The Eyes are Opened

Merinding



Merinding

0Jum'at, 13 Oktober 2012.     

"Lho Ndra tumben kamu kok beres-beres?" Tanya Karin yang baru saja keluar dari kamarnya.     

"Ah, iya. Aku nanti sore mau pulang soal e. Makanya aku siang ini sempetin bersih-bersih kamarku biar nanti pas balik lagi ke sini nggak banyak sampah di dalam kamar. Hehehehe..."     

"Owala... naik apa kamu pulang e nanti Ndra?"     

"Naik travel Rin... Mau naik kereta nggak boleh e sama papaku. Kamu nggak pulang hari ini?"     

"Nggak Ndra. Nanti aku mau keluar sama anak-anak ke mall. Jadi sabtu besok mami ku yang ke sini.     

"Ohhh... Ya udah Rin aku bersih-bersih dulu ya. Nanti mau belik kampus juga soal e." Ucapku langsung mengambil kresek tumpukan sampah di bawah kakiku dan melangkah melewati Karin yang masih tetap berdiri di depan pintu kamarnya.     

Selesai bersih-bersih kamar, aku langsung bergegas untuk mandi dan langsung ke kampus untuk menemui Dira anak Makasar, salah satu teman baruku saat ini. Jam di arlojiku sudah menunjukkan pukul 14.30, aku langsung berjalan lebih cepat menuju kampus sebelum Dira menungguku lebih lama di gazebo. Matahari bersinar sangat terang saat itu, membuatku beberapa kali menundukkan kepala saat berjalan dan bahkan menutup sebagian atas mataku agar mataku tak terkena silaunya terik matahari saat itu. Aku terus berjalan melewati pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang pinggiran jalan raya yang baru saja berdatangan dan membuatku tergoda untuk membelinya. Selesai membeli sebungkus batagor goreng, aku langsung berjalan kembali memasuki area kampus. Dari kejauhan Dira sudah terlihat, perempuan tomboy yang sedang duduk di tengah-tengah kerumunan anak-anak cowok sembari menggendong tas selempangnya serta berbagai macam map dan buku kuliah di tangan kirinya. Rambut ikal panjangnya hari ini terlihat berbeda dari biasanya. Yang biasanya terurai bebas, kini terlihat lebih rapi dengan kunciran ekor kuda. Aku terus melihat ke arahnya sambil melangkah gontai mendekatinya. Beberapa meter sebelum aku mendekatinya, Dira tampak melihat ke arahku dan langsung melambaikan tangannya sambil tersenyum manis yang tampak di wajahnya.     

("Dira ini benernya cantik lho! Tapi kenapa gayanya tomboy banget sih? Sayang aja kalau seandainya dia bergaya sedikit feminim pasti banyak cowok yang suka sama dia.") Gumamku. Aku mendekatinya dan menepuk pundaknya saat Dira sedang asik berbicara dengan salah satu teman cowoknya. Wangi parfum yang manis dengan sedikit aroma citrus yang lembut membuat orang di dekatnya terasa sangat nyaman. Entah sejak kapan Dira mulai mengggunakan parfum saat ke kampus, namun yang aku lihat saat ini ada sedikit perubahan pada penampilannya menjadi lebih baik dari pada saat awal kenal di masa orientasi dulu.     

"Bentar ya Ndra." Ucapnya sembari memotong pembicaraannya dan aku hanya mengangguk memahaminya. Tak begitu lama setelah Dira mengucapkan itu kepadaku, ia langsung membalikkan badannya dan menghadap ke arahku, serta menggandeng tanganku menuju ke selasar dosen yang terlihat sangat sepi sore itu. Kami duduk di bawah jendela ruang dosen yang terbuka sedikit sehingga dinginnya AC dari dalam ruang dosen keluar dan membuat sejuk tempat duduk kami saat itu.     

"Ndra, rasanya akhir pekan ini kita nggak bisa kerja kelompok dulu deh. Soalnya aku ada acara bersama keluargaku. Nggak apa kan?" Tanya Dira memastikan kepadaku dengan sangat hati-hati.     

"Iya nggak apa kok Dir, lagi pula aku juga mau pulang kampung sore ini. Jadi kemungkinan tugas kelompokku aku kerjakan di rumahku." Jawabku santai.     

"Oke kalau gitu. Ow ya Ndra, ini ada materi dan hasil kerjaku yang sudah aku kerjaan kemarin, tinggal kamu lengkapi dan tambahin sedikit ya... Lalu masalah power point dan statistik hasil kuisioner biar aku yang kerja, sama kamu kerjain rumusan masalah, dan teori-teorinya." Ucapnya sambil memberikanku sebuah flashdisk kecil berwarna merah tua dengan gantungan nama "DIRA" di bawahnya dari dalam saku tasnya.     

"Oke Dir, nanti kalau sudah selesai aku save di flashdisk ini sama aku kirim email aja ya biar cepat kerjanya." Ucapku sambil menerima flashdisk tersebut dan segera memasukkannya ke dalam tepat pensilku agar tidak hilang.     

Selesai membahas urusan kerja kelompokku bersama Dira, akupun langsung beranjak dari sana dan berjalan menuju ke kantin sejenak untuk membeli makanan sebelum travelku datang menjemput dan bergegas pulang karena hari itu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Setibanya di kosan, aku langsung menaruh seluruh barangku di dalam kamar dan langsung mandi terlebih dahulu. Selesai mandi aku melihat ke sekeliling rumah kosan yang sore itu tampak lenggang dan sepi. Hampir nggak ada anak kosan yang berjalan di sekitar rumah, hanya mbak-mbak kos yang sedang asik mengobrol di depan teras rumah kos. Aku bersiap sebelum mobil travelku datang sambil menghabiskan makanan yang tadi aku beli di kampus. Memeriksa kembali barang bawaanku satu demi satu, baik itu pakaian, dompet, dan tugas kuliah yang harus aku kerjakan di rumah. Tak terasa waktu berjalan lebih cepat dari yang aku kira, tiba-tiba saja terdengar bunyi klakson mobil dari depan kos dan langsung sajambak Sum meneriakiku dengan sangat kencang.     

"Andraaaa!! Di jempuutt!!!" Teriak Mbak Sum dari depan rumah.     

Akupun langsung bergegas merapikan seluruh isi kamarku secepat kilat, tak ketinggalan charger ponselku yang baru saja aku gunakan, aku langsung memasukkannya ke dalam tas ranselku. Mengeluarkan semua barangku dari dalam kamar, tak lupa mematikan seluruh aliran listrik dan lampu, serta mengunci pintu kamarku. Berlarian menuju ke depan gerbang yang sudah terlihat supir travel langgananku berdiri di sana.     

"Pelan-pelan aja niiikk... Nggak usah buru-buru." Ucap pak To supir travel langgananku tersebut sambil menerima travel bag yang aku bawa untuk di taruh di bagasi mobil. Sambil cepat-cepat pula, Pak To membukakan pintu tengah dan menyuruhku untuk segera naik ke dalam mobil travel.     

Saat itu belum banyak penumpang yang ikut dengan travel ini, hanya tiga orang termasuk aku yang sudah ada di dalam mobil. Terlihat dari pakaian yang mereka gunakan bukanlah mahasiswi seperti aku. Satu orang pria duduk di depan, di sebelah kursi supir mengenakan baju polo garis-garis dan terlihat beberapa helai rambut putih yang menyembul di antara rambutnya yang hitam. Iyap. Pria itu sudah terlihat paruhbaya. Sambil sesekali mengajak bicara Pak To yang sedang mempersiapkan mobilnya sebelum jalan lagi. Lalu seorang wanita duduk di kursi belakang sambil mengenakan headset di telinganya terus memandangi kosanku tanpa henti. Wajahnya yang tampak lelah, dengan kemeja batik, dan lanyard biru bertuliskan bank swasta di sepanjang talinya, terlihat ia seperti baru saja pulang kerja. Aku melihat ke arah arlojiku dan terlihat di sana sudah hampir setengah enam malam. Pak To pun langsung membawa kami ke tempat pemberhentian selanjutnya untuk mengambil penumpang ataupun paket yang akan ia bawa ke kotaku. Perjalanan pulang terasa begitu sangat lama dan panjang, apalagi tempat-tempat yang di jemput juga sangat jauh, tiap masuk ke cluster perumahan juga jauh-jauh hingga aku mulai merasa lelah di dalam mobil travel. Aku berkali-kali melihat ke arah arlojiku setiap kali Pak To berhenti untuk ambil penumpang maupun paket yang ia bawa hari ini.     

("Wahhh... kalau kaya gini bisa-bisa aku nyampe rumah lebih dari jam delapan malam ini? Apalagi aku selalu di turunkan paling akhir lagi.") Tukasku dalam hati saat melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 18.45 WIB.     

("Untung aku di taruk sama Pak To duduk di bagian pinggir persis belakang bangku sopir yang nggak sering naik turun. Coba'o kalau aku duduk di bangku tengah bagian kiri ya alamat capek naik turun aku bisa-bisa.") Ucapku sekali lagi.     

Aku duduk terdiam sambil sesekali memperhatikan layar ponsel yang tak memiliki pesan sedikitpun, sampai terkadang aku membuka aplikasi game untuk mengurangi rasa jenuh selama perjalanan dan sesekali memperhatikan orang yang masuk ke dalam mobil hingga ke penjemputan paling akhir malam itu. Aku termangu memandangi lampu jalanan di dalam komplek rumah yang terlihat sangat terang menyinari setiap jalanan di perumahan tersebut yang sesekali terdapat beberapa pedagang makanan yang menetap di bawah lampu jalan sambil menunggu datangnya pembeli. Mobil Pak To perlahan mulai melaju dengan sangat cepat hingga rumah-rumah yang ada di sisi kanan kiri jalanan mulai susah terlihat dengan jelas. Aku kembali membetulkan posisi dudukku, lalu mulai mengeluarkan headset yang aku simpan di kantong depan tasku.     

"Permisi ya dek..." Ucap seorang wanita paruh baya yang duduk di tenga-tengah bangku sambil menaruh tas tote bag besarnya di sisi kanannya, lalu ia mengeluarkan sebuah botol minyak angin yang membuat ku menjadi pusing saat menciumnya. Aku terus menahan rasa yang nggak nyaman sepanjang perjalanan hingga akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mataku selama perjalanan. Yap. Benar aja. Selama perjalanan aku hanya tidur di dalam mobil sampai aku nggak menyadari jika beberapa orang sudah turun ke rumahnya masing-masing, dan aku baru terbangun ketika hanya ada tiga orang yang tersisa di dalam mobil travel malam itu. Aku merogoh ponselku dan melihat di layar ponselku terdapat beberapa panggilan yang tak terjawab. Papaku yang menghubungiku setengah jam yang lalu. Aku langsung saja menghubungi papa kembali tanpa berpikir panjang dan memberi tahunya jika aku sudah hampir sampai.     

Hari semakin larut, gemerlapan lampu jalanpun juga terlihat menerangi kotaku malam itu. Jalanan mulai terasa lenggang, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang di tengah kota serta mulai banyak mobil polisi yang berpatroli di malam itu. Aku hanya terdiam selama perjalanan sambil mengantarkan penumpang terakhir sebelum aku tiba di rumah. Perempuan paruh baya yang duduk di sebelahku yang di turunkan paling akhir selain aku, dan ia juga tak lupa berpamitan denganku saat ia turun dari mobil. Terlihat mobil Pak To berhenti di depan rumah yang terdapat di pinggir jalan, dengan pintu pagar besi yang besar dan setinggi 3 meter terbuka sebagian. Ibu itu berjalan ke dalam pagar tersebut dan terlihat ia di sambut seorang perempuan muda yang sudah mengenakan piyama tidur sambil membawakan tas bajunya masuk ke dalam rumah. Selesai mengantarkan wanita paruh baya itu, Pak To langsung masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankan mobilnya. Ia melirik dari kaca spion tengah melihatku yang sudah terlihat kelelahan malam itu.     

"Ndra. Tidur ta?" Ujar Pak To dengan nadanya yang membangunkanku yang hampir terlelap di tengah jalan.     

"Hah? Nggak pak." Jawabku sambil memperhatikan jalanan yang sudah hampir dekat ke arah perumahanku.     

"Kamu balik kapan Ndra? Sekalian pesen di sasya aja, nanti konfirmasi lagi H-1 ya." Ujar Pak To seklai lagi.     

"Iya deh pak. Besok minggu sore aja ya pak tolong di jemput. Besok sabtu nanti tak ingetin lagi pak." Ucapku yang mulai merapikan barang-barangku ke dalam tas sebelum aku turun dari mobil.     

Suasana jalanan masuk ke dalam perumahanku saat itu sangat gelap. Terdapat beberapa lampu jalan yang sedang mati saat aku melihat ke arah luar mobil. Hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang meramaikan jalanan yang sudah mulai sangat sepi saat itu. Dari kejauhan terlihat bendera kuning yang terpasang di sebuah batang bambu di depan gapura perumahan. Terlihat juga sebuah mobil ambulance yang terparkir di dekat pos kemananan.     

"Wah ada orang meninggal Ndra." Ucap Pak To.     

"Iya pak. Kayanya barusan datang deh. Tuh ambulancenya masih terparkir di depan pos keamanan." Tukasku sambil terus memeperhatiak setiap orang yang keluar masuk rumah sambil mengenakan pakaian serba putih.     

Tak lama setelah melewati gang tersebut, akhirnya aku tiba di depan rumah dengan papa yang sudah menungguku di depan pintu. Aku langsung bergeas turun dari mobil sambil menunggu Pak To menurunkan tas bajuku yang ada di bagasi. Papa menyambutku dengan membawa tasku ke dalam rumah, terlihat mama yang masih duduk di depan televisi sambil melakukan hobinya yaitu menyulam, langsung bangkit dan menyambutku saat aku masuk ke dalam rumah. Rumah terasa sangat hangat dan nyaman saat itu dan membuatku langsung berlari ke lantai atas, ke dalam kamarku.     

"Maaaa!! Ini sprei, selimut, sarung bantal guling Andra sudah di ganti kaaann?" Teriakku malam itu pada mama dari dalam kamar sambil berbaring di atas tempat tidurku.     

"Ya sudahlahhh... Meskipun kamu nggak di rumah itu mama selalu bersihin kamarmu, sebulan sekali selalu ganti semua. Itu baru mama ganti kemarin." Ucap mama dengan lembut sambil menghampiriku di dalam kamar.     

"Kamu sudah makan Ndra?" Tanya mama.     

"Belum ma. Andra lapar nih. Ada makanan apa sekarang ma?" Tanyaku yang sangat antusias dan langsung beranjak dari tempat tidur berjalan keluar kamar.     

"Mama cuman masak rawon aja hari ini, ada perkedel kentang di atas meja." Jawab mama yang mengikutiku turun menuju ke meja makan.     

"Makan dulu Ndra.' Ujar papa yang sedang asik menoton film laga kesukaannya.     

Akupun langsung ambil nasi yang masih hangat di magic jar dan menuangkan kuah rawon yang masih hangat dari dalam panci dan langsung menikmati makan malam dengan lahap.     

Sesaat aku sedang asik makan malam sendirian di ruang makan, ssedangkan mama dan papa sedang duduk bersantai di ruang keluarga, aku mendengar sayup-sayup suara orang yang sedang memanjatkan doa berjama'ah. Suara yang kudengar tidak terlalu kencang, juga tidak terlalu pelan, namun di telingaku cukup terdengar jelas setiap doa yang mereka panjatkan. Aku terdiam cukup lama hingga makan malamku sudah dingin dan mama yang memperhatikanku pun langsung menegurku.     

"Ayo Ndra! Cepat abiskan makan malammu! Kok malah bengong sih!" Ucap mama yang sambil asik menonton televisi bersama papa.     

"Iya ma. Ow ya ma, Oma Mentik disemayamkan dimana emangnya?"     

"Di rumah anaknya itu yang di gang sebelah. Kamu tadi waktu pulang naik travel seharusnya keliahatan ada bendera kuning di depan gapura, orang rumah anaknya Oma Mentik kan dua rumah dari depan. Jadi pasti ada rame-rame." Jawab mama santai.     

"Tapi kooookkkk... Andra dengar ada orang doa-doa meninggal ya ma?" Tanyaku heran.     

"Hah? Suara orang sholawatan maksudmu?"     

"Iya. Apa mama nggak dengar? Ini lho suaranya cukup jelas kok."     

"Mana ada? Mama lho nggak dengar apapapun. Lagi pula mana bisa kedengaran orang sholawatannya dari rumahnya Om Bagas (Anak tunggal Oma Mentik) kedengaran sampai sini. Kamu ini aneh-aneh aja Ndra... Ndra... Hehehehe... Sudah cepetan habisin makananmu terus cepet tidur sana." Tukas mama. Akhirnya aku langsung mendengarkan ucapan mama dan segera masuk ke dalam kamarku.     

Hari semakin gelap, gerimis perlahan mulai membasahi semua tempat, udara dingin menyeruak masuk ke dalam kamarku lewat jendela yang saat itu masih belum ku tutup. Sejenak aku melihat ke luar merasakan deru angin yang melintas sangat kencang di tengah gerimis yang perlahan mulai lebat menandakan malam ini akan datang hujan angin. Aku langsung menutup jendela kamarku sebelum air hujan masuk ke dalam kamar lebih banyak dan membuat kamarku basah. Sekejap petir menyambar-nyambar di susul dengarn suara gemuruh yang menggelegar, membuatku terkejut saat hendak membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku langsung menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut dan hanya menyisakan bagian kepala yang terlihat dan tak lupa mengecilkan suhu AC yang semakin malam semakin dingin.     

Aku mulai terlelap di tengah gelapnya kamarku dan di temani suara air hujan yang semakin deras di luar jendela kamarku. Detik demi detik jarum jam di kamarku berdetak terdengar semakin kencang saat hari mulai menginjak tengah malam, namun entah kenapa malam itu aku sangat sulit untuk dapat tertidur dengan nyenyak, seakan ada sesuatu yang mengusikku terus menerus. Aku mencoba menghiraukannya dan terus berusaha untuk dapat tidur kembali. Lagi-lagi aku gagal tidur, hawa panas mulai menyeruak di dalam kamarku, selimut yang aku gunakan langsung ku tendang jauh keluar dari tempat tidurku dan aku segera beranjak mengambil remot AC yang ada di meja belajar. Memencet tombol pendingin kamar itu dua kali sehingga suhu pendingin kamarku menunjukkan angka 20 derajat. Saat aku hendak kembali merebahkan tubuhku lagi, aku melirik ke jam dinding kamar yang menunjukkan pukul 02.00 dini hari dan menghela nafas panjang sebelum aku kembali tidur.     

Tak lama setelah aku memejamkan mata, aku merasa sedang berdiri di suatu tempat. Saat itu aku masih belum menyadari jika aku sedang di alam mimpi. Aku melihat tempat tersebut sangat gelap, hanya ada seberkas cahaya putih yang masuk dengan kabut yang tebal menyelimuti tempat tersebut. Aku mencoba melangkah sedikit demi sedikit hingga akhirnya aku melihat ada sosok perempuan yang berdiri di ujung jalan membelakangiku.     

"Siapa orang itu? Kok kaya pernah lihat?" Gumamku lirih sambil terus memperhatikan sosok wanita tersebut.     

setelah lama aku memperhatikan sosok wanita tersebut dari kejauhan, wanita itu langsung membalikkan badannya setengah dan melihat ke arahku. Seketika aku langsung dapat mengenali sosok wajahnya yang terpapar cahaya.     

"Oma Mentik!" Ucapku yang terkejut saat melihat sosok Oma Mentik di dalam mimpiku.     

Oma Mentik tak terlihat bahagia, raut wajahnya seakan terlihat memiliki banyak beban yang masih ia bawa, ia juga tak mengatakan sepatah katapun padaku. Hanya tatapannya yang dalam seakan sudah mewakili untuk berpamitan denganku. Aku hanya mengangguk pelan dari kejauhan, lalu Oma Mentik dengan perlahan membalikkan badannya dan mulai melangkah pelan kedepan. Kabut semakin tebal sehingga jarak pandangku terhadap Oma Mentik semakin jauh tak terlihat. Aku mencoba mengibas-kibaskan kedua tanganku agar kabut-kabut tersebut segera lenyap dari hadapanku, namun semakin lama kabut tersebut semakin tebal hingga aku tak dapat melihat apapun lagi. Dan setelah semuanya putih tak terlihat, aku kembali sadar dari tidurku dan aku segera terbangun. Duduk termenung memandang lantai kamar yang masih terlihat gelap, hanya seberkas cahaya lampu jalanan yang masuk ke dalam kamar.     

("Aku tadi mimpi apa?? Kok mimpi kaya gitu?? Apa taddi maksudnya Oma Mentik berpamitan denganku? Tapi kenapaa??") Gumamku dalam hati.     

Aku terus memikirkan hal yang sama untuk waktu yang cukup lama, hingga tak sadar jam wekerku berbunyi dengan sangat kencang. Aku terbangun dari lamunanku dan langsung mematikan jam wekerku. Aku berdoa sebelum turun dari tempat tidur dan sekalian meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa atas mimpi yang baru saja aku peroleh. Melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB, akupun langsung beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju ke kamar mandi.     

"Ndraaa... Banguuunnn!!" Teriak mama membangunkanku dari bawah tangga.     

"Andra di kamar mandi maa!" Jawabku.     

Selesai mandi, aku langsung turun ke lantai bawah, melihat mama yang masih menyiapkan sarapan untuk kami satu rumah, sedangkan papa yang sudah sibuk dengan bunga anggreknya yang saat ini sedang berbunga.     

"Masak apa ma?" Tanyaku saat menghampiri mama.     

"Eh! Kaget mama Ndra, tiba-tiba kamu muncul aja di sini. Tumben kamu sudah bangun jam segini di rumah?"     

"Iya, perut Andra sakit tadi pagi-pagi, makanya langsung bangun terus mandi sekalian. Mama masak apa ini?" Tanyaku sekali lagi.     

"Ohh... ini mama masak kare ayam. Kenapa?"     

"Nggak apa. Ya udah bantuin siapin alat makan sama piringnya dong di meja makan, lalu panggil papa di depan suruh makan ya. Ow ya Ndra, abis makan temani mama ngelayat ke Oma Mentik ya."     

"Iya ma." Jawabku singkat yang langsung meninggalkan mama setelah selesai merapikan piring dan alat makan di meja makan.     

Aku langsung berlari menuju ke halaman rumah, terlihat papa yang sangat bahagia melihat bunga anggreknya berbunga dengan sangat indah. Memotong satu persatu dengan sangat hati-hati setiap daun dan batang anggrek yang kering dan tak lupa menyiraminya menggunakan semprotan.     

"Pa!! Ayo makan! Sudah di panggil mama tuh di dalam!" Teriakku.     

"Iya abis gini papa masuk. Bentar, papa mau selesaikan ini sebentar lagi." Jawabnya sambil terus memotong dan menyiram setiap tanaman anggreknya yang kini sudah ada tujuh pohon.     

Aku pun langsung berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan papa. Duduk di meja makan sambil terus memperhatikan mama yang masih mondar-mandir dari dapur ke meja makan.     

"Lho mana papamu?" Tanya mama yang akhirnya selesai menyiapkan sarapan kami pagi itu.     

"Tuh masih sama bunga anggreknya tuh. Katanya sebentar lagi masuk ke rumah." Jawabku singkat sambil mengambil nasi yang masih panas di penanak nasi.     

"Kebiasaan deh papamu itu kalau sudah sama tanamannya sampai lupa waktunya makan. Ya sudah deh kalau gitu, kamu makan aja dulu Ndra." Ucap mama sambil mengambil beberapa cup beras dan menaruhnya di sebuah baskom plastik dan tak lupa memberinya kain penutup di atasnya, lalu menaruhnya di meja ruang tamu agar tidak lupa saat hendak ngelayat nanti.     

Selesai makan, papa baru masuk ke dalam rumah dengan tangan dan baju yang kotor penuh dengan tanah. Berjalan menuju wastafel dekat meja makan, dan langsung mengganti bajunya dengan yang bersih sambil menghampiri mama yang sedang menyiapkan makan milik mama dan papa.     

"Ma, kamu nggak ngelayat?" Tanya papa saat duduk di meja makan.     

"Iya abis gini mau ngelayat sama Andra. Tuh mama bawa beras aja ya pa, mama taruh tuh di depan. Kenapa pa?"     

"Nggak apa. Tadi papa lihat ibu-ibu y ang lain juga sudah pada jalan ke sana. Andra sudah makan?" Tanya papa saat melihatku lewat di depannya.     

"Sudah pa. Dari tadi malah." Jawabku sambil meneguk segelas air dingin dari kulkas.     

"Ya sudah kalau gitu, nanti temeni mama ngelayat ya Ndra." Ucap papa sambil menikmati nasi karenya.     

tak begitu lama setelah menunggu mama selesai makan, sedangkan papa masih menikmati ayam karenya hingga tersisa tulang belulangnya saja, mama langsung mengambil tas kecilnya yang tergantung di balik pintu kamar dan langsung mengajakku untuk pergi ngelayat pagi itu. Hari masih pagi, masih jam delapan, namun terik matahari seakan sedang redup tertutup awan yang mulai menggupal di atas langit, dan perlahan awan yang putih tersebut berubah warna menjadi kelabu.     

"Ayo ma! Nanti keburu hujan lho!" Ucapku yang sedang menunggu mama di depan rumah sambil terus memperhatikan awan-awan gelap bermunculan dengan sangat cepat.     

"Iya-iya. Ini juga sudah selesai." Jawab mama yang tak lupa menggendong baskom besar berisikan beras yang hampir memenuhi baskom tersebut.     

Kami berjalan melewati rumah ke rumah hingga akhirnya kami berjalan menuju ke blok sebelah. Dua blok terlewati, dan kami masih terus berjalan dengan pelan-pelan sambil menyapa setiap tetangga kami yang ikut serta melayat Oma Mentik. Oma Mentik ini sebenarnya bukanlah orang penting di komplek perumahanku, namun beliau terkenal sangat baik dan selalu menyapa setiap tetangga dari blok manapun saat bertemu dengannya. Beliau juga sering kali mengajak berbicara para pedagang yang lewat maupun yang sedang ia hentikan saat hendak membelinya. Dan juga Beliau terkenal sangat dermawan bagi tetangga yang sangat dekat, selalu tak luput mendapatkan buah tangan yang Beliau dapatkan setelah pulang berpergian maupun saat Beliau sedang memasak suatu makanan. Sehinggga pagi itu terlihat banyak warga berbondong-bondong datang melayat Oma Mentik untuk yang terakhir kalinya.     

Dari kejauhan terlihat depan ruamh Om Bagas sudah ramai, hingga terop yang sudah berdiripun terisi dengan para pelayat yang datang. Beberapa pedagang makanan yang sering Oma beli pun ikut hadir sambil melayani makanan untuk pelayat yang datang. Suasana duka terpancar dari depan ruamh Om Bagas, setiap orang bergantian keluar dan masuk sambil sesekali mengusapkan air mata mereka. Begitu pula mama yang ikut masuk ke dalam rumah duka dengan raut wajahnya yang terlihat sedih dan kehilangan, langsung menghampiri salah satu anak perempuan Oma Mentik yang sedang berdiri di dekat gawang pintu sambil membungkuk berkali-kali menyambut tamu yang datang. Dengan wajah yang merah dan sembab Kak Putri anak terakhir Oma yang masih belum menikah tersebut menghampiri mama dengan sigap.     

"Tantee!! Makasi ya te sudah datang... Makasi juga ya dek sudah datang..." Ucap Kak Putri dengan nada lirih sambil memeluk kami berdua di depan gawang pintu masuk.     

"Iya Put.. Kamu yang kuat ya... Di tinggal mamamu... Baik-baik sama Mas Bagas, sama Mas Putra. Ini ada beras nggak banyak buat sumbangannya." Bisik mama di dekat telinga kak Putri yang terus menangis setelah mendengar ucapan mama. Seakan kepergian Oma masih belum dapat di relakan oleh anak-anaknya. Mama yang saat itu langsung mengajak Kak Putri duduk di sudut rumah sambil memberikan segelas air minum agar lebih tenang. Sedangkan aku mengikuti kemanapun mama pergi sambil terus memperhatikan setiap orang yang datang.     

Entah kenapa di saat aku sedang melihat ke sekeliling, seketika saja mataku tertuju pada Mas Putra yang terus menerus menangis di sanding peti Oma, rasa kehilangan yang sangat dalam terpancar hingga rasanya tak ingin meninggalkan Oma begitu saja di sana. Beberapa kali istri Om Bagas menghampiri Mas Putra untuk duduk sejenak di dalam kamar sambil menenangkan diri, namun Mas Putra selalu menolaknya. Beberapa kali juga Istrinya membawakan segelas air putih pun juga di tolaknya. Lalu sekujur tubuhku terasa ada hawa dingin yang melintas begitu saja, aku melihat ke kanan dan ke kiri, disana nggak ada yang memasang kipas angin dan yang menghadap ke arahku. Aku langsung merinding, hingga bulu kuduku berdiri. Aku yang saat itu masih nggak menyadari adanya roh dari Oma yang masih belum bisa pergi saat melihat anak-anaknya terus menerus menangis, hingga akhirnya aku menyadari saat aku terus memperhatikan Mas Putra, terlihat bayangan putih, sosok Oma berdiri di samping Mas Putra sambil terus menerus mengelus kepala anak tengahnya tersebut. Seketika air mata menetes di pipiku dan aku tak kuasa melihat hal tersebut dan membujuk mama untuk segera pulang dari sana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.