BOSSY BOSS

Chapter 222 - Unexpected Moment



Chapter 222 - Unexpected Moment

0"Sendiri aja?"     

Seorang wanita menghampirinya ketika Zen tengah duduk di bar seorang diri dengan bir di hadapannya. Ia menikmati dentuman musik sekaligus mengingat kembali momen-momennya bersama Lissa.     

Wanita yang menyapanya langsung duduk di depan Zen. Dres yang minim berwarna merah terang, cukup menyilaukan matanya dan rambutnya terurai panjang hitam legam. Tubuhnya langsing dan terlihat terawat.     

"Seperti yang kamu lihat, aku sendiri," balas Zen tanpa mempedulikan wanita itu.     

"Akan aku temani kalau begitu," ujar wanita itu.     

Zen berdecak. Ia sedang tidak tertarik pada wanita mana pun saat ini. Di samping ia merasa lelah dengan beberapa wanita, ia juga baru saja kehilangan istri tercinta.     

"Aku Aulin, siapa namamu?" tanya wanita yang bernama Aulin itu.     

"Zen."     

Tiba-tiba wanita itu berpindah ke sisi Zen. Zen tidak berkutik sama sekali karena ia sudah biasa jika ada wanita malam yang mendekatinya.     

"Apa kamu tahu? Laki-laki terlihat bodoh jika ia selingkuh dari kekasihnya," ujar Aulin.     

Satu alis Zen terangkat naik. Ia tidak tahu apa yang dimaksud wanita itu. Tapi setelah akhirnya mencerna dengan baik, sepertinya Aulin setengah mabuk dikarenakan putus cinta.     

"Sakit lagi?" tanya Zen meresponsnya.     

"Hmm ya. Dia laki-laki yang sangat bodoh! Kuputuskan saja kalau begitu! Dia nggak cocok mendapatkan aku!"     

Zen tidak lagi meresponsnya. Ia membiarkan Aulin berbicara semaunya sampai benar-benar lega. Lagi pula Zen tidak merasa terganggu. Ia hanya akan menikmati bir dan musik di bar.     

"Apa kamu mau tidur denganku?" tawar Aulin membuat Zen menoleh.     

"Tidurlah denganku. Aku ingin melampiaskan semuanya! Kalau dia bisa tidur dengan wanita lain, maka aku juga bisa!" serunya.     

Tidak ada yang bisa Zen katakan kecuali diam. Jika Surga sulit diraih ketika ia niat, selalu ada neraka yang menawari kenikmatan dan membelokkan niatnya.     

"Sial!" rutuknya.     

Aulin menyandarkan kepalanya di bahu Zen. Keadaannya seperti sudah parah, pikir Zen. Ia juga tidak mungkin membiarkan Aulin di bar seorang diri. Bisa jadi hal buruk terjadi padanya.     

Dengan sedikit merasa repot, Zen akhirnya membawanya ke apartemennya. Di sana Aulin ia baringkan di kasurnya sambil menyelimutinya. Sementara Zen memilih tidur di sofa.     

Menjenlang pagi, Zen sudah beranjak bangun. Ia melihat bahwa Aulin belum juga terbangun. Akhirnya Zen membuat sarapan sederhana untuknya dan Aulin setelah itu mandi.     

Ketika Zen selesai mandi, Aulin sudah terbangun. Ia duduk di tepi ranjang Zen dengan pandangan masih setengah nyawa.     

Zen hanya diam, tidak berbicara dan ia sibuk meraih kemejanya. "Sarapan ada di meja. Makanlah," perintahnya.     

"Kamu cowok yang semalam itu, kan? Apa kita bercinta?" tanya Aulin.     

"Ya dan tidak."     

"Kenapa? Kenapa kamu nggak bercinta denganku padahal di luar sana kebanyakan laki-laki memanfaatkan momen seperti itu?"     

Zen bercermin dan menatapnya dari sana. "Karena aku berbeda, jadi tolong jangan samakan apalagi bertanya."     

Aulin berdiri dengan kaki telanjangnya. Ia lalu berkeliling apartemen Zen dan Zen tidak masalah akan itu.     

"Kamu tinggal sendiri di sini?" tanyanya.     

"Hmm, ya."     

Zen sudah menyantap sarapannya lebih dulu dan memilih memperhatikan Aulin yang masih mengenakan dres sama seperti semalam. Lekuk tubuhnya terlihat sempurna dan terlihat seperti masih perawan, pikir Zen.     

Aulin menolehkan kepalanya ke arah Zen. Ia mendekat dan melihat sarapan apa yang Zen buat. "Sepertinya skill memasakmu sangat sederhana," nilai Aulin.     

"Duduk dan makan, atau pergi dari apartemenku sekarang?" tawar Zen dengan nada mencekam.     

Aulin tertawa kecil. Ia memilih duduk di hadapannya dan memakan sarapannya. Dengan lahap dan mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam. Sesekali Aulin mendesah karena merasa masakan sederhana Zen enak untuk dinikmati.     

Tak memungkiri, Zen jadi menegang. Tapi ia berusaha mengontrol dirinya.     

"Sangat … enak!" pujinya.     

"Jadi, jangan seenaknya menilai masakan seseorang dari penampilannya saja. Ok?" kata Zen menceramahinya.     

"Siapa namamu? Aku lupa?"     

"Zen."     

"Apa kamu akan kerja?"     

"Ya."     

Dengan cengiran kuda, Aulin bertanya, "Kamu keberatan nggak antar aku pulang ke rumah?"     

Zen lalu menatap arlojinya kemudian kembali menatap Aulin. "Lima belas menit kamu nggak selesai mandi dan bersiap, aku tinggal kerja."     

Setelah mendengar syarat Zen dengan suara mengancam itu, Aulin langsung menuju kamar mandi tanpa membalas ucapan Zen.     

Zen tersenyum kecil. Kali ini ia tidak akan mudah jatuh kepada wanita lain.     

Kurang dari lima belas menit, Aulin keluar dengan menggunakan pakaian yang sama. Rambutnya setengah basah dan ia muncul di hadapan Zen lengkap dengan tas dan sepatu heelsnya.     

"Ayo!" ajaknya.     

"Kamu nggak mengeringkan rambutmu dulu?" tanya Zen.     

"There is no time. Aku bisa mengeringkannya di jalan. Jadi, ayo!"     

Zen berdiri dan berjalan ke arah nakas ruang tamu. Dibukanya laci itu dan ia mengeluarkan pengering rambut milik Daisy dulu.     

"Pakai dan keringkan rambutmu," perintahnya seraya memberikan benda itu.     

Dengan wajah melongo dan bingung mendengar dan melihat Zen, Aulin menerima pengering rambut itu. Ia lalu mulai menyalakan benda itu dan memakainya.     

Zen menunggu sambil memperhatikan Aulin yang sibuk mengeringkan rambutnya di depan cermin.     

Wangi harum shampoo juga sabun milik Zen yang dipakai Aulin membuatnya berbeda ketika menciumnya.     

"Terima kasih. Sekarang aku sudah siap," ujar Aulin menaruh benda itu.     

Kali ini ada yang berbeda lagi setelah Zen cukup sadar. Aulin mengikat rambutnya menjadi satu ikatan yang sedikit tak rapi.     

Demi menghilangkan pikiran-pikiran liarnya, akhirnya Zen meraih kunci mobilnya dan segera membuka pintu apartemen. Ia menyuruh Aulin keluar lebih dulu.     

Aulin mengikutinya dari samping dan menyamakan langkahnya dengan Zen.     

Tidak tahu kenapa, Zen sedikit merasa kesal dengan wanita yang sangat usil seperti Aulin.     

"Jadi, kekasihmu sungguhan selingkuh?" Tanya Zen ketika mereka sudah di mobil.     

"Dari mana kamu … tahu?" Tanya Aulin terkejut.     

"Saat kesadaran seseorang hilang, biasanya mereka mengatakan hal-hal yang jujur," sindir Zen.     

"Maksud kamu, semalam aku mengatakan hal itu?"     

Zen hanya menggerakan postur 'ya' dan 'tidak'-nya pada Aulin. "Dan itulah kenapa kamu menyuruhku bercinta denganmu, tapi aku memilih menolak."     

Wajah Aulin terlihat memerah. Ia langsung melempar jauh pandangannya ke arah luar jendela. Lalu beberapa menit lamanya berjalan, Aulin sampai di rumahnya.     

Aulin lalu menatap Zen sebelum ia turun. "Dari mana kamu tahu rumahku?" Tanyanya.     

Zen mengedikkan bahunya. "Kamu terlalu lama memberikan alamatmu, jadi aku mencoba cari tahu sendiri."     

"Dari mana? Ah, apa kamu penguntit? Pakaianmu terlihat seperti penguntit!" Jerit Aulin berlebihan.     

Zen langsung mencengkram tangannya dan memandangnya lekat-lekat. "Turun atau aku culik kamu?" Ancamnya.     

"Thank's!" Ucap Aulin kesal. Ia lalu turun dari mobil, namun belum sepenuhnya turun, tiba-tiba di halaman rumahnya ada mobil kekasihnya, lebih tepatnya mantan kekasih, baginya.     

Aulin masuk kembali ke dalam mobil dan menutupnya. "Ayo! Kita sebaiknya pergi dari sini!" Perintahnya pada Zen.     

Zen menoleh ke arah rumah Aulin. Tanpa banyak tanya ia pun lekas pergi dari rumah itu. Hingga setelah setengah perjalanan, Aulin bernafas lega.     

"Aduh, maafkan aku. Sepertinya aku merepotkanmu banget!" Ucap Aulin merasa bersalah.     

"Memang merepotkan," balas Zen datar.     

Wajah Aulin mencebik. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.     

"Halo, Kak! Kakak di mana? Aku bisa ke rumah Kakak?" Tanyanya pada seseorang.     

"..."     

"Oh, ya udah! Aku ke sana ya, kak? Soalnya aku males ke rumah! Nanti aku ceritakan. Aku juga lama nggak ketemu Kakak."     

"..."     

"Ini sama kenalanku. Iya. Kakak mau dibawakan apa? Lagi ngidam apa maksudku?"     

"..."     

"Sip. Ok, kak! See you!"     

Aulin mematikan panggilannya dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Ia lalu meminta maaf pada Zen lagi karena ingin merepotkannya lagi.     

"Berhenti di toko roti itu sebentar, ya. Aku mau beli oleh-oleh buat Kakakku," ujarnya pada Zen.     

Zen benar-benar pasrah. Tidak tahu kenapa ia masih mau saja direpotkan oleh wanita yang baru saja ia kenal dalam semalam.     

Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, Aulin kembali ke mobil dengan membawa banyak kantong plastik.     

"Kakakmu lagi hamil?" Tanya Zen basa-basi.     

"Iya. Oh, sebenarnya bukan Kakak kandung, sih. Sejak SMA kami saling kenal. Dia dua tahun lebih tua dariku. Anak tunggal dan nggak punya adik, karena kami dekat, akhirnya kami memutuskan sebagai saudara."     

Zen tidak lagi bertanya. Ia hanya mendengar cerita Aulin yang sangat terbuka itu.     

"Berapa lama nggak ketemu?"     

Aulin tertawa. Ia sebenarnya benci mendengar pertanyaan itu karena memang ia sudah lama sekali tidak bertemu dengan Kakaknya.     

"Jangan ditanya. Tentu sudah bertahun-tahun. Kami hanya sering melakukan video panggilan saja. Maksudku, komunikasi lewat pesan atau telepon tapi tidak selalu, sih. Terkesan jarang. Kakak juga nggak terlalu terbuka.. Yah, sebenarnya aku baru pulang dari luar negeri, jadi yah lepas SMA, aku langsung keluar negeri buat melanjutkan sekolah," jelas Aulin.     

Zen memandangnya skeptis. Ia tidak terlihat seperti habis dari luar negeri, pikirnya. Tapi masa bodoh, yang jelas habis ini ia akan selesai direpotkan oleh wanita asing itu.     

"Jauh juga rumah Kakak," ucap Aulin.     

"Tapi ini sudah mau sampai."     

"Hmm begitu? Setelah ini apa kita bisa saling komunikasi.     

Zen tidak menjawab langsung. Ia masih memikirkan tawaran itu. Tidak ada alasan untuknya berkomunikasi dengan Aulin. Cukup sampai sini, pikirnya.     

"Ada apa? Apa kamu merasa tertarik dengan aku?" Tanya Zen percaya diri.     

Aulin berdecak. "Jangan terlalu percaya diri kamu!"     

"Aku selalu percaya diri. Matamu menunjukkan rasa ketertarikanmu padaku."     

"Aku baru putus cinta! Siapa juga yang secepat itu merasakan tertarik? Konyol."     

"Jangan salah, Nona Muda. Bisa jadi memang itulah obatmu. Jatuh cinta untuk obat sakit hati."     

"Cih! Dasar sok tua!" Ejek Aulin.     

Mobil langsung berhenti tepat di rumah yang di maksud. Rumah megah dengan gaya klasik, batin Zen.     

"Sampai," katanya pada Aulin.     

"Ayo, turun! Aku harus kenalkan kamu sama Kakakku. Dia baik!"     

"Nggak. Aku akan langsung saja."     

"Turun atau aku nggak turun!" Sekarang Aulin mengancamnya.     

Zen menghembuskan nafasnya. Ia akhirnya turun dan ikut masuk ke dalam.     

Saat bel rumah itu berdenting, tak lama pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita sedang hamil.     

Zen terkesiap. Begitupun wanita itu. Mereka sama-sama membatu dan tak berbicara dalam beberapa saat.     

"Hai, Kak! Kangen, deh!" Teriak Aulin memeluknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.