The Eyes are Opened

Hai! Saat ‘Dia’ Yang Ingin Menyapa (Part 03)



Hai! Saat ‘Dia’ Yang Ingin Menyapa (Part 03)

0Hari berganti sangat cepat, begitupula dengan musim yang ikutan berganti. Kini musim penghujan datang lebih awal dari pada biasanya. Hingga hampir tiap malam hujan lebih sering membasahi tanah di depan kosanku. Anak-anak kos juga silir berganti. Banyak anak baru yang masuk, namun terlihat mereka bukanlah anak-anak S1. Sudah beberapa malam belakangan ini juga hujan turun dengan lebat, hingga pagi hari selalu terlihat air menggenang dimana-mana. Pagi itu seperti biasa aku selalu bangun lebih awal sebelum jam masuk kelas kuliah tiba. Tepat pukul 06.00 WIB aku sudah bangun, membersihkan seluruh isi kamarku yang penuh debuh dan sampah sisa makanan semalam. Terdengar suara gemercik air di jalanan membuatku tertarik dan langsung berjalan ke arah balkon kos-an.    

"Waaahhh… banjir. Duh gimana ya nanti ke kampus, apa bisa berangkat? Apalagi hari ini full lagi." Gumamku sambil melihat orang-orang yang hendsk bersngkat kerjs menggunakan taksi maupun sepeda motor.    

"Ada apa mbak?" Tanya mbak Sri yang sedang membersihkan kos-an.    

"Ini mbak, lihat banjir. Hehehehe…"    

"Iya lho… Pagi-pagi sudah banjir. Ini mungkin kena hujan semalem itu lho mbak… makanya paginya masih banjir. Apa hari ini ada kuliah ta mbak?"    

"Iya mbak Sri. Tapi nanti jam sembilan kuliahnya. Semoga aja nggak huja atau banjir lagi." Ucapku yang masih terus melihat ke bawah seakan menjadi pemandangan yang menarik di pagi hari.    

Bukan hanya aku saja yang sedang memperhatikan orang yang belalu lalang di tengah genangan banjir yang tak kunjung surut pagi ini. Beberapa anak dari kos-an seberang juga banyak yang melihat dari balkon kos mereka. Ada yang khawatir dengan sepeda motor yang terpakir di halaman kos mereka yang lebih rendah dari pada jalanan, namun mereka tampak pasrah dengan apa yang sudah terjadi.    

"Lagi lihatin apa sih?" Tanya kak Fahmi yang terlihat hendak berangkat kerja, serta sudah mengenakan jaket, lengkap dengan sepatu karetnya, tas ransel yang selalu ia bawa kemanapun dan juga helm hitam yang terlihat lusuh di pergelangan tangan kanannya.    

"Banjir kak!" Jawabku singkat.    

"Haahh? Banjir? Iya ta? Wadduuuhh… motorku baru aja kemarin aku cuci lagi." Keluhnya sambil melihat ke bawah.    

"Banjirnya sih nggak masalah. Nggak terlalu tinggi sih.. Tapi beceknya itu lhooo.. Huft! Sudahlah, mau gimana lagi." Ucap kak Fahmi yang mengehela nafas seakan kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi, lalu ia langsung bejalan lebih cepat menuruni anak tangga dan dengan cepat pula ia meninggalkan kos-an.    

"Ya udah mbak, saya juga mau siap-siap ke kampus." Ucapku ke mbak Sri yang tengah mengepel lantai di balkon kos-an.    

"Iya mbak." Jawabnya sambil menoleh ke arahku.    

Baru saja selesai mandi dan juga sarapan, hendak ganti baju ke kampus, tiba-tiba saja terdengar suara gerimis hujan. Aku pun cepat-cepat berlari ke balkon memastikan jika aku salah dengar dari kamar. Namun apa daya, saat itu tepat jam 07.45 WIB hujan mulai mengguyur lagi rintik-rintik, semakin lama semakin deras dan lebat. Akupun sempat kebingungan ke kampus bagaimana. Hanya mengandalkan payung saja, tapi resiko sepatu ataupun celanaku basah. Melihat beberapa anak kos berangkat kuliah pagi menggunakan taksi dan beberapa anak juga di jemput teman-temannya menggunakan mobil untuk ke kampus.    

"Duuhh… ke kampus gimana ini?" Gumamku sambil terus melihat ke bawah. Apalagi banjir semalem yang belum surut kini bertambah lagi. Yang sebelumnya hanya di bawah mata kaki, kini sudah lebih tinggi dari mata kaki.    

Akhirnya pagi itu aku memutuskan nekat untuk ke kampus entah bagaimana caranya. Saat baru saja aku keluar dari pintu gerbang, kebetulan juga ada sebuah mobil taksi yang baru saja selesai mengantar orang yang tinggal tepat di daerah gang kos-anku. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung memanggil mobil taksi itu dan berangkat ke kampus meskipun harus merogoh kocek yang bisa aku buat makan siang hari ini. Setibanya di depan gerbang kampus, akupun langsung berlari dengan cepat masuk ke dalam gedung agar tidak terlalu basah terkena hujan. Terlihat banyak anak juga melakukan hal yang sama. Setelah satu jam berlalu, hujan yang sedari tadi turun dengan deras, kini mulai reda, tinggal genangan-genangan air yang membanjiri jalan raya depan kampus sampai ke dalam perumahan-perumahan kos yang masih belum surut. Hari itu aku memutuskan menunggu tiap sesi kelas di dalam kampus sampai jam kuliahku di sore hari selesai.    

Suasana langit di sekitar kampus yang masih terus terlihat mendung, meskipun hujan sudah tidak menitikkan airnya lagi membuatku semakin malas dan mengantuk di sesi kelas sebelumnya. Rasanya saat itu aku ingin sekali pulang ke kos-an, namun aku malas jika di sepanjang jalan masih terendam banjir meskipun sudah mulai surut di bawah mata kaki. Namun untungnya ada Cherryl yang saat itu juga menunggu sesi kelas berikutnya di kampus. Kami memutuskan beristirahat di lobby perpustakaan dimana banyak bangku sofa besar yang dapat di gunakan setiap mahasiswa yang sedang menunggu jam kelas selanjutnya. Di saat aku berjalan dari selasar gedung E.C ke gedung perpustakaan, di saat yang bersamaan aku berpapasan dengan seorang perempuan yang tengah duduk di tengah-tengah gazebo dekat ruang asisten dosen. Perempuan tersebut memiliki rambut panjang dengan warna coklat tergerai hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Kemeja chiffon merah dengan motif polkadot putih tampak mencolok saat melihatnya sekilas. Namun, yang membuatku tertarik pada perempuan tersebut ialah, ia tampak tak membawa apapun saat duduk di sana. Ia hanya duduk diam dengan wajahnya yang terus menunduk ke bawah. Saat aku berjalan tepat di depannya, seluruh kulitnya terlihat begitu sangat pucat seperti hantu. Akupun langssung berjalan lebih cepat menyusul Cherryl yang berjalan mendahuluiku di depan.    

"Eh, Cher! Tunggu!" Teriakku sambil mengejar Cherryl yang sudah berada di depanku beberapa langkah lebih cepat.    

"Eh, Cher, kamu tadi lihat nggak cewek yang duduk di gazebo depan ruang asisten dosen itu?" Ucapku lagi.    

"Cewek? Cewek yang mana Ndra?"    

"Itu lhoo... yang duduk gazebo ruang asdos." Ucapku sambil menunjuk ke arah gazebo. dan Cherryl pun langsung menoleh mengikuti arah tanganku.    

"Mana? Nggak ada orang tuh duduk di sana. Lagian tadi kita lewat sana juga aku nggak ngelihat siapapun." Ucapnya meyakinkanku.    

Aku terdiam sambil beberapa kali menoleh ke belakan dan benar saja, cewek yang mengenakan baju kemeja chiffon merah dengan motif polkadot itu sudah tidak ada lagi di sana. Padahal baru saja beberapa detik yang lalu aku masih melihatnya duduk di gazebo itu sendirian. Bulu kuduku seketika berdiri, membuatku merinding dan tak berani berjalan jauh-jauh lagi dengan Cherryl.    

[Drrrttt-Drrrtttt-Drrttttt~]    

"Ya hallo?" Ucapku saat pertama mengangkat telepon dari Dito yang saat itu kebetulan menghubungiku setelah kuliah selesai.    

["Lagi dimana?"] Ucapnya dengan nada perhatian kepadaku.    

"Ini masih di kampus. Mau pulang. Kenapa?"    

["Ya nggak apa. Tanya aja. Pulang sama siapa?"]    

"Ya sendiri lah... Jalan kaki. Sekalian ini mau beli makan nasi goreng di depan gang kos-an. Kamu lagi dimana?"    

["Ini masih di kantor. Ada meeting sama client, bentar lagi juga mau pulang."]    

Seketika itu juga aku melihat ke arah arlojiku yang saat itu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Tidak biasanya Dito ada meeting dengan client hingga larut malam. Akupun hanya terdiam sesaat mendengarkan dengan seksama di balik suara bising di balik telepon Dito.    

("Kok ada suara cewek dan suara lagu gitu sih? Kaya rame banget gitu lho.") Gumamku dalam hati.    

("Masa di kantor serame ini? Yakin nih anak lagi di kantor?") Gumamku lagi.    

["Nik? Udah dulu ya. Kalau gitu hati-hati di jalan nanti pulangnya, besok sabtu aku mau ke Surabaya."] Ucapnya hendak mengakhiri telepon kami.    

"Ow ya Dit, itu beneran kamu lagi di kantor? Kok aku dengarnya di sana berisik banget ya? Ada suara cewek juga." Ucapku memastikan.    

["Iya kok ini di kantor. Kalau suara rame ini suara anak-anak kantor. Biasa kalau sudah malam gini kan di anggap lembur, mereka selalu muter lagu kencang-kencang biar nggak bosan katanya. Udah dulu ya nik. Ini Clientku sudah datang."]    

"Oh, ya udah kalau gitu. Bye." Ucapku mengakhiri panggilan tersebut dan langsung pulang ke kos-an.    

"Tumben kos-annya sepi banget." Gumamku saat masuk ke dalam ruamh setibanya pulang kuliah.    

Aku langsung masuk ke dalam kamar dan bersiap untuk mandi. Udara dingin menyambut dari celah-celah jendela kamar saat aku baru saja selesai mandi. Terasa dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang.    

"Aahhh… enaknyaa…" Ucapku sambil berbaring di atas tempat tidur setelah mandi.    

"Laper tapi malas ke dapur buat ambil nasi. Tapi ya pengen makan. Hmmm.. nanti aja deh. Lima menit lagi, masih enakin dulu nih punggung." Gumamku sambil terus meliuk-liukkan tubuhku di atas tempat tidur, meregangkan setiap otot yang terasa kaku setelah kuliah seharian.    

10 menit berlalu, aku yang sudah mulai terasa lapar, apalagi aroma masakan sate ayam yang akhirnya aku beli saat perjalan pulang ke kospun seakan sudah memanggilku untuk segera memakannya. Aku beranjak dari tempat tidurku dan langsung memgambil piring yang aku simpan di container box, lalu berjalan menuju ke dapur untuk mengambil nasi. Suasan di dalam kos saat itu sangat sunyi, sepi. Hampir tak ada satu suara anak kos depan yang terdengar. Beberapa kamar di ruang belakang juga terlihat tak ada orang, dengan lampu kamar yang masih padam gelap gulita.    

"Yaaahh… nasinya abis. Mesti minta nasi ke ibuk dulu deh." Ucapku saat melihat tempat penanak nasi yang di taruk di atas meja makan kos belakang kosong melompong.    

[Tok! Tok! Tok!]    

Aku mengetuk pintu penghubung kos-an dengan rumah bu Yati.    

"Iyaaa siapa ya?" Terdengar suara menjawab ketukanku dari belik pintu.    

"Ini Dyandra bu! Mau minta nasi putih. Nasinya abis soalnya." Jawabku.    

"Iya tunggu sebentar. Srriii!! Mbak Andra tolong ambilkan nasi! Sekalian kamu masak nasi buat anak-anak kos!" Balas bu Yati sambil berteriak memerintah mbak Sri.    

Dengan cepat mbak Sri langsung berlari menaiki tangga, membukakan pintu penghubung dan menerima piring yang sudah aku bawa.    

"Nasinya habis bersih toh mbak?" Tanya mbak Sri.    

"Iya mbak. Makanya saya mint nasi di bawah. Hehehehe.."    

"Kamu mau makan apa Ndra?" Tanya bu Yati.    

"Ini mau makan sate ayam bu. Barusan beli di depan gang situ ada sate ayam."    

"Ohh… iya itu sate ayamnya juga enak itu. Bapak kalau pengen sate ya saya belikan di sana." Ucap bu Yati.    

Disaat sedang menunggu nasiku di ambilkan, tercium aroma masakan rumah yang sangat harum dan menggugah selera, yang membuatku semakin merasa lapar saat itu.    

"Waaahhh… ibu masak apa nih? Kok baunya enak…" Celetukku.    

"Halah mosok baunya enak to?"    

"Iya bu. Ini aja saya nyium baunya samoe buat tambah laper bu… hehehehe…"    

"Hahahaha… bisa aja kamu ini Ndra. Ini ibu cuman masak lodeh tewel sama garang asem ayam kesukaannya bapak."    

"Pantesan bu.. kecium aromanya enak banget. Tapi Andra juga sering banget lho bu, pas ke dapur nyium masakan ibu itu harum banget. Hehehehe…"    

"Hahahaha… masa se? Ini ada sayur sedikit sama ayamnya, kamu makan ya." Ucap ibu sambil memberikan sayur lodeh dan ayam garang asem yang sudah terbungkus plastik bersamaan dengan satu piring nasih putih yang masih hangat.    

Namun di saat ibu sedang menyiapkan sayur yang hendak beliau berikan kepadaku, tiba-tiba dari arah depan kos-an terdengar suara perempuan yang memanggilku dengan sangat kencang.    

"Andra! Andraa! Andra!"    

"Ah, sebentar mbak. Saya ada yang manggil, nanti tolong di taruh di meja makan sini aja kalau mbak Sri sudah selesai lebih dulu sebelum saya kembali." Ucapku ke mbak Sri yang hendak memberikan nasi putihku yang baru saja matang.    

aku langsung berlari ke arah ruang tengah kos-an dimana aku mendengar suara perempuan yang memanggil namaku barusan. Namun dari suaranya yang memanggilku, aku sama sekali tidak familiar sama sekali. Aku mencari sumber suara tersebut, melihat dengan baik-baik setiap kamar yang ada di bagian depan, namun tidak ada kamar yang menyala saat itu juga. Aku juga memberanikan diri untuk mengetuksatu persatu kamar kos yang ada di ruang depan, namun saat itu juga nggak ada yang membukakan pintu untukku. Aku mencoba melihat ke depan balkon kos sambil melihat ke bawah, siapa tahu ada teman kuliahku yang hendak menemuiku. Tetapi lagi-lagi nggak ada satu orang pun yang berdiri di depan gerbang kos saat itu. Aku sedikit bingung dengan kondisi tersebut hingga memutuskan untuk duduk di bangku ruang tengah kos-an.    

"Itu tadi siapa ya yang manggil aku? Jelas-jelas tadi suaranya kedengarana banget dan jelas kalau manggil aku lho!" Gumamku.    

"Di depan juga nggak ada orang, teman-temanku juga nggak ada. Tapi kok ada orang yang manggil namaku ya? Suaranya cewek lagi." Gumamku sekali lagi.    

Rasa penasaranku yang tinggi, akan siapa yang baru saja memanggilku pun membuatku untuk memastikan kembali tiap kamar apakah benar nggak ada orang di kamar tersebut. Apa jangan-jangan anak-anak kos sedang mengerjaiku saat itu. Aku mengetuk kembali tiap kamar yang ada di ruang depan hingga kamar ruang tengah, namun benar-benar saat itu setiap kamar tidak ada orang sama sekali di dalamnya. Hampir semua kamar yang memiliki jendela yang menghadap ke dalam rumahpun aku coba buka satu persatu pun terlihat kamar yang gelap gulita dan tidak ada satu orangpun di sana. Aku langsung mengambil makananku yang sudah di taruh mbak Sri diatas meja makan kos belakang dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku mencoba untuk mengabaikan apa yang baru saja terjadi, namun malam itu masih saja terus membuatku penasaran.    

Tepat pukul 20.15 WIB dari dalam kamar aku mendengar beberapa anak kos baru pulang kuliah. Terdengar suara kaki melangkah naik ke tangga masuk ke dalam kos-an. Akupun langsung ke luar kamar melihat siapa yang baru saja pulang saat itu. Terlihat kak Wulan anak kos yang baru saja tinggal di sini satu bulan yang lalu menaiki anak tangga sambil membawa laptop dan tasnya. Terlihat pula dari raut wajah kak wulan yang nampak letih setelah pulang kuliah. Namun aku langsung saja memberanikan diri untuk bertanya ke kak Wulan apa yang abru saja aku alami.    

"Halo kak." Sapaku.    

"Oh, halo Ndra.. Kamu ngapain di situ? Bengong sendirian. Nanti ke sambet lho!" Guraunya sambil membuka pintu kamarnya.    

"Hehehehe... Nggak lahh... Kakak ini baru nyampe kan?"    

"Iya lah. Kenapa emangnya?"    

"Nggak kak. Barusan aja ada yang panggil aku, pas aku sedang minta nasi ke bawah, ke rumah ibu. Tapi pas aku samperin itu nggak ada orangnya. Aku lihat seluruh kamar kos-an juga nggak ada orang pas itu. Aku lihat ke bawah dari atas balkon juga nggak ada orang. Makanya aku duduk di sini, mikir suara siapa yang panggil aku tadi." Terangku.    

"Hayo loooohhh... Sapa ituuuu.. Jangan jangan penunggu di sini lagi. Hehehehe..."    

"Iiihh... Kakak jangan ngada-ngada deh! Dari tadi itu aku sendirian di kosan. Nggak ada orang lagi." Ucapku meyakinkan.    

"Lha terus siapa lagi dong yang panggil kamu? Padahal nggak ada orang di kos-an. Yakin kamu ada yang manggil? Nggak salah dengar?"    

"Nggak kak. Jelas banget malah suaranya itu tadi." Ucapku yang mulai terlihat wajah panik.    

"Sudah-sudah kamu masuk ke kamar sana. Orang di bercandain gitu mukamu langsung pucat. Hahahahaha... Sudah ya, aku mau mandi nih! Gerah." Ucap kak Wulan sambil mengambil handuk yang ia jemur di depan kamar.    

Akupun akhirnya juga ikut ucapan kak Wulan dan langsung masuk ke kamar. Sembari mencoba mengalihkan pikiranku yang masih teringat dengan suara yang tadi memanggilku beberapa kali tersebut, aku mencoba menghubungi Dito malam itu. Namun saat itu panggilanku tidak di terimanya. Hingga beberapa kali aku hubungi pun tidak di angkat olehnya. Akhirnya malam itu aku menyerah mengubungi Dito terus-terusan dan akhirnya memutuskan untuk menonton film di laptop.    

Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, aku yang saat itu sedang asik menonton akhirnya menerima panggilan dari Dito malma itu juga. Kami sempat mengobrol sejenak sebelum aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut karena aku sudah merasa lelah dan mengantuk. Selama kami mengobrol akupun mencoba menceritakan hal yang baru saja aku alami ke Dito, namun lagi-lagi Dito seakan tidak peduli dengan keseharianku di kosan malam itu. Dan dari nada suaranyya ia seakan sedang tidak fokus pada perbincangan kami malam itu.    

"Dit, sudah dulu ya... Aku mau tidur." Ucapku sebelum mengakhiri panggilan malam itu.    

["Tumben kamu jam segini sudah mau tidur? Yakin kamu tidur? Apa mau keluar sama cowok lain?"] Ucap Dityo dengan nada sinis.    

"Iiihh... apa'an sih?! Kamu kok bicaranya kaya gitu? Ya mana ada aku keluar sama cowok lain? Lagian ini sudah malam tahu!" Jawbaku dengan nada mulai kesal.    

["Yakin kamu mau tidur? Nggak keluar sama cowok?"]    

"Sudah deh Dit! Jangan mulai lagi deh! Aku ini benar-benar mengantuk. Kok kamu malah ngajak ribut malam-malam sih! Sudah jarang ketemuan, tapi kamu malah ngajak ribut terus. Mau mu apa coba kalau kamu kaya gini? Kamu mau kita putus? Hah"    

["Siapa yang minta putus? Kamumau kita putus ta? Gitu?"]    

"Ya habisnya kamu selalu aja bikin masalah. Bikin gara-gara, sampai kita berdebat hal yang nggak penting kaya gini. Kamu sebenarnya mau aku kaya gimana lagi?"    

["Ya kamunya ngapain sih pakai acara kuliah segala. Kan sudah aku bilang dari dulu, kamu nggak usah kuliah. Aku tuh nggak suka pacaran hubungan jarak jauh kaya gini tahu nggak! Kalau kamu tetep ngotot mau kuliah ya ini konsekuensinya! Aku bakalan possessif banget sama kamu! Kalau kamu nggak suka ya sudah, putus aja."]    

"Lah kok kamu bilang gitu sih Dit! Aku kuliah kan juga buat kamu Dit! Kalau aku pintar, bisa sekolah tinggi juga harusnya kamu senang dong! Seenggaknya nanti aku dapat ilmu kalau puny anak nanti. Nggak bodoh-bodoh amat. Nambah relasi juga. Apa kamu nggak suka dengan aku yang kaya gitu? Apa kamu nggak bangga?" Ucapku yang mulai kesal dan malas menanggapi ke kanak-kanakan dari Dito malam itu.    

Dito hanya terdiam tak menjawab pertanyaanku malam itu. Ia hanya terus mengulang ucapannya jika ia tak menyukai hubungan jarak jauh denganku. Apalagi Dia dengan terus terang berkata jika ia tak membutuhkan istri yang sekolah tinggi seprti aku. Toh nantinya juga kalau aku bakalan menikah dengannya, aku akan mengurus rumah dan membantu maminya menjaga usaha yang di kelolanya. Hingga akhirnya aku mengakhiri panggilan malam itu dengan terpaksa, karena aku benar-benar sudah mengantuk dan sudah tidak bisa fokus dengan apa yang Dito ucapkan. Hingga pukul 00.00 WIB Dito masih menghubungiku berkali-kali. Namun malam itu ponselku langsung aku matikan dan aku taruh di atas meja belajar sehingga aku tak memikirkan lagi tentang ponselku malam itu dan langsung terlelap tidur hingga ke esokan paginya.    

Hari sudah berganti menjadi hari baru. Saat itu hari Rabu, tepat pukul 06.30 WIB aku baru saja bangun dan menyalakan ponselku. Terlihat di layar ponsel terdapat 50 panggilan tak terjawab dari Dito, sedangkan terdapat 30 pesan masuk, 25 pesan dari Dito dan sisanya dari operator kartu telepon. Aku hanya membaca pesan masuk dari Dito dan tak membalas pesan itu sama sekali pagi itu.    

"Haaahhh... masih aja tuh anak. Sudah lah nggak aku balas dulu. Masa iya, pagi-pagi sudah nggak mood gara-gara Dito terus sih!" Ucapku yang langsung mengambil baju di lemari, mempersiapkan buat kuliah pagi hari ini.    


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.