The Eyes are Opened

Kisah Kasih yang Berujung Maut (Part 06)



Kisah Kasih yang Berujung Maut (Part 06)

1Malam berganti dengan cepat menjadi pagi. Hari itu Siska mengetahui jika menjadi hari terakhir untuknya merasakan dunia ini sebagai manusia. Ia tak tahu akan apa yang terjadi setelah ia meninggal nanti. Apakah ia langsung masuk ke surga atau neraka atau ia tak dapat menuju ke duanya, ia tak memikirkan hingga ke sana. Ia masih terdiam dan tak berucap satu katapun pagi itu. Mata yang layu dengan wajah yang kusam karena ia tak dapat tidur dengan nyenyak semalaman. Pukul 05.00 pagi ia telah mandi dan bersiap ke sekolah lengkap dengan tas dan sepatunya yang telah siap di atas sofa ruang tamu. Ia pergi menuju dapur untuk mengambil secangkir air mineral sebelum ia berangkat ke sekolah. Ia menunggu papinya yang baru saja bangun tidur sambil membaca beberapa materi buku sekolahnya.     

"Lho kamu kok tumben sudah bangun?" Ucap maminya yang mendapati Siska di ruang tamu sambil membaca buku sekolahnya.     

"Iya. Siska mau berangkat lebih pagi. Nanti ada tes soalnya." Ucapnya dengan dingin tanpa memperhatikan maminya yang berdiri di sebelahnya.     

"Sudah sarapan?" Tanya maminya di depan papinya yang sedang minum air putih hangat.     

"Sudah. Pi, kalau sudah selesai memperhatikan Siska cepetan mandi dan tolong antarkan Siska ke sekolah. Siska mau belajar di sekolah dan sampai di sana jam enam." Ucapnya sambil melirik papinya yang tengah menghabiskan setengah gelas air hangatnya dan langsung menaruhnya di meja dekat papinya berdiri.     

"Apa kamu nggak terlalu pagi datang jam segitu di sekolah?! Kamu mau ngapain datang jam segitu?! Mau mencoba kabur nggak sekolah?! Hah?!" Ucap papinya dengan nada tinggi di pagi hari sehingga membuat kedua adik Siska yang tengah tidur sampai terbangun dan keluar kamar.     

"Lihat tuh adikmu sampai bangunkan?? Masa pagi-pagi sudah buat onar saja kamu ini!! Ya gini ini efek terlalu di bebaskan sama papi mami kamu seenaknya saja sama orang tua!!" Ucap papinya dengan kesal sedangkan maminya langsung memeluk ke dua adiknya masuk ke dalam kamar tanpa menghentikan emosi papinya terlebih dahulu. Siska yang sangat kesal dengan ucapan papinya tersebut tetap tak menghiraukan bahkan tak melihat wajah papinya sedikitpun. Ia terus memandang buku yang ada di depannya dengan tatapan dingin seakan telah nggak perduli lagi dengan ocehan yang di terimanya dari papinya pagi itu.     

"Papi bisa tunggu Siska di sekolah sampai bel masuk berbunyi ataupun papi bisa tungguin Siska sepanjang hari di sekolah sampai jam pulang sekolah. Siska nggak akan kemana-kemana apalagi sampai kabur dari sekolah kalau papi nggak percaya segitunya sama Siska." Ucapnya dengan melirik papinya yang terlihat berpura-pura marah agar Siska dapat mendengarkan setiap ucapannya.     

"Papi nggak usah kaya gitu. Nggak mempan sama Siska. Sudah cepat mandi sana. Kalau semakin lama malah Siska akan pergi ke sekolah sendiri." Ucapnya dengan nada dingin dan ketus di hadapan papinya sambil menatap dingin pada papinya. Mendengar hal tersebut papinya langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ke kamar mandi.     

"Awas kamu kalau kamu mau bohongin papi! Papi bakal tungguin kamu di sekolah!!" Ucap papinya sambil menunjuk tangannya pada Siska yang tak bergeming dengan sikap papinya pagi itu.     

Beberapa menit berlalu dengan cepat, kedua adiknya akhirnya keluar dari kamar. Siska yang masih tetap berada di ruang tamu dengan buku sekolahnya yang masih berada di depannya melihat ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya.     

"Sudah jam enam kurang seperempat ya? Tumben mereka sudah keluar kamar sepagi ini?" Gumam Siska sambil melihat ke arah adik-adiknya yang satu persatu keluar kamar setelah mereka mandi pagi dan masih mengenakan pakaian tidur mereka berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah di siapkan maminya.     

10 menit kemudian terlihat papinya yang telah selesai sarapan, mengenakan pakaian kemeja lengkap dengan dasi yang senada dengan kemeja biru yang ia kenakan serta sepatu pantoefel yang telah di semir hingga mengkilat berjalan menuju Siska yang masih duduk di ruang tamu. Tanpa basa basi lagi Siska langsung bangkit dari tempat duduknya dan langsung berjalan mendahului papinya menuju mobil yang sudah di siapkan oleh supir sebelumnya dan mereka langsung berangkat menuju sekolah.     

Jalanan yang masih sepi dengan udara yang masih bersih di sertai dengan adanya embun yang masih terlihat membuat Siska tertarik membuka kaca jendelanya dan mengeluarkan tangannya untuk merasakan dinginnya angin pagi itu. Ia melihat ke arah langit dengan tatapan penuh harapan dan sesekali berubah menjadi tatapan kosong.     

"Tutup jendelanya dan masukkan tanganmu dari jendela! Bahaya apa yang kamu lakukan saat ini!" Teriak papinya saat sedang menyetir dengan kencang.     

Mendengar hal itu Siska langsung memasukkan tangannya kembali ke dalam mobil dan menutup jendela kaca mobilnya. Ia hanya terdiam dan tak bersuara sama sekali selama perjalanan menuju sekolahnya. Seakan ia juga tak ingin menyampaikan salam perpisahan kepada papinya saat itu setelah ia sangat yakin untuk mengakhiri hidupnya hari ini. Segala sesuatu telah ia siapkan dan ia rencanakan dengan sangat hati-hati agar tak ada yang tahu hingga hidupnya berakhir.     

Tak perlu waktu yang lama untuk menuju ke sekolah, hanya lima belas menit lamanya selama perjalanan dari rumah, akhirnya Siska tiba di sekolahnya. Saat itu sekolah masih sangat sepi dan belum ada siswa yang datang sepagi itu. Hanya beberapa guru yang telah datang lebih awal sebelum mempersiapkan pelajaran yang mereka ajarkan hari ini. Melihat mobilnya telah berhenti di depan gerbang sekolah, ia langsung membuka pintu dan keluar dari mobil.     

"Pi, Siska masuk dulu." Ucapnya dengan nada dingin sembari membungkukkan badannya melihat papinya di kursi pengemudi.     

"Hem. Belajar yang benar. Jika ada sesuatu papi langsung membawamu pulang seperti kemarin." Ucapnya tanpa melihat Siska sedikitpun. Melihat hal tersebut hati Siska semakin kesal dan ia langsung berbalik dan meninggalkan papinya di depan gerbang sekolah.     

Siska berjalan dengan sangat santai seperti biasanya sambil melihat ke sekeliling sekolah. Ia terus berjalan menuju pintu gerbang gedung sekolahnya dan menoleh ke sebelah kanannya, terlihat di lantai dua masih sebagian belum selesai di bangun tembok pembatas gedung ia akhirnya berinisiatif untuk melakukannya dari atas sana.     

Ia terus berjalan menuju ke dalam kelasnya dan menaruk tasnya di atas bangkunya. Di dalam kelas yang masih sangat sepi dan tak ada anak yang datang, ia langsung keluar kelas dan menuju ke lantai dua dengan diam tanpa ada orang yang melihatnya. Ia terus berjalan tanpa ada suara menuju tempat pembangunan yang belum selesai. Ketika ia tiba di ujung pembangunan yang belum selesai itu, terdapat beberapa balok kayu untuk menutup bagian yang belum selesai. Ia berhenti di depan balok kayu dan melihat ke arah bawahnya. Terdapat beberapa pancang kawat yang telah dibuat dan menghadap ke arah atas. Ia melihat ke sekelilinganya sekali lagi dan masih belum ada orang siapapun di sekitarnya. Ia memberanikan diri untuk berjalan ke ujung dan melewati balok kayu itu. Dengan perlahan dan hati-hati ia berjalan menuju ujung bangunan tersebut, di saat yang bersamaan terdapat sahabatnya Marsha yang meliahatnya di ujung bangunan itu dan dengan spontan Marsha berteriak memanggil Siska dengan keras.     

"Siskaaaa!!!!" Teriak Marsha dari lantai satu, namun Siska tak memperdulikan panggilan dari sahabatnya itu. Marsha yang sangat ketakutan apa yang hendak di perbuat sahabatnya langsung berlari menuju lantai dua dan mendekati sahabatnya.     

"Siskaaa!!!!" Teriak Marsha sekali lagi bersamaan dengan anak-anak yang lainnya yang melihatnya di ujung gedung. Sontak Siska terkejut mendengar ia dipanggil oleh orang banyak dan ia langsung menoleh ke belakang. Ia melihat Marsha yang berada di belakangnya beberapa meter darinya berjalan mendekatinya.     

"Sis, ayo sini Sis.. Lu mau ngapain?" Ajak Marsha sambil mengulurkan kedua tangannya. Namun Siska hanya terdiam dan semakin lama air matanya mengalir perlahan membasahi pipinya. Ia tak kuasa meninggalkan sahabat terbaiknya saat itu, tetapi Siska terus berjalan mundur untuk menghindari Marsha.     

"Jangan dekati aku Sha. Aku sudah sangat lelah dengan kehidupanku. Biarkan aku pergi." Ucapnya dengan nada dingin meskipun air matanya terus mengalir.     

"Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Aku sudah membaca buku diarymu yang kamu sampaikan melalui surat kemarin. Tapi nggak kaya gini juga Sis! Lu bisa kok hidup dengan layak dan lebih bahagia daripada sekarang! Ayo kembali ke sini yuk Sis.." Ajak Marsha sambil perlahan mendekati Siska selangkah demi selangkah.     

"Sha, tolong jangan dekati aku lagi. Aku ingin lepas semua rasa ini dengan bunuh diri. Aku sudah sangat capek Sha." Ucap Siska yang terus melangkah ke belakang tanpa tahu jika ia sudah di ujung bangunan yang sedang di bangun. Di saat yang sama juga ia terpeleset dan akhirnya terjatuh dari lantai dua. Suara teriakan anak-anak yang baru saja datang dan menyaksikan Siska yang terjatuh terdengar sangat keras sehingga hampir seluruh anak di sekolah itu keluar dan menyaksikan Siska yang telah meninggal di tempat. Marsha yang melihat temannya yang terjatuh langsung tersungkur, kakinya merasa sangat lemas hingga tak berdaya untuk bangkit kembali. Cantika yang melihat hal itu langsung berlari menuju ke lantai dua untuk menemui Marsha.     

"Sha! Ayo turun Sha!" Ucap Cantika sambil mengangakat Marsha yang masih lemas untuk berjalan. Ketiga sahabat Siska langsung menghampiri tempat jatuhnya Siska, mereka seketika berteriak sambil menangis melihat sahabatnya akhirnya meninggal dengan tubuh yang tertancam tiang pancang dan menembus dadanya tepat di jantung. Mendengar keributan di pagi hari itu seluruh guru langsung mengamankan lokasi kejadian dan meminta seorang tukang bangunan yang sudah datang untuk memotong tiang yang menusuk dada Siska, dan beberapa staff guru lainnya langsung memanggilkan ambulance. Kejadian itu masih belum di sadari oleh papinya yang masih menunggu di depan gerbang hingga terdapat mobil ambulance yang datang masuk ke dalam sekolahan. Melihat ada sebuah ambulance yang masuk ke dalam sekolah, papinya langsung keluar dari mobil dan dengan cepat melihat siapa yang di bawa mobil ambulance tersebut. Papinya sangat terkejut melihat Siska yang terbaring lemas di dalam mobil ambulance itu dengan darah di sekujur tubuhnya. Melihat anaknya meninggal, papinya langsung berlutut dan terus menangisi putrinya tersebut, seakan penyesalan tiba saat melihat Siska telah terbaring lemas. Seluruh sahabatnya dan beberapa guru yang melihat dan guru wali kelasnya mengikuti mobil ambulance tersebut menuju rumah sakit untuk mengantarkan Siska ke peristirahatannya terakhir.     

Sejak hari itu sekolahku di tutup beberapa hari sampai pengerjaan pembanguan gedung selesai. Selama itu pula kegiatan belajar mengajar di tiadakan hingga pembangunan selesai dan gedung sekolah benar-benar sudah aman untuk kegiatan belajar mengajar. Sejak hari itu pula Siska yang telah meninggal ternyata tak dapat melepaskan rasa dendam dan kecewanya pada kedua orang tuanya sehingga ia susah untuk masuk ke nirwana dan harus tetap di dunia hingga ia bisa melepaskan rasa itu. Tiba saat itu juga aku bertemu dengannya dan mulai menjalin komunikasi dengannya hingga saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.