BOSSY BOSS

Chapter 210 - Hopefully We Meet Again



Chapter 210 - Hopefully We Meet Again

0Sudah seminggu Lissa tanpa Zen. Ia bahkan masih enggan mendatangi Zen lebih dulu walau amarah dalam dirinya sudah musnah. Ia hanya masih tidak bisa melupakan apa yang sudah Zen lakukan di belakangnya.     

Tapi Lissa tidak bisa memungkiri bahwa ia merindukan Zen.     

Antara ingin bercerai atau tetap bertahan. Lissa sama sekali tidak tahu pilihan apa yang harus ia ambil.     

Ia bukan wanita yang menginginkan uang. Ia hanya ingin disayang dan dihargai. Tapi setelah mengetahui semua kejujuran Zen belakangan ini, ia merasa Zen sama sekali tidak menghargainya.     

Hatinya merasa rapuh dan rusak. Tubuhnya semakin melemas setiap ia mengingat kembali hal-hal yang terjadi pada Zen dan Daisy.     

Suaminya bercinta kembali dengan mantan istrinya.     

Bukan masalah bagi Lissa jika Zen hanya bertemu. Tapi melakukan seks? Ia tidak habis pikir ke mana akal sehat mereka pergi.     

Sambil meratapi kesedihan, Lissa membuat es kopi dan duduk di balkon memandang kota yang bercahaya dengan gemerlap-gemerlap.     

Kemudian ia mendengar apartemennya berbunyi. Lissa membuka pintu dan ia hanya diam kaku menatap suaminya berdiri di sana.     

"Jangan minum kopi," larang Zen dengan suara dingin.     

"Kenapa? Aku lagi pengen."     

"Jangan."     

Zen langsung masuk tidak peduli betapa Lissa tidak menyukai hal itu. Ia langsung meraih es kopi Lissa dan membuangnya di wastafel dapur.     

"Zen!" Seru Lissa kesal. "Jangan!"     

Namun percuma, ia sudah membuangnya hingga menyisakan gelas itu kosong.     

Zen lalu menatap Lissa dengan pandangan dinginnya. Ia terpaksa menampilkan sisi gelapnya pada Lissa.     

"Kalau kamu nggak patuh terhadapku, nggak peduli sebenci apapun kamu, aku akan kembali ke sini," ancam Zen.     

Ia lalu keluar dari apartemen dan kembali menuju apartemennya yang berada di lantai bawah.     

***     

Suara ramai Lily dan Jason membuat Daisy senang mendengarnya saat ia sedang bekerja di kamarnya. Membayangkan dua anak itu tumbuh bersama, membuatnya membayangkan betapa indahnya relasi keluarga itu.     

Daisy sudah memberitahu Jeremy agar ia menjemputnya di rumah orang tuanya. Jeremy juga bertanya kenapa belum waktunya pulang kerja sudah berada di rumah. Daisy hanya memberi alasan-alasan yang dirasanya masuk akal.     

Suara Raka mengetuk pintu kamar Daisy membuat Daisy harus membukanya dan menghentikan pekerjaannya sebentar.     

"Bisa kita bicara?" Tanya Raka.     

Wajah Daisy mendadak ikut serius ketika melihat Raka menunjukkan wajah seriusnya. Ia lalu menutup pintu kamarnya dan mengikuti Raka.     

Tentu saja tempat yang nyaman untuk bicara adalah kolam renang.     

"Jeremy tahu," ucap Raka.     

"Hah? Apa, Raka?"     

"Jeremy tahu apa yang kamu lakukan bersama Zen sejak dia pergi untuk seminar."     

Seperti disambar petir, Daisy membatu. Pandangannya ke arah kolam renang yang bergerak-gerak. Jantungnya seakan lepas dari tempatnya.     

"Seharusnya kamu tahu itu, Daisy. Jeremy diatas Zen. Dia lebih tahu segala hal dari pada Zen," jelas Raka sekali lagi.     

Daisy menjatuhkan air matanya. Pikiran dan hatinya mendadak jadi sinkron. Kesalahan yang ia pikir tidak akan Jeremy ketahui, nyatanya sudah diketahui Jeremy lebih dulu.     

"Diam! Jangan ikut campur," desis Daisy.     

"Daisy. Aku hanya ingin memberitahu. Apa salah?"     

"Stop! Aku nggak mau mendengar apapun dari mulutmu, Raka!"     

Daisy langsung pergi meninggalkan Raka dan kembali ke kamarnya. Ia mengunci dirinya di sana dan menangis sejadi mungkin. Menangis tanpa bersuara adalah bagian yang paling menyakitkan.     

Kedua tangannya memegang rambut kepalanya karena merasa terhina. Ternyata ia bodoh mengira Jeremy tidak tahu apapun yang terjadi di belakangnya.     

***     

Hanya keheningan yang terjadi saat perjalanan pulang berlangsung. Daisy sama sekali tidak bersuara sejak ia masuk ke dalam mobil untuk pulang bersama Jeremy.     

Jeremy sudah yakin ada sesuatu yang berbeda darinya sejak melihat pandangan kosong Daisy, tapi ia tidak berani untuk menanyakannya.     

"Aku lelah, aku tidur langsung, ya," ucap Daisy yang langsung berbaring tanpa membersihkan dirinya.     

"Ok. Selamat istirahat, Sayang."     

Jeremy mengecup keningnya dan Daisy tidak menghindar. Ia langsung memejamkan matanya dan tertidur.     

Jeremy menatap Daisy yang sudah terlelap dan menghembuskan nafasnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Daisy seharian ini.     

Jeremy akhirnya menelepon Raka untuk bertanya sesuatu padanya.     

"Apa yang terjadi pada Daisy, Raka?" Tanya Jeremy ingin tahu.     

"Gue kasih tahu dia kalau lo tahu apa yang terjadi dengan dia dan Zen," jawab Raka.     

Rahang Jeremy mengeras dan ia mendesis. "Sial! Raka! Kenapa lo bilang dia?"     

"Biar dia tahu kalau lo itu nggak bodoh. Bahkan lo lebih dari Zen!"     

"Raka, kenapa gue nggak menegurnya, karena gue nggak mau bertengkar. Sekarang … sial! Ok, bukan masalah. Akan gue selesaikan sendiri," jelas Jeremy.     

Jeremy menutup panggilannya dan mondar-mandir di dapur. Ia mengatur strategi untuk menyiapkan pembicaraan pada Daisy. Ia tidak bisa membiarkan Daisy merasa sangat bersalah padanya, walau memang Daisy bersalah. Jeremy tidak ingin Daisy kepikiran akan itu.     

Ia pun lalu menyusul Daisy untuk tidur walau pikirannya diisi dengan cara membuat Daisy tersenyum.     

Paginya Daisy membuka mata. Ia merasakan pelukan seseorang yang ternyata suaminya. Jeremy memeluknya dari belakang dan Daisy tidak bisa bergerak.     

Namun Daisy berusaha secara perlahan hingga Jeremy bergerak.     

"Morning, istriku," sapa Jeremy.     

"Maaf, membangunkanmu," ujar Daisy.     

Jeremy mengecup-kecup punggung Daisy dengan mata masih terpejam.     

"Ayo, kita keluar dan cari sarapan," ajak Jeremy.     

"Iya, terus bagaimana aku keluar dari ranjang kalau kamu terus memelukku, Jer?"     

Jeremy terkekeh. Ia akhirnya membiarkan Daisy beranjak dan menuju kamar mandi.     

Dengan ide yang muncul, sedikit liar dan nakal, Jeremy ikut menyusul Daisy ke kamar mandi. Ia sudah telanjang dan melihat Daisy sudah dibasahi oleh pancuran air hangat.     

Perlahan Jeremy mendekat dan membloking pergerakan Daisy. Ia bercinta dengannya dengan menggendong Daisy yang melingkarkan kakinya di pinggang Jeremy.     

Dengan cepat dan sangat kasar, Jeremy membuat Daisy merasa puas di sana. Disambut dengan teriakan Daisy, keduanya pun keluar bersamaan.     

Daisy lebih dulu selesai dan ia mencari pakaian santai untuk ia pakai. Dengan dress yang simpel, ia mengenakannya dan memakai riasan tipis dengan wewangian kesukaan Jeremy.     

Tak lama Jeremy keluar dengan handuk tergantung di pinggangnya. Rambutnya yang setengah basah dengan bentuk tubuh yang proporsional, membuatnya terlihat lebih tampan.     

Jeremy sudah melihat pakaiannya sudah siap di atas ranjang. Ia tahu Daisy yang menyiapkannya.     

"Sudah siap?" Tanya Jeremy.     

"Iya. Udah."     

"Yuk!"     

Daisy pun keluar lebih dulu dan Jeremy menyusulnya. Mereka lalu pergi meninggalkan rumah dan mulai mencari sarapan.     

"Mau apa, Sayang?" Tanya Jeremy.     

"Apa yang kamu mau, aku makan, Jer."     

"Soto ayam kampung, mau?"     

Daisy mengangguk. "Itu enak. Ada gorengannya, dengan sambal yang banyak disertai kecap. Ada sate telur puyuhnya juga. Apa kamu tahu tempat itu?"     

Jeremy mengangguk dengan senyumannya. "Aku sangat tahu, Sayang."     

***     

Jeremy menghentikan mobilnya di depan restoran. Ia mengecup Daisy dan berpamitan untuk turun. Sekarang Daisy akan antar jemput Jeremy jadi Daisy tidak akan terlalu kesepian nantinya karena Jeremy memintanya untuk menjemput sebelum jam lima sore.     

Sebelum ia kembali ke rumah, Daisy berencana membeli beberapa cemilan maupun makanan cepat saji.     

Hanya butuh waktu cepat untuk sampai di supermarket sampai ia menabrak seseorang tanpa ia melihatnya.     

"Maaf, saya buru-buru," ujar Daisy tanpa melihat siapa yang ditabraknya.     

Namun apa daya ketika Daisy akan melangkah, orang yang ia tabrak mencekal tangannya.     

"Zen?" Suara kejut Daisy membuatnya tak percaya siapa yang ia temui.     

"Akhirnya kita bertemu," ucap Zen.     

Daisy menatap ke kanan dan kirinya. Ia takut jika ada yang memata-matainya.     

"Nggak ada siapapun yang melihat kita. Ayo, ke restoran itu," ajak Zen menggandeng tangannya.     

Daisy langsung mengikuti tarikan tangan Zen dan mereka masuk ke restoran yang dimaksud Zen.     

"Bagaimana kamu tahu nggak ada yang melihat kita? Zen, kamu nggak tahu seberapa hebat Jeremy!"     

"Dan itu alasanmu menjauhiku?" Tanya Zen menaikkan satu alisnya.     

Daisy menghela nafas. Ia mengalah dan percaya kali ini tidak ada yang memata-matainya.     

Ia juga menggeleng sebagai jawaban untuk Zen. "Bukan. Aku nggak mau hubungan kita terlalu jauh. Kita sama-sama punya kehidupan, Zen."     

Zen menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap Daisy dengan pandangan menyelidik yang berubah menjadi melembut.     

"Jadi kamu mau menghindariku?" Tanya Zen.     

"Ya. Biarlah kita bertemu seperti sekarang ini. Jangan membuat perjanjian atau apa pun. Aku nggak bisa mengkhianati suamiku. Aku mencintainya, Zen!"     

Mendengar Daisy mengatakan bagaimana ia mencintai Jeremy membuatnya patah hati.     

"Sangat mencintainya?"     

"Sangat," balas Daisy.     

"Ok. Kalau itu maumu."     

"Dan fokuslah pada Lissa. Kamu harus menghargai Lissa sebagai istrimu. Apalagi dia mengandung anakmu, kan," nasihat Daisy.     

Zen hanya diam. Bahunya melorot dan Daisy bisa melihat sesuatu sedang terjadi pada Zen.     

"Ada apa? Ceritalah mumpung aku ada waktu," ujar Daisy ingin tahu. Ia akan memakai waktunya untuk Zen di saat seperti ini.     

"Lissa … dia nggak mau seapartemen sama aku. Jadi aku tinggal di apartemen lantai bawah," kata Zen memberitahu.     

Daisy membulatkan bibirnya. Ia mengingat kejadian Lissa datang dengan wajah yang benar-benar tidak menyukainya. Sepertinya mereka sudah berpisah ranjang sejak itu, batin Daisy.     

"Dan kamu mengalah?" Tanya Daisy.     

"Ya. Aku sudah memberinya ancaman jika dia melakukan hal yang nggak menyelamatkan bayinya, aku akan kembali ke apartemen."     

Daisy menaikkan satu alisnya. "Memangnya dia melakukan apa?"     

"Minum kopi. Apalagi kopi yang yang ia minum memiliki kafein yang lebih tinggi," ucapnya.     

Daisy mengangguk paham. Tapi ia juga tidak tahu apakah itu karena Lissa ingin membunuh janinnya atau hanya keinginannya sama seperti yang Daisy lakukan dulu.     

"Jangan terlalu keras padanya, Zen. Mungkin saat itu dia lagi pengen," ucap Daisy.     

"Aku nggak mau kehilangan lagi, Daisy. Aku sudah kehilangan Kanya dan kamu. Aku nggak mau terjadi lagi pada Lissa," kata Zen.     

Daisy paham bagaimana perasaan Zen. Ia hanya diam untuk memberi respons padanya sampai ia melihat arlojinya.     

"Aku harus pergi," kata Daisy seraya berdiri. Ia bahkan belum membeli keperluannya.     

"Sekarang?" Tanya Zen.     

"Iya. Maaf ya. Next time semoga waktu mempertemukan kita lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.