BOSSY BOSS

Chapter 235 - A Small Talk About Her



Chapter 235 - A Small Talk About Her

0Aulin hanya diam ketika akhirnya Zen mengatakan pertanyaan seperti itu. Ia berdiri dan meraih tasnya. Lalu berdiri di hadapan Zen dengan pandangan yang sulit dibaca.     

Seperti kedatangannya yang tak diduga, Aulin langsung pergi begitu saja dan Zen tidak mencoba untuk mengejarnya. Ia hanya menoleh ke belakang yang mana pintu ruangannya sudah tertutup dan tidak memperlihatkan Aulin lagi.     

Zen langsung duduk di kursinya dan memijat pangkal hidungnya. Mendadak ia pusing dan bingung harus berbuat apa. Hubungannya dengan Aulin saat ini jadi menggantung.      

Secara tidak langsung juga Zen menjadikan hubungannya tanpa arah. Akibat lamarannya sering ditolak oleh Aulin membuatnya kesal dan melampiaskan nafsunya juga ke wanita malam.      

Zen lalu berdiri kembali dan meninggalkan kantor untuk ke rumah Neva. Ia harus melihat keadaan anaknya yang jarang sekali ia temui.      

Sebelum sampai di rumah Neva, Zen membeli sesuatu untuk di rumah Ibunya itu. Seperti makanan dan pakaian untuk Felly, anaknya.     

"Zen … datang kok, nggak bilang-bilang?" Tanya Neva ketika Zen keluar dari mobil dan mendekatinya.      

Di tangan kanan dan kirinya Zen membawa belanjaannya dan ia meletakkannya di kursi teras karena Neva dan Felly memang sedang di teras.     

"Saya kangen Felly, Ma. Biar saya gendong," ujar Zen.     

Setelah membiarkan Zen menggendong Felly, Neva membawa belanjaan Zen masuk ke dalam. Zen mengikutinya sambil menatap Felly yang menggemaskan.     

"Felly sehat kan, Ma?" Tanya Zen.     

"Kalau nggak sehat, Mama udah suruh kamu datang. Bagaimana kabarmu dan Aulin?" Tanya Neva.     

Untuk sejenak Zen terdiam. Neva sudah mengenal Aulin dan begitupun sebaliknya. Tapi Neva belum tahu kalau Zen selalu melamarnya namun selalu juga ditolak.     

"Kami baik-baik saja," jawab Zen berbohong.      

Neva bergumam. Ia tahu seperti apa anaknya jika berbohong. Tapi Neva tidak membahasnya lebih dalam lagi.     

"Kemarin Aulin ke sini sebenarnya, maaf Mama memberitahumu sekarang," timpal Neva memberitahu.     

Zen langsung menatap Neva. "Kemarin? Ada apa?"      

"Tanya apakah kamu di sini atau nggak. Katanya dia ke apartemen dan Tino bilang kamu nggak ada."     

Tanpa melihat mata Neva, Zen menghela nafasnya. Percuma berbohong, batinnya. Ia sibuk menatap Felly dan mengusapnya perlahan.     

"Kalian lagi nggak baik-baik saja, kan?" Tanya Neva lagi.      

Zen mengangguk. Ia akhirnya bercerita pada Neva. Jika Zen mengatakan jujur, Neva tidak akan marah. Sekalipun Zen juga mengatakan bahwa ia sibuk dengan wanita malamnya, Neva tidak masalah selama Zen jujur padanya.      

"Jadi, maumu sekarang bagaimana, Zen?"      

"Yang jelas, sejak ditolak, saya jadi malas mencari pendamping hidup. Menikmati hidup seperti ini saja sudah membuat cukup baik," jawab Zen.     

"Siapa nama wanita malam itu?" Tanya Neva ingin tahu.      

Tidak seperti biasanya Neva bertanya tentang identitas Aini. Semua itu karena Zen memang mengatakan bahwa ia merasakan berbeda saat bersama Aini. Padahal wanita malam lainnya selalu ia pakai sekali dan tidak membuatnya begitu bernafsu.     

"Aini. Ada apa, Ma?"      

"Kenapa kamu nggak mencobanya saja dengan Aini? Barangkali dia cocok untukmu? Tapi jangan terburu-buru, Zen."     

Memikirkan ucapan Neva ada benarnya. Tapi Zen juga jelas sudah sedikit lelah karena harus beradaptasi lagi dan mungkin menceritakan lagi tentang kehidupannya yang dulu.      

"Kalau dia wanita yang baik karakternya, bawa ke Mama," ujar Neva.     

"Ma … jangan membuatku harus melakukannya."     

Neva mengedikkan bahunya dan tersenyum. "Kalau nggak melakukannya, kamu nggak akan tahu hasil akhirnya, Zen."     

***     

"Jason tidur sini ya, Ma? Besok kan hari Minggu, Mama dan Papa bisa jemput Jason," pinta Jason di saat Jeremy datang setelah pulang kerja untuk menjemput anak dan istrinya di rumah mertuanya.     

Daisy menatap Jeremy yang hanya mengangguk padanya. Sementara orang rumah lainnya tidak masalah.     

"Ya, sudah. Tapi Jason jangan nakal, ya?"     

Jason mengangguk dan mencium Daisy juga Jeremy karena mereka akan pulang ke rumahnya sendiri. Lalu setelah berpamitan, Daisy dan Jeremy pun pergi dengan Jordan tertidur di gendongan Daisy.     

"Malam kita jadi lebih banyak, nih," ujar Jeremy menggoda.     

Pipi Daisy bersemu merah di bawa sinar lampu-lampu yang mereka lalui. Ia tersenyum dan membayangkan hal-hal yang terjadi sebentar lagi.     

"Pastikan Jordan nggak bangun, ya," ujar Jeremy.     

"Jer!" Seru Daisy malu.      

Jeremy tertawa dan mengusap-usap kepala Daisy. Lalu ia bertanya pada Daisy apa saja yang sudah terjadi di rumah mertuanya tadi. Daisy tak segan menceritakan bagaimana ia membantu Reina untuk melakukannya bersama Raka.     

"Dan dia mau?" Tanya Jeremy.     

"Semoga saja, ya. Aku sih, udah kasih saran. Kelihatannya hubungan mereka juga datar."     

Jeremy mengangguk sambil tetap konsentrasi pada kemudinya. "Raka sering curhat sama aku tentang hal itu. Katanya Reina sendiri sudah kelelahan. Jadi ya, mereka jarang melakukannya."     

"Pantas saja saat aku mau berbicara sama Reina, Raka kan aku usir, dia langsung minta pertolongan biar Reina mau."     

Jeremy tertawa dan berdecak. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama jika tidak bercinta dengan Daisy. Seperti kemarin, pasca melahirkan butuh waktu agar Daisy sembuh total dan barulah kemarin Jeremy benar-benar hilang kontrol.     

"Omong-omong, aku beli sesuatu untukmu. Ada di belakang barangnya," ujar Jeremy memberitahu.     

Daisy menatapnya dan melihat ke belakang. Ia meraih kantung tas yang sangat elegan dan Daisy menyentuh isinya.     

Dari sentuhannya Daisy sudah hafal. Lalu ia menatap Jeremy dengan cengirannya dan kemudian memilih melihatnya nanti.     

"Nggak dilihat?" Tanya Jeremy.     

"Nanti aja, sekalian aku pakai," jawab Daisy.     

"Memangnya kamu tahu itu apa?" Goda Jeremy.     

Daisy berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena malu membicarakannya.      

Jordan benar-benar tenang dalam gendongan Daisy. Bahkan saat sampai rumah dan ia meletakkan Jordan di ranjang tidurnya, bayi sama sekali tidak bergerak. Daisy bernafas lega dan kemudian memperhatikannya sejenak untuk memastikan anaknya benar-benar tidur dengan tenang tanpa terbangun.      

Ketika Daisy masuk kamarnya, ia mendengar suara air pancuran berbunyi. Jeremy pasti mandi, batinnya. Ini menjadi kesempatan Daisy untuk bersiap-siap dan mengenakan lingerie yang Jeremy belikan.     

Daisy menatap lingerie itu. Sangat seksi dan benar-benar mengundang nafsu. Apa yang Jeremy pikirkan sampai ia membeli lingerie seksi ini? Tanyanya dalam hati.     

Fantasi Jeremy sudah pasti liar. Lingerie berbahan sutra itu benar-benar terawang untuk memperlihatkan tubuhnya yang telanjang. Apalagi g-stringnya yang membentuk bokong Daisy membulat.     

Dengan cepat Daisy bersiap dan menggunakan parfumnya agar semakin menambah nafsu Jeremy. Ia berjanji akan melayani Jeremy selelah apa pun dirinya.      

Daisy berdiri di depan kamar mandi hingga ia mendengar suara pancuran berhenti. Jantungnya berdebar dan ia menjadi tak tahan ingin memuaskan dirinya juga.     

Ketika pintu kamar mandi terbuka. Jeremy terkejut dengan penampakan Daisy. Rambutnya masih basah dengan handuk yang menggantung di pinggangnya.      

Daisy maju perlahan dan mulai menarik handuk Jeremy. Kemudian ia sendirilah yang mulai menggoda Jeremy dan membuatnya bernafsu. Mereka pun bercinta lagi di kegelapan malam dengan liar.      

***     

Zen membuka pintu apartemennya. Ia bernafas lega karena melihat Aini masih di apartemennya hanya mengenakan kemeja Zen yang kebesaran.     

"Ma-maaf, aku nggak punya pakaian untuk ganti selain milikmu," ujar Aini terkejut ketika Zen menatapnya.     

"Ya, bukan masalah. Tolong, ambilkan aku air mineral," pinta Zen yang langsung duduk di sofa tempat Aini sedang menonton televisi.     

Aini kembali dan langsung duduk di pangkuan Zen. Diperlakukan seperti itu membuatnya sedikit terkejut karena ia tidak pernah diperlakukan begini dengan wanitanya. Sekarang, wanita malam yang bukan siapa-siapanya bahkan memanjakannya.     

"Terima kasih," ucap Zen meminum air mineral itu sambil memandang Aini.     

Dua kancing kemeja yang Aini kenakan sudah terbuka dengan sengaja. Bahkan Zen bisa tahu Aini tidak memakai celana dalam dan bra.      

"Apa yang kamu lakukan seharian, Aini?" Tanya Zen lembut.     

"Menonton dan memasak sesuatu yang ada. Apa kamu mau makan?"      

Zen mengangguk. "Tunggu sebentar," ujar Zen sebelum Aini beranjak dari pangkuannya.      

"Apa Bosmu meneleponmu?" Tanya Zen.     

"Nggak. Aku rasa dia senang karena pekerjanya menghasilkan banyak uang."     

"Begitu, ya?"     

Aini mengangguk. Bibirnya ia gigit tanpa sengaja hingga Zen langsung melumatnya. Mengundang birahinya jadi tinggi lalu Zen melepaskannya sejenak.     

"Ambilkan aku makan dulu," perintah Zen.     

Aini mengangguk dengan senyuman. Ia berjalan ke dapur dan Zen berdiri sambil memperhatikannya.      

Tak sekalipun tatapannya memandang ke arah lain selain kepada bokong Aini dan payudaranya yang tercetak jelas di balik kemeja Zen.     

Zen melepas dasinya dan menaruhnya asal. Lalu ia ikut bergabung ke dapur dan memeluk Aini dari belakang yang sibuk menyiapkan sepiring makanan untuk Zen.     

"Kenapa? Kenapa kamu semenggairahkan ini?" Tanya Zen. Mengecup leher Aini hingga wanita itu melenguh perlahan.      

"Zen … biarkan aku mengambilkan makananmu dulu."     

"Taruh piring itu sebentar," ujar Zen.      

Ia langsung melepaskan pelukannya dan mulai menggerakan tubuh Aini untuk menungging. Zen menurunkan celananya dan ia langsung memasukkan ereksinya ke dalam milik Aini yang tidak memakai apa pun.     

Zen mulai bergerak dan menggerutu kesal. "Kenapa kamu memancingku, Aini? Hmm?"      

Aini tersenyum dan sesekali mendesah. "Aku … suka."      

Semakin Aini membalas ucapannya, Zen semakin bergerak cepat. Ia benar-benar merasa gila terhadap Aini yang tak pernah marah, kesal atau bahkan menolaknya dalam satu hari bersamanya.     

"Ah!"      

Keduanya sama-sama berorgasme sampai Zen kemudian melepaskan miliknya. Ia membalikkan tubuh Aini dan mencium bibirnya.     

Aini tersenyum dengan wajah merahnya dan ia memberikan sepiring makanan untuk Zen makan.     

"Apa kamu punya pacar?" Tanya Zen saat ia masih makan.      

Aini duduk di sisinya dan memperhatikannya untuk menemaninya. "Nggak. Siapa pun yang bekerja untuk Bos Mami, nggak diizinkan memiliki pacar agar salah satunya nggak tersakiti."     

"Bagaimana jadinya kalau ada salah satu di antara kalian yang berhenti?" Tanya Zen lagi.     

"Hmm … bukan masalah karena itu pilihan hidup. Beliau selalu memberi pilihan, kalau memang sudah cukup mendapatkan, berhenti pun nggak masalah."     

Zen mengangguk. Ia mengerti bahwa Bosnya Aini adalah sosok yang demokratis. Setidaknya Zen harus tahu itu lebih dulu.     

"Pernah membayangkan memiliki kehidupan bersama duda beranak satu? Mungkin lebih?" Interogasi Zen.     

Dahi Aini berkerut. "Hmm, nggak sih. Tapi memangnya ada yang salah kalau memiliki kehidupan bersama orang yang seperti itu?"     

Zen menggeleng. Ia senang mendengar jawaban Aini. "Bagaimana kalau mereka memiliki masa lalu yang cukup kelam?"     

"Bahkan aku lebih kelam dan hina, Zen. Memangnya manusia itu ada yang sempurna? Bukankah mereka seharusnya saling melengkapi?"     

Lagi dan lagi, Zen merasa tersanjung mendengar jawaban Aini yang berkelas. Ia tersenyum dan menarik tangan Aini untuk ia kecup. Membuat Aini terkejut dan tidak tahu maksud dari Zen.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.