The Eyes are Opened

Petaka Tour Ke Jogja (Part 03)



Petaka Tour Ke Jogja (Part 03)

0"Waaaahhhh... bagus banget tempatnya... Autentik dan terkesan masih tradisional. Masiih pakai prabotan kayu dimana-mana. Hawanya adem juga saat pertama kali masuk ke dalamnya." Gumamku saat pertama kali masuk ke dalam resturant tersebut.     

"Sugeng rawuh..." Ucap pelayan reszto dengan sangat ramah dan aku hanya menunduk sambil tersenyum membalas ucapan selamat datang mereka.     

"Ndra! Sinii..." Teriak Cehrryl memanggilku saat ia baru saja mendapatkan tempat duduk.     

Aku berjalan dengan gontai menghampiri Cherryl menuju ke meja kayu panjang yang sangat besar di bagian tengah-tengah resto. Terlihat betapa tua meja dan kursi yang ada di resto ini, namun masih bagus dan kokoh. Nggak ada satupun kursi yang kami duduki berbunyi "kriet-kriet". Akupun langsung duduk dan melihat ke sekeliling ruangan yang ada di resto tersebut.     

"Cher, lihaten ta interior resto e unik pol yo. Kaya kita masuk ke jaman dulu. Langit-langit e tinggi, dinding e nggak pakai dilapisi semen, cuman bata tok. lampu e itu lho ya pakai lampu kuno jaman-jaman dulu!" Celotehku.     

"Iya Ndra. Ini ae pake kipas tok ya hawa e nggak panas lho. Kipas e ya guede, kaya kipas angin yang ada di rumah e emakku tahu nggak. Tapi ya... nggak sebesar ini see... cuman mirip. Hehehe..."     

"Iya maka e itu. Gini kampus e kita ini ngebooking satu resto apa gimana ya? Kok masih sepi pol ya? Nggak ada pengunjung lain seng makan gitu?" Ucapku lagi.     

"Ya rasa e di booking satu resto lha Ndra... Nggak mungkin nggak booking dulu... eh-eh, lihat ini lho Ndra, buku menu e juga bukan pakai kertas sampul e. Kok kaya pakai daun gitu ya? Dan nggak rusak lho!" Tukas Cherryl sembari mengambil buku menu yang ada di tengah-tengah meja.     

"Iya Cher, unik juga ya bukunya. Lihaten ta Cher, menunya juga nggak mahal-mahal banget lho. Cuman ini tok ayam masak ungkep ini tok yang paling mahal di sini." Ucapku sambil menunjuk ke salah satu gambar menu.     

"Eh Cher, kamu mau ikut nggak?" Tanyaku.     

"Kemana?"     

"Ke toilet."     

"Yuk lah." Jawab Cherryl singkat.     

Aku berjalan menuju ke salah satu pelayan resto itu untuk menanyakan letak toilet dimana dan pelayan itu menunjukkan dengan tangannya yang mengarah ke belakang dari resto ini. Aku dan Cherryl pun mengikuti arahan dari pelayan tersebut hingga menemukan sebuah bilik bambu yang ada di ujung belakang resto dengan atap terbuka.     

"Ndra, itu toilet e?" Tanya Cherryl sambil menunjuk ke salah satu bilik tersebut.     

"Iya rasae. Ya dilihat aja dulu." Ucapku sambil berjalan ke arah bilik tersebut.     

"Iya Cher, ini toilet e. Tuh lihat ada kloset duduknya." Jawabku sambil menunjuk ke arah kloset duduk di sanding gentong kayu yang sangat besar di sebelahnya.     

"Ya udah kalau gitu aku di sini, kamu di sana ya Ndra." Ucap Cherryl yang langsung masuk ke dalam bilik toilet yang lain.     

Tempat resto yang kami singgahi saat ini sangat luas dan sangat besar, dimana di balik gedung uatam resto ini masih ada halaman yang sangat luas, di tumbuhi berbagai tanaman pohon dan bunga. Selain itu di belakang toilet resto ini masih ada lahan perkebunan yang cukup luas yang aku sendiri nggak tahu macam apa saja tanaman yang di tanam di sana. Ada kebun buah pisang, mangga, apel, jeruk dan kelapa yang hanya terlihat olehku. Sisanya tertutup di dalam rumah kaca. Di samping kebun terlihat ada cerobong asap yang lumayan tinggi, dan terlihat seperti bagian dapur dari restoran ini. Harum masakan yang di masak tercium sampai tempatku yang membuatku menjadi sangat lapar.     

"Cherr... kamu sudah belum?" Teriakku di depan pintu bambu toilet yang di gunakan Cherryl.     

"Bentar Ndraa!! Perutku masih sakit nih!" Balasnya.     

"Ohh... kamu lagi BAB ta? Mau aku tungguin apa aku tinggal masuk?"     

"Tungguin Ndra! Aku ngerasa ngeri kalau sendirian." Jawabnya lagi.     

Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Cherryl sampai selesai, aku duduk di bangku kayu panjang yang terletak di bawah pohon mangga. Duduk bersantai menikmati hembusan angin yang terasa sangat sejuk meskipun matahari sudah di atas kepala. Hingga tak terasa Cherryl sudah selesai dan menghampiriku.     

"Ndra. Ayo. Aku sudah selesai." Ucapnya.     

Akupun langsung beranjak dan berjalan masuk ke dalam ruang resto. Harum masakan yang di masak menyeruak memenuhi ruang makan. Bau sambal yang baru dimasak pun sesekali membuat hidungku terasa gatal dan pedih. Aku berjalan mendekati bangku yang hendak aku duduki terlihat di sana semua menu masakan yang di pesan sudah terhidang dengan sangat cantik. Mereka masih menggunakan piring seng dengan batik cantik di atasnya yang beralaskan daun pisang sebagai sajian dari makanan yang kami pesan. Ada ayam bakar, ayam goreng, sayur lodeh, gudeg, tahu-tempe bacem, dan masih banyak masakan lain yang tersaji.     

"Bu, ini sudah semua menu yang di pesan, apakah ada menu yang mau di tambahkan lagi?" Tanya seorang pelayan pada bu Ayu.     

"Oh, sudah cukup mas. Ini sudah cukup dan nggak ada tambahan lagi. Nanti kalau ada langsung saya panggil aja ya mas..." Balas Bu Ayu.     

"Baik bu. Terima kasih." Ucap pelayan tersebut sambil membungkuk dan berjalan mundur sebelum meninggalkan meja makan kami.     

"Nah, anak-anak, ini makanan yang akan kita makan siang ini. Mari kita makan." Ucap Bu Ayu memimpin acara makan siang kami saat itu.     

Langsung saja tiap anak mengambil menu lauk yang beragam di atas piring mereka masing-masing dan kebanyakan anak-anak perempuan yang mengambil makanan yang tersaji terlebih dahulu, baru di ikuti anak-anak laki-laki yang mengambil lebih banyak lauk. Kami makan siang itu dengan sangat lahap dan sangat menikmati masakan-masakan ini. Hanya menu gudeg yang menurutku kurang cocok di lidahku, karena rasa gudegnya sangat terlalu manis. Namun hampir semua masakannya aku suka.     

Sudah satu jam berlalu kami masih berada di restoran tradisional di Surakarta, beberapa orang yang sudah selesai menikmati makan siangnya, mereka asik mengelilingi taman resto ini. Ada yang berfoto ria, ada yang menjelajah ke kebun yang di miliki resto ini, dan ada juga yang duduk bersantai di bawah pohon-pohon rindang seperti yang aku lakukan tadi. Benar-benar tempat yang sangat menyenangkan yang pernah aku kunjungi. Di atas meja makan pun hampir nggak ada makan yang tersisa. Semuanya habis bersih. Hanya para dosen yang sedang asik membeli pisang goreng, singkong goreng dan ote-ote untuk bekal mereka selama menginap di Jogja. Aku dan Cherryl tidak ikut membeli karena perut kami sudah sangat penuh seakan ingin meletus alias kekenyangan. Para supir dan asistennya pun juga terlihat sudah selesai makan, mereka duduk di pinggiran bis sambil menghisap sebatang rokok yang tersemat di antara telunjuk dan jari manis mereka.     

"Ayo anak-anak silahkan berkumpul kembali ke dalam bis masing-masing!" Teriak Pak Budi di tengah-tengah hall.     

Aku yang mendengar hal tersebut pun langsung mengajak Cherryl untuk masuk ke dalam bis terlebih dahulu sebelum yang lainnya ikut masuk.     

"Adduuhhh Cherrr... aku kenyang banget iniiii... Malah jadi ngantuk e..."     

"Iya Ndra, sama. Aku juga mulai ngantuk abis makan tadi." Ucapnya sambil menyenderkan kepalanya di pinggir jendela.     

Tak begitu lama setelah kami masuk ke dalam bis, anak-anak yang lainpun akhirnya masuk ke dalam bis dan duduk di bangku masing-masing sambil panitia menghitung satu demi satu anak yang sudah masuk.     

"Pak, sudah komplit." Ucap salah satu panitia laki-laki yang bernama Eka.     

"Iya. Terima kasih. Bis lainnya masih ada anak yang belum kembali. Kita tunggu dulu sampai semua anak sudah masuk ke dalam bis." Ucap pak Budi sambil terus mendengarkan suara halkie talkie yang tersemat di kantung dada bajunya.     

Lima menit berlalu, suara dari halkie talkie bis satu memberikan info terbarunya jika mahasiswa yang mereka bawa sudah komplit semua. Akhirnya satu persatu bis yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan restaurant tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan menuju ke Jogja.     

Hanya 30 menit lamanya setelah dari rumah makan di Surakarta tadi, akhirnya kami tiba di Joga dan kami langsung menuju ke keraton Jogja yang akan di pandu langsung dengan abdi dalem disana. Semua anak terlihat sangat antusias saat pertama kali bis kami melewati dinding keraton yang sangat besar dan megah, seakan keingin tahuan kami lebih besar terpancar dari setiap raut wajah yang memandang keluar jendela bis.     

Setelah lima menit berlalu saat bis kami mencari tempat parkir, akhirnya kami langsung di perbolehkan untuk turun saat itu juga. Buku catatan, alat tulis, dan perekam suara kami siapkan bak seorang reporter. Semua anak langsung berbaris rapi di depan bis sebelum masuk ke dalam keraton Jogjakarta sembari menunggu Bu Ayu dan Pak Budi membeli tiket masuk serta mengkonfirmasi tour guide yang akan menemani kami selama berkeliling di dalam sana. Tak begitu lama kemudian, Pak Budi dan Bu Ayu kembali menghampiri kami bersama tiga orang tour guide keraton yang akan menemani kami. Dari 110 mahasiswa yang ikut, kami di bagi menjadi tiga kelompok yang terdiri satu kelompoknya 36 dan 37 orang. Aku dan Cherryl ikut kedalam kelompok yang berisikan 36 mahasiswa karena kami takut jika ikut ke dalam kelompok yang lebih banyak jumlahnya, kami tak mampu mendengar penjelasan tour guidenya dengan jelas. Kelompok kami di temani dengan salah satu tour guide perempuan yang sudah lama bekerja di keraton Jogja selama 20 tahun, sejak beliau masih gadis hingga sekarang mempunyai anak tiga. Namanya Kak Tari. Beliau kami panggil kak karena memang masih terbilang muda di usia yang belum genap 34 tahun tersebut. Kak tari memperkenalkan dirinya dengan sangat anggun dan berwibawa selayaknya warga keraton dalem. Parasnya yang manis dengan kulitnya yang kuning langsat membuat daya tarik tersendiri dari pada tour guide yang lainnya. Rambut hitam kelam bergelombang tergerai begitu saja, hanya jepit kecil dengan permata putih menjadi hiasan di rambutnya. Tubuhnya yang kurus dan langsing tak menunjukkan kalaukak Tari sudah berkeluarga ataupun sudah memiliki tiga orang anak jika ia tak menjelaskan di awal pertemuannya dengan kami. Senyumnya yang sangat mempesona memikat kami untuk selalu patuh dan taat pada aturan-aturan yang telah ia sampaikan, seperti tidak berteriak atau bercanda dengan suara kencang, dan selama tour kami di harapkan untuk tenang, hanya saat sesi tanya jawab kami di perbolehkan berbicara.     

"Baik teman-teman sekalian, sekarang kita mulai tournya ya... Ini kita masuk dari gerbang utama Keraton Jogjakarta. Bisa kalian lihat dari gerbang ini saja, warna yang banyak mendominasi iala warna hijau, emas, dan putih ya... Sama kaya legenda yang mungkin kalian dengar yang ada di laut pantai Selatan yang suka dengan warna hijau. Lalu...." Jelas kak Tari.     

Ruang demi ruang di jelaskan oleh kak Tari dengan sangat detail, hingga lambang atau simbol-simbol kerajaan pun di jelaskan. Dari yang biasa aku dengar di internet maupun televisi, sampai yang baru saja aku dengar. Semua mahasiswa selalu cekatan saat menulis setiap informasi yang di sampaikan oleh kak Tari. Bahkan aku dan Cherryl menggunakan alat perekam suara membantu kami jika ada salah satu informasi yang terlewat. Semua mahasiswa yang ikut tour ini di bawa oleh tour guide masing-masing dengan cara berpencar yang nantinya akan bertemu kembali di pintu keluar Keraton Yogyakarta. Lamanya kami berkeliling di dalam sana hanya satu jam, namun hal tersebut tak terasa bagi kami, karena memang semenarik itu hal-hal yang ada di dalam Keraton Yogyakarta. Baik itu orang abdi dalemnya, sampai tata cara yang berlaku di sana.     

Setelah selesai kami di giring menuju ke pintu keluar dimana para dosen telah berada di sana terlebih dahulu. Namun ketika aku dan Cherryl hendak keluar dari gerbang kecil di pintu keluar, tiba-tiba salah satu temanku bernama Alvin di beri tahu seseorang di belakangnya. Aku hanya melirik dan tidak mendengarkan apa yang di sampaikan. Sampai akhirnya, ketika kami di luar barulah aku mencoba bertanya kepada Alvin.     

"Vin! Kamu tadi ngobrol sama siapa?" Tanyaku dengan rasa penasaran.     

"Ohh... itu tadi aku di ajak ngobrol sama salah satu kuncen di Keraton. Tadi beliau bilang kalau kita nanti nggak bakal bisa keluar dari Jogja. Jadi kita di minta untuk lebih berhati-hati dan jaga sikap dan tutur kata selama di sini." Terangnya.     

"Hah? Kok bisa orang itu bilang kaya gitu sih? Nggak paham deh aku." Tukasku heran.     

"Aku ya nggak paham Ndra. Tapi aku rasa ada salah satu mahasiswa yang nggak bisa jaga sikapnya yang membuat beliau bicara kaya gitu."     

"Hmmm... mending kamu bilang ke pak Bayu deh. Biar bisa di ingatkan lagi anak-anak yang kaya gitu. Kalau aku sih nggak mau kalau sampek nggak bisa pulang yaa... Takut juga di kota yang sakral kaya Bali." Ujarku sambil bergidik.     

Mendengar ucapanku, Alvin pun langsung melaporkan apa yang di sampaikan kuncen dari Keraton Jogja kepada Pak Bayu, dan pak Bayu langsung mengkonformasi ulang tentang hal itu kepada beliau, sehingga hal tersebut membuat kami saat itu tak dapat langsung meninggalkan halaman parkir Keraton cukup lama. Sehingga aku dan Cherryl memutuskan untuk masuk ke dalam pasar oleh-oleh yang terdapat di sebelah Keraton Jogja agar kami tak merasa jenuh di dalam bis.     

"Wah Ndra, aku nggak tahu lho kalau di sini ada pasar buat belanja oleh-oleh." Tukas Cherryl saat masuk ke dalam pasar seni Keraton Yogyakarta.     

"Iya. Aku ya baru tahu ini. Misal e tadi kita langsung balik ya mungkin nggak akan tahu ada pasar di deket sini." Ucapku.     

Akhirnya kami berdua memutuskan untuk berjalan-jalan menelusuri lorong sempit dan panjang ini sambil melihat-lihat apa saja yang di jual di dalam pasar seni Yogyakarta ini. Di sepanjang kami berjalan menelusuri pasar seni ini, terlihat sanagt banyak kios-kios kecil yang menjajakan dagangannya seperti baju batik, daster, kebaya, kain sewek, blangkon, keris, aksesoris, soubenir dan masih banyak hal yang lainnya. Mereka juga kebanyakan sudah tua yang berjualan di sana, seakan tidak ada batasan umur untuk terus mencari uang demi sesuap nasi.     

"Deekkk... Monggo di beli Deekkk... Monggo mampir sedhela deekk... Mriki lho deekk.. ono daster ayuuu..." Ucap para ibu-ibu yang berjualan menawarkan dagangannya dengan bahasa Jawa.     

Sesekali saat aku tertarik dengan apa yang mereka jual, aku menghampirinya dan menanyakan harganya. Namun ternyata harga yang mereka jual termasuk mahal untuk seukuran daster tipis dengan jahitan yang tidak terlalu rapi yang saat itu aku lihat.     

"Pinten niki bu?" Tanyaku.     

"Niki murah dek.. Sawidak." Ucapnya dengan tegas.     

"Mboten wangsul kurang ta bu?? Selangkung pun wes bu..." Balasku.     

("Eh, Ndra, kamu nggak kemurahen kalau anwar?") Bisik Cherryl.     

("Sudaahh... tenang aja...") Jawabku.     

"Waduh deekk... mboten angsal. Sekat limo wes dek, pas." Jawaban akhir dari ibu tersebut kepadaku dan aku hanya menggelengkan kepala menandakan tak menyetujui hasil tawar menawar tersebut.     

"Matur suwun nggih bu.." Ujarku saat hendak meninggalkan ibu tersebut.     

"Inggih dek... sami-sami..." Balasnya lagi.     

Aku dan Cherryl akhirnya terus berjalan melewati banyak lorong yang membawa kami ke sebuah tempat yang penuh dengan makanan tradisional serta kue oleh-oleh khas Jogja. Namun di sana sudah terpampang harga di setiap makanan yang di jual sehingga membuatku lebih enggan untuk membelinya.     

("Waduh, di sini makanan aja ya mahal-mahal ya Ndra.") Bisik Cherryl.     

("Iya. Makanya itu dari tadi aku nggak berniat buat beli. Mending beli di Malioboro sana nanti Cher, harganya jauh lebih murah-murah.") Tukasku.     

Di tengah-tengah kami sedang mencari jalan keluar, tiba-tiba kami melihat sekelompok anak-anak yang juga ikut tour sedang membeli aksesoris dan souvenir yang letaknya tak jauh dari kami berjalan. Toko itu terlihat sangat ramai dan wajah dari meiliknya pun terlihat sangat senang dengan kehadiran dari pada kami yang sedang berlibur. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka dan melihat apa saja yang toko itu jual sehingga ia menjadi toko paling ramai di pasar seni itu.     

"Eh, kalian beli apa sih? Kok dari kejuahan tadi kayanya heboh banget?" Tanya Cherryl pada teman SMA yang ia kenal.     

"Ohh... ini lho Ryl kami lagi beli aksesoris gelang sama kalung. Unik-unik model di sini itu... Lihat deh." Ucap Tania sambil menunjukkan hasil belanja gelang dan kalung yang di bawanya.     

"Emang berapa'an di sini?"     

"Tadi aku beli dua macam ini aja cuman enam puluh ribu aja sih. Murah lho Ryl! Kamu nggak ikutan beli?"     

"Nggak ah. Aku kan nggak suka pakai kaya gituan." Ucap Cherryl dengan wajah yang tak nyaman.     

"Ya udah deh kalau gitu aku balik bis dulu ya. Kalian jangan lama-lama di sini!" Ucap Cherryl yang langsung meninggalkan teman-temannya yang masih belum selesai berbelanja.     

Kami berjalan lagi menuju ke lorong yang kini lebih besar dan lebih luas dari pada lorong-lorong sebelumnya. Hingga akhirnya kami menemukan pintu keluar dari pasar seni ini yang terletak di balik gedung Keraton Jogja. Saat kami keluar dari pasar, kami sudah di sambut dengan banyaknya kuda yang sedang beristirahat di sana bersama degan kereta kuda dan juga kusir yang menunggu di dalamnya. Kami sempat di tawari untuk menaiki andong- andong yang sedang mengantri untuk mendapatkan penumpang dengan harga yang tak murah bagi kami. Kami berkali-kali pula menolak tawaran mereka dengan melambaikan tangan maupun dengan mengabaikan tawaran mereka.     

Kami berjalan kurang lebih 500 meter memutari dinding Keraton untuk mencapai tempat parkir bis. Cuacayang terik namun di payung i dengan banyaknya pohon besar dan rindang tumbuh di sepanjang jalan membuat kami tak merasa kepanasan. Udara sejuk dari angin yang berhembus membuat kami makin menikmati perjalanan tersebut.     

"Ndra! Itu bisnya!" Teriak Cherryl saat melihat bus pariwisata kami yang sudah mulai menyalakan mesinnya. Kamipun langsung berlarian memnuju ke bis yang sudah terlihat sepi, dosen ataupun mahasiswa lainpun tak ada yang di luar bis.     

[Drap! Drap! Drap! Drap!]     

"Haahhh... akhirnya sampai juga di bis!" Uca[ku saat menginjakkan kakiku naik ke dalam bis.     

"Kalian dari mana saja?!" Tanya pak Budi yang biasa duduk di bangku depan dekat dengan pintu.     

"Ah, kami habis dari pasar seni dekat Keraton pak.' Jawabku sambil menunduk.     

"Ya sudah kalau gitu. Cepat kalian duduk! Ini siapa saja yang belum masuk?" Tanya pak Budi kepada Mike salah satu panitia yang dududk di sebelahnya.     

"Ini kurang Chaerin, Stella, sama Novita pak." Jawab Mike sambil melihat ke daftar nama.     

"Siapa di sini yang kenal dari Chaerin, Novita dan Stella?! Tolong di hubungi, sebab kita akan mulai jalan kembali." Ucap pak Budi dengan lantang.     

Tak lama setelah Pak Budi mengatakan hal itu, terdengar salah satu suara anak perempuan dari bangku belakang akhirnya menghubungi ketiga anak tersebut.     

"Hey! Kalian ini dimana sih?! Kok gak balik-balik ke bis! Kalian mau kami tinggal ya!" Ucap Claudia dengan suara yang lantang!     

["Heeehhhh!! Kalian sudah mau jalan bisnya?! Aarrghhh tunggu-tunggu kami!!"] Teriak ketiga gadis tersebut dengan nada panik.     

Dan benar saja, setelah 10 menit kami menunggu teman-teman yang tadinya masih di dalam pasar, akhirnya ada 10 orang yang berlarian menuju ke bis masing-masing dan langsung masuk ke dalamnya termasuk Stella, Novita, dan Chaerin. Pak Bondanpunlangsumng meninjak gasnya setelah ke tiga anak tersebut duduk di tempatnya masing-masing dan bis perlahan mulai jalan meninggalkan halaman Keraton Jogja.     

Di tengah-tengah perjalanan kami menuju ke hotel yang sudah di pesan oleh panitia, Pak Budi tiba-tiba berdiri sambil mengetuk mic yang ia bawa.     

"Selamat sore anak-anak?"     

"Sore pak!!" Ucap kami dengan serentak.     

"Baik, saat ini sudah tepat pukul setengah empat sore, dan sebentar lagi kita akan menuju ke penginapan yang dekat dengan jalan Malioboro. Sebelum kita tiba di sana, ada beberapa hal penting yang ingin bapak sampaikan demi kebaikan kalian. Yang pertama, di saat kalian sedang berada di kota orang apa lagi tempat-tempat yang sakral, saya harap dan saya minta kalian untuk selalu menjaga tata tertib aturan yang berlaku di manapun itu. Serta kalian harus menjaga tata krama kalian, baik itu ucapan, perilaku dan sopan santun. lalu yang kedua, ketika kalian ingin jalan-jalan seperti ke lima anak yang ada di bis ini, tolong kalian hubungi pihak panitia atau dosen yang dekat dengan kalian! Agar apa?! Ketika kita sedang seperti tadi dan jika kami tidak memeriksa mahasiswa yang ada di dalam bis, kalian bisa tertinggal! Camkan itu anak-anak!"     

"Baik paakkk!!"     

"Saya tahu kalian ini sudah dewasa, tapi ya kalian juga tanggung jawab kami dan panitia yang mengadakan acara tour ini. Jika terjadi sesuatu pada kalian, kamilah yang harus bertanggung jawab! Jika nanti setibanya kalian di hotel dan ingin berjalan-jalan, tolong beri tahu kepada ketua kamar yang akan kami tunjuk, lalu ketua kamar juga harus menguhubungkan informasi tersebut kepada Carlos sebagai ketua panitia tour ini dan nantinya Carlos akan menyampaikan pesan tersebut ke Bu Mitha. Aturan ini berlaku pada semua panita! Tolong sampaikan kepada panitian yang lain Mike!"     

"Sudah pak!" Jawab Mike.     

"Hah? Sudah?" Ucap Pak Budi dengan tercengang.     

"Iya pak. Saya langsung menggunakan call converence saat ini, jadi semua panitia, dosen dan mahasiswa di keempat bis lainnya sudah mendengarkannya langsung."     

"Baik kalau begitu, ini aturan terbaru dari saya. Terima kasih dan selamat sore."     

Setelah pak Budi mengakhiri pemberitahuannya, tak begitu lama akhirnya kami tiba di sebuah halaman teman parkir sebuah hotel yang terlihat begitu sangat luas, bahkan bisa menampung semua bis kami di dalam sana. Hotel yang terlihat sederhana dari depan dan hanya terlihat satu lantai ini pun ternyata berbeda saat kami mulai masuk ke dalamnya. Beberapa anak juga tampak takjub dengan desain hotel yang kami singgahi saat ini. Namun satu hal yang terus aku perhatikan ialah hotel ini termasuk hotel dengan konsep yang kuno dimana aksen-aksen Jawa begitu melekat di dalam hotel dan interiornya. Tak lupa juga ada lukisan Nyai Pantai Laut Selatan yang terpasang dengan sangat besar di hall utama penginapan tersebut. Membuatku bergidik setiap kali aku melihat dan melewatinya. Namun aku tak bisa komplain dengan hotel yang kami tempati saat ini, sehingga aku langsung berjalan menuju ke kamar yang akan tempati malam ini di lantai dua.     

"Waaahh... lihat kamarnya Ndra, serba hijau gini." Ucap Cherryl saat pertama kali membuka pintu kamar 2015 yang kami tempati.     

"He'em." Jawabku sambil melihat sudah ada dua anak lain yang telah tiba di dalam kamar tersebut dan mereka sedang mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam tas.     

"Oh, haii!! kIta sekamar yaa..." Ucap salah satu anak perempuan dengan parasnya yang manis dan tinggi saat ia sedang menyiapkan baju untuk mandi sore.     

"Oh, iya.. Salam kenal ya... Namamu siapa? Namaku Dyandra, panggil aja Andra."     

"Aku Cherryl..."     

"Aku Nadia, dan dia Mella." Jawab Nadia dengan rambutnya yang pirang saat kami sedang berkenalan.     

Setelah itu akhirnya kami merapikan barang bawaan kami dan bergegas untuk mandi bergantian sebelum jadwal makan malam tiba.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.