The Eyes are Opened

Saat Ku Tahu Kau Bukan Milikku (Part 04)



Saat Ku Tahu Kau Bukan Milikku (Part 04)

0"Uhmmm... Ko, ini esnya." Ucapku saat menaruh segelas es cao milik Dito di depannya.     

"Ah, iya. Makasi ya." Jawabnya yang langsung mencicipi es tersebut.     

"Enak ya? Segar ya?" Tanyaku saat melihat gelas es cao itu habis tak bersisa setelah ia minum beberapa tegukan.     

"Iya. Aku memang kehausan tadi." Jawabnya malu-malu.     

"Lah kalau gitu kenapa kamu tolak-tolak pemberian mamaku kalau kamu memang haus? Kalau kamu nggak mau minuman manis kan bisa bilang aja air putih!" Ucapku dengan sedikit kesal saat mendengar ucapannya barusan.     

"Aku sungkan kalau bilang langsung sama mamamu." Jawabnya sambil melihat ke bawah.     

"Hhahh... Jangan diabiasa'in deh. Kalau mama atau papaku atau keluargaku menawarkan sesuatu ke kamu itu berarti memang niat mau menawarin, bukan hanya omong kosong atau basa basi. Kalau mau bilang mau, kalau nggak suka ya bilang nggak suka. Nggak usah pakai alesan sungkan-sungkanan. Ya nanti yang rugi kamunya sendiri." Ucapku dengan tegas pada Dito.     

Ia hanya terdiam mendengar ucapanku dan akhirnya kami tak saling berbicara dalam beberapa menit setelahnya. Kami sama-sama sibuk bermain ponsel tanpa berbicara satu katapun, sampai akhirnya aku yang memulai pembicaraan di antara kami.     

"Udah nih, kita diam-diaman aja?" Ucapku dengan nada sedikit ketus.     

"Ya gak tahu, kamu mau bicara apa lho?" Jawabnya dengan dingin.     

"Lha kok aku? Kan kamu yang ke sini? Berarti kamu ingin ketemu aku dong? Dan kalau orang mau ketemu pasti ada yang mau di omongin juga dong?!"     

"Iya. Aku emang mau ketemu kamu, tapi aku juga bingung mau ngomong apa sama kamu."     

("Kok kesel ya dengernya.") Gumamku dari dalam hati sambil terus melihat Dito yang masih acuh tak acuh dengan kehadiranku di depannya.     

"Emang kamu nggak ada yang mau di omongin lagi atau apa gitu?"     

"Nggak. Aku juga lagi bingung masihan."     

"Lha kenapa?"     

"Bisa diam dulu nggak sih non! Dari tadi nyrocooosss mulu. Nggak bisa diem. Orang ke sini baik-baik, kok ya malah di buat kesel lagi."     

"Yah abisnya kamu tuh ke sini nggak jelas banget! Di ajak ngomong tapi cuek gitu sama yang ajak ngomong! Mau kamu itu apa sih sebenarnya? Kamu kangen juga kan sama aku? Karena nggak ketemu sudah hampir dua minggu?!"     

"Iya. Tapi ya nggak usah pakai bentak-bentak segala lah! Kalau kedengaran mamamu kan aku nggak enak. Lagian orang baru ketemu ya baik-baikin lah apa lah, kamunya minta maaf lah sama aku aja nggak. Langsung di tanya'in kaya gitu. Bikin tambah malas tahu nggak sih! Tahu gitu aku nggak ke sini sudah!"     

"Lha? Kok kamu yang nyolot sih! Ya sudah lah kalau kamu mau berdiam diri dulu aku kasih kamu waktu aja kalau gitu. Terserah kamu mau pilih pulang atau masih mau tetap di sini kalau niatmu memang kangen sama aku. Aku mau masuk dulu ke dalam." Ucapku dengan nada kesal sambil membawa gelas yang kosong ke dalam rumah.     

Aku masuk ke dalam rumah sambil terus mengomel karena kesal dengan sikap Dito hari ini.     

"Kok bisa sih ada cowok kaya gitu? Ya kalau kangen itu bilang, bukannya diam aja pas ketemu dan malah di tinggal main handphone terus. Di tanyain baik-baik malah di bilang nyolot. Nggak di tanyai malah sibuk dengan dunianya sendiri. Maunya apa sih tuh orang. Apa aku putusin aja ya sekarang? Tapi alasanku apa coba? Aahhhh... nggak tahu ah."     

"Kenapa lagi sih Ndra? Kok dari tadi mama dengar di dalam kalian sampai teriak-teriak gitu?"     

"Ya habisnya tuh Dito ngeselin sih ma..."     

"Tadi esnya habis?"     

"Iya habis dalam sekejap. Langsung di minum dan dia kehausan."     

"Gitu kok pake bilang nggak mau segala. Pakai bilang sungkan-sungkan."     

"Ya gak tahu tuh."     

"Lha terus kamu kok malah duduk di kamar mama sih? Sana temeni!"     

"Nanti aja. Tadi si Ditonya minta di tinggal sendiri soalnya. Kesini kok malah main handphone. Nggak jelas." Ujarku dengan kesal.     

"Ya tetep aja kamu seharusnya nggak di sini... Kalau kalian memang mau diam-diaman dulu, atau Ditonya masih nggak mau bicara sama kamu ya nggak kamu tinggal kaya gini dong! Tetep kamu duduk di dekatnya lah."     

"Nanti aja. Udah lah maa... biarin aja tuh Ditonya di luar dulu. Orang diannya yang minta kok. Nanti kalau sudah mau bicara sama Andra pasti bakalan panggil-panggil." Ucapku sambil tiduran meluk mama.     

Benar saja, saat aku masih berada di kamar mama sambil menonton televisi, tiba-tiba Dito memanggilku beberapa kali dari depan rumah.     

"Nikkk... Niikkk..."     

"Ndra, di panggil tuh." Ucap mama lirih. Akupun langsung bangun dan keluar dari kamar mama, lalu menghampiri Dito yang berdiri di depan pintu.     

"Ya ko?"     

"Kamu abis dari mana? Kok nggak balik-balik?"     

"Dari kamar mama. Kenapa? Bukannya tadi kamu yang pengen aku diam dulu, makanya aku kasih kamu waktu kan? Kenapa emangnya?"     

"Nggak apa."     

Akhirnya setelah Dito mau mencariku dia mau meminta maaf kepadaku secara langsung dan akhirnya kami siang itu sudah tidak bermusuhan lagi. Dito mengungkapkan semua isi hatinya kepadaku siang itu. Segala kekhawatirannya yang terlalu berlebihan kepadaku karena ia takut jika nanti aku meninggalkannya demi cowok lain. Ia mengaku jika sudah sangat menyukaiku dan tak ingin aku pergi darinya. Hal inilah membuat hatiku goyah padanya dan tak berani mengakhiri hubunganku dengannya.     

Seharian Dito bermain di rumahku, kami menghabiskan waktu kami berdua bersama di rumah bercanda dan berbicara banyak hal. Selain itu kami juga melakukan kegiatan kami masing-masing, sesekali Dito menerima panggilan telepon dari pelanggannya dan aku mengerjakan tugas sekolahku. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum melakukan kegiatan yang lain.     

"Ko, kamu nggak mau mandi dulu? Kalau mau mandi di sini aku pinjami handuknya."     

"Nggak usah. Aku tadi mau ke sini sudah mandi kok. Lagi pula aku seharian juga di rumahmu, nggak ngapa-ngapain juga. Nanti malam aku biasanya baru mandi sebelum tidur." Jawabnya dengan tegas, berbeda dengan tadi.     

"Ow gitu... Ya udah kalau gitu aku mandi dulu ya..." Ucapku sambil meninggalkan Dito di ruang tamu.     

"Lho sudah selesai mandi nik?" Tanyanya yang terkejut melihatku menghampirinya.     

"Iya sudah. Kalau belum mandi ya nggak mungkin aku ke sini ko... Kenapa?"     

"Nggak apa. Kok cepet mandinya?"     

"Ya emang aku kalau mandi nggak buang air besar ya cepet."     

"Uhmmm... kamu mau nggak jalan-jalan?"     

"Kemana?"     

"Ya nggak tahu juga sih... Putar-putar kota aja yuk, terus nongkrong di cafe yang dekat sungai itu. Gimana?"     

"Boleh. Aku ijin sama mama dulu ya ko..."     

Sore itu akhirnya kami memutuskan untuk jalan sore berdua, kami menyusuri jalanan di kotaku sambil menikmati indahnya matahari sore yang hendak terbenam. Sesekali kami berhenti di pinggir jalan untuk memberi makanan ringan di dekat area sekolah. Lalu setelah hari mulai gelap akan tiba, Dito membawaku ke cafe Tepi Sungai, tempat dimana ia menyatakan perasaannya kepadaku. Jalanan sore itu terasa sangat sepi dari pada biasanya. Banyak anak-anak sekolah negeri yang baru saja pulang sekolah saat itu terlihat di sepanjang jalan mereka baru saja keluar dari gedung sekolahnya.     

"Eh nik, kamu nggak sekolah sih?" Ucapnya sambil menggodaku.     

"Lah aku kan sudah pulang sekolah tadi. Hari ini pulang lebih cepat soalnya aku ada lomba dan aku nggak ikut lomba apapun jadi tadi aku pulang duluan. Hehehehe..."     

"Waahhhh... curang nih anak. Lha kok itu anak sekolah negeri kok barusan pulang?"     

"Ya mana ku tahu kooo... Ngeselin deh pertanyaanmu itu." Jawabku dengan kesal.     

"Hahahahaha..."     

"Udah nggak ngambek lagi kan sama aku?"     

"Iya. Sudah nggak ngambek kok. Maaf ya nik..." Ucapnya dengan suara yang lembut.     

"Hm."     

Jam terus berputar, langit pun semakin gelap, jalanan yang tadinya masih sepi kini perlahan mulai terlihat padat akan kendaraan bermotor. Banyak orang-orang yang baru pulang kerja ataupun orang-orang yang hendak membeli makanan. Terlihat banyaknya warung-warung makan kecil yang berada di pinggir jalan mulai membuka usahanya satu persatu. Lampu-lampu kota pun mulai menyala di beberapa sisi jalan raya sehingga menerangi sepanjang jalan yang kami lewati. Bulan dan bintang pun mulai terlihat di langit menambah indahnya malam ini bersamanya. Rasanya memang sangat menyenangkan bisa menikmati waktu berdua bersama dengan orang yang kita sayangi, masalah yang kemarin kita hadapi pun seakan sirna begitu saja. Namun perasaanku hingga saat ini terkadang masih terasa bimbang apalagi ditambahnya dengan hal-hal yang sebenarnya nggak bisa di nalar oleh ku. Mau percaya atau tidak membuatku harus berpikir dua kali apakah itu benar-benar suatu tanda dari Yang Maha Kuasa atau bukan.     

Waktu pada jam tangan telah menunjukkan pukul 18.00, tak terasa aku sudah berkeliling kota selama hampir dua jam penuh dan hanya berhenti saat membeli air minelar dan jajanan pinggir jalan. Kami juga saat itu tepat sedang berhenti di depan cafe Tepi Sungai, terlihat banyak sekali sepeda motor yang terparkir di sana. Dari ujung cafe hingga ke bagian jalan yang lain terjejer sepeda motor dengan rapi. Suara live music pun terdengar hingga di jalan raya membuat cafe ini selalu ramai di kunjungi.     

"Wahhh... lagi ramai nih ko, apa kita nggak cari tempat yang lain aja ta?" Tanyaku sambil merasa ragu saat hendak memasuki cafe ini.     

"Iya namanya juga ada live musicnya, pasti ya lebih ramai lahh... Nggak apa di coba dulu masuk, kalau nanti memang penuh dan nggak ada tempat duduk ya udah kita keluar aja, makan di tempat lain ya." Jawabnya dengan santai.     

Akhirnya akupun masuk ke dalam cafe Tepi Sungai dengan menaiki anak tangga yang terbuat dari bambu, di hiasi dengan lampu-lampu gemerlap di sisi kanan dan kiri anak tangga tersebut. Semakin dekat dengan pintu masuk, semakin terdengar kencang suara penyanyi di dalam cafe. Suara gelak tawa dan obrolan pun juga tak kalah meramaikan suasana di dalam cafe tersebut.     

"Tuh kan ko... penuh... Pindah aja yuk." Ucapku yang terus memperhatikan seisi dalam cafe yang penuh dengan muda mudi sambil menghembuskan asap rokok di mana-mana.     

Sesekali juga aku merasa sesak nafas hingga batuk beberapa kali karena asap rokok yang tercium olehku, sehingga Dito akhirnya membawaku keluar dari sana.     

"Ya udah, yuk kita makan bebek aja ya yang dekatnya alun-alun kota." Ucapny sambil menarik lenganku menuruni anak tangga cafe Tepi Sungai.     

Sesampainya di warung bebek yang kami tuju, kami langsung mengambil tempat duduk dan makan malam di sana, sambil menikmati pemandangan kota di malam hari dan lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan tempat makan kami. Kami sanagt menikmati makan malam hari ini hingga perut kami terasa sangat kenyang dan akhirnya kami memutuskan untuk kembali pulang setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Dito mengantarku hingga ke depan rumah, bertepatan dengan papa yang baru saja pulang dari memberi gorengan di depan perumahan.     

"Pa, tunggu!" Teriakku saat baru saja Dito berhenti di depan rumah.     

"Sudah makan kalian?" Tanya papa sembari menghampiri kami di depan gerbang.     

"Sudah. Tadi makan bebek goreng di dekat alun-alun om." Jawab Dito.     

"Ow... iya... Di situ memang bebeknya paling enak dari pada yang lain. Om juga sering beli di situ kalau lagi ke kota. Di situ selalu rame banget, sering kali baru jam delapan aja sudah habis. Mau masuk ke dalam dulu Dit?"     

"Iya tadi juga rame banget. Sampai antri-antri yang beli. Oh, nggak usah om. Ini saya mau pulang kok. Tadi sudah main di sini hampir seharian. Hehehehe..."     

"Ow ya sudah kalau gitu... Hati-hati di jalan ya pulangnya. Kallau gitu om masuk ke dalam dulu."     

"Iya om. Sampaikan." Jawab Dito.     

"Kalau gitu aku pulang dulu ya nik. Byee... See you..." Ucap Dito sembari mengenakan helmnya kembali dan menyalakan mesin sepeda motornya.     

"Iya ko. Hati-hati ya... Byeee..." Jawabku sambil melambaikan tangan saat Dito meninggalkan rumahku.     

Setelah Dito pergi, akupun langsung masuk ke dalam rumah, dan tepat saat aku menutup pintu, tiba-tiba aku mendapatkan penglihatan tentang hubunganku dengan Dito di masa akan datang. Aku melihat Dito main ke rumahku, namun dari raut wajahnya tak nampak senyum sedikitpun yang terlihat. Ia hanya duduk diam di ruang tamuku dengan muka yang masam tanpa adanya tegus sapa di antara kami. Seperti kami tadi siang saat bertengkar lalu semuanya hilang. aku terkejut dengan penglihatanku barusan dan cepat-cepat aku berlari ke kamar untuk berdoa. Bertanya kepada Tuhan tentang apa yang baru saja aku lihat ini serta meminta petunjukNya agar aku dapat mengerti apa yang harus aku lakukan.     

"Tuhan, Andra baru saja dapat penglihatan seperti yang baru saja terjadi saat Dito ke rumah. Kami hanya saling duduk di ruang tamu, tanpa saling berbicara satu sama lain. Seperti kami abru saja bertengkar karena satu hal masalah. Apa ini maksudnya ya Tuhan? Andra harus bagaimana? Apa benar Dito ini jodoh yang terbaik buat Andra? Kalau memang Dito jodoh Andra dekatkan kami dengan caraMu, namun jika bukan juga tunjukkanlah kalau memang kami tidak berjodoh dengan caraMu Tuhan. Semua Andra serahkan kedalam tanganMu, biarlah apa yang terjadi sesuai dengan kehendakMu dan terbaik untuk Andra. Amin."     

Setelah berdoa aku hanya termenung di atas tempat tidurku dan berkali-kali di otakku terus memikirkan hal tersebut. Intuisi otak selalu berkata yang sebenarnya, namun hati ini selalu lemah. Iya. Hati ini selalu lemah terhadap masalah percintaan. Terkadang aku merasa sangat iri dengan Karin yang bisa menentukan apa yang dia mau dengan tegas, ataupun mengakhiri sebuah hubungan yang menurutnya tak menguntungkan baginya pun dengan tegas tanpa mengulur-ulur perasaan. Tetapi aku sadar, aku juga bukan seorang Karin yang di besarkan dengan keadaan yang membuatnya seperti itu. Aku di besarkan di keluarga yang sangat takut kehilangan anak terakhir perempuannya sehingga membuatku tumbuh menjadi pribadi yang tidak dapat mengambil keputusan dengan tegas dan berani. Aku juga sangat berbeda dengan Kak Dita yang lebih tegas dan bertanggung jawab atas segala hal. Hal ini membuatku merasa sangat lemah dan sering kali di remehkan sama papa seperti anak kecil. Nggak pernah di beri kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri atas kehendakku. Selalu papa yang menggambil keputusan yang terbaik versinya. Hingga akhirnya sering kali aku merasa hidup dalam zona nyaman dan nggak akan pernah keluar dari dalamnya. Aku sadar jika aku seperti ini terus-terusan, aku nggak yakin dengan masa depanku kelak seperti apa. Dan keputusan-keputusan besar yang nantinya harus aku ambil, aku tak tahu harus bagaimana. Oleh karena itu sering kali aku mencoba untuk keluar dari zona nyaman itu, tetapi selalu papa dan mama menarikku kembali ke dalamnya.     

Malam ini aku merasa sangat lelah, hingga tak menyadari aku sudah terlelap di atas tempat tidurku dan masih mengenakan baju yang sama. Mimpi-mimpi aneh dan absurd berdatangan hingga membuatku tak dapat memahami mimpi apa yang sedang aku lihat malam ini. Hingga akhirnya mimpi itu tiba-tiba menghilang dan aku sedang berada di sebuah tempat kosong dan gelap. Hanya terdengar suara gemercik air yang aku sendiri nggak tahu dari mana arahnya. Aku merasa kebingungan dan mencoba berlari kesana kemari namun berkali-kali aku kembali di tempat yang sama, seakan-akan aku hanya berputar-putar di tempat. Lalu dengan sekejap aku di bawa ke sebuah ruangan seperti di dalam sebuah rumah tua yang di bangun dengan dinding kayu, dan hampir semua perabotan rumah itu terbuat dari kayu usang. Isi rumah itu terlihat sangat lengkap terdapat meja kursi tamu, meja kursi makan, peralatan dapur, televisi tabung, kulkas dan teko yang di taruh di atas kompor. Aku mencoba mengelilingi rumah itu tak terlihat satu orangpun di sana dan tanpa ku sadari bahwa perlahan di belakangku semuanya berubah. Rumah yang tadinya terlihat rapi, kini banyak tanaman rambat yang tumbuh dimana-mana, dengan sekejap pun terlihat gulungan ular di sudut-sudut ruangan. Aku terkejut dan berteriak meminta tolong, namun tak ada orang yang dapat membantuku. Aku memanjat tempat yang lebih tinggi dari pada lantai yang kupijakki untuk mencari perlindungan diri. Ular-ular itu langsung mendatangiku satu persatu saat melihat ke arahku. Dari bayi ular hingga ular sebesar paha orang dewasa merambat dengan perutnya mendekati ku. Desis ular terdengar dimana-mana, aku berteriak ketakutan dan meminta tolong pada siapapun yang mendengar, tetapi tetap saja tak ada orang yang menolongku. Dengan cepat aku mengambil bangku yang usang dan memukulkannya ke badan ular-ular yang berdesis mendekatiku, satu demi satu ular tersebut mati terkena pukulanku. Namun semakin banyak yang mati, semakin banyak lagi yang datang menghampiriku. Aku sangat ketakutan, terasa sesak saat melihat sekumpulan ular yang mendekatiku membuatku terpojok di atas meja sudut di dalam rumah itu. Aku berdiri sambil memegang batang kayu dari sisa kursi yang telah hancur di depanku. Memukul satu persatu kepala ular yang hendak mendekatiku, hingga akhirnya aku melihat seekor ular besar, sebesar batang pohon tua masuk ke dalam rumah itu. Sambil berdesis seakan memberi tahu kepada ular-ular kecil lainnya dan seketika ular-ular kecil itu menjauh dari padaku seakan memberi jalan pada ular yang sangat besar itu masuk mendekatiku. Aku sudah tak berdaya melihat ular yang besar itu berdiri di hadapanku, mendekatiku dengan tubuhnya yang besar dan kuat. Perlahan ekornya melilit kedua kakiku hingga aku tak dapat bergerak kemanapun. Semakin lama tubuhku telah dililitnya dengan sangat erat hingga aku merasa susah untuk bernafas. Lalu kepala ular itu mendekati wajahku, sangat dekat dan membuatku benar-benar ketakutan dan sudah di ujung tanduk. Ular itu mulai menjauhkan kepalanya dari wajahku hingga satu meter jauhnya. Lalu dengan perlahan membuka mulutnya lebar-lebar seakan sudah siap untuk menyantapku dengan sekali santapan. Aku sudah merasa sangat lemas dan nggak berdaya saat melihat ular itu sudah siap menerkamku. Namun di saat yang bersamaan, ketika ular itu hendak menyerangku, tiba-tiba tante Aya, adik perempuan dari mamaku masuk ke dalam rumah itu dengan membawa sebuah pisau daging yang berukuran dua kali lebih besar dari biasanya sambil berteriak memanggil namaku dengan sangat kencang. Dalam seketika kepala ular besar itu langsung terpenggal di hadapanku dan ular itu mati terkulai di depanku. Aku langsung di peluk tante dan ia membawaku keluar dari rumah itu.     

Aku terbangun dari tidurku dan melihat sekujur tubuhku di penuhi oleh keringat dingin hingga membasahi semua tempat tidurku dan terutama bantalku. Aku mencoba mengatur nafasku dalam-dalam dan mencoba mengingat mimpi yang baru saja terjadi padaku. Aku melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangun dari tempat tidurku dan mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah. Aku sampai terdiam dari bangun tidur hingga hendak berangkat ke sekolah. Mama yang melihat dan memperhatikanku dari pagi merasa aku sedang ada yang tidak beres. Dengan sigap sebelum aku melangkahkan kakiku keluar rumah, mama menghentikanku.     

"Kamu kenapa Ndra?" Tanya mama sambil memegang lengan kananku.     

"Ah, Andra nggak kenapa-kenapa kok ma." Jawabku dengan suara sedikit lemas.     

"Kenapa! Ayo cerita! Mama ngelihatnya kamu nggak baik-baik aja lho."     

"Hmmmppphhh..." Aku menghela nafas panjang dan akhirnya memutuskan untuk menceritakan mimpiku semalam. Mama sempat terkejut mendengar mimpiku tersebut, namun mama hanya diam dan tak memberi pengertian apapun tentang apa yang aku alami. Selesai aku menceritakan mimpiku pada mama pagi itu, akupun langsung berangkat ke sekolah tanpa ada pikiran apapun dan aku merasa beruntung sepanjang hari ini aku di sekolah tak ada kejadian buruk yang menimpa diriku apalagi bersangkutan dengan mimpiku yang sangat mengerikan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.