh di sana. Kak Willipun segera kembali pada kami setelah memastikan tak ada apapun. Tinggal kami bertujuh yang masih tertinggal di ruangan theater, Aku, kak Willi, kak Vivi, Tika, Selena, Oline dan Hans. Di saat kak Willi hendak melanjutkan menengahi permasalahan kami, tiba-tiba terdengar barang terjatuh lagi dan suaranya jauh lebih keras dari pada sebelumnya. Kami berenam terdiam di tempat dan hanya kak Willi yang berani berjalan mendekati sumber suara tersebut. Kali ini sumber suara terdengar dari lemari penyimpanan baju properti drama, dan tak segan-segan kak Willi langsung membuka lemari tersebut dan tak melihat ada hal yang ganjil di sana, namun aku melihat ada seorang perempuan yang berdiri persis di depan kak Willi sambil mendekatkan wajahnya ke kak Willi. Aku bergidik tak dapat berkata-kata apapun, hanya terdiam membisu dan bulu kuduku semakin berdiri. Kak Willi yang sedang memeriksa isi lemari dan ternyata kebetulan ada gantungan baju yang terjatuh. Selesai membetulkan isi lemari dan menutupnya, tiba-tiba saja lampu ruangan theater padam seketika.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.