BOSSY BOSS

Chapter 208 - There is No Day Without Making Love



Chapter 208 - There is No Day Without Making Love

0"Apa? Kamu dan Daisy … "     

Lissa tidak sanggup melanjutkan kalimatnya ketika ia mendengar sendiri tentang pengakuan Zen. Hal-hal yang Zen lakukan di belakangnya akhir-akhir ini.     

"Maafkan aku. Aku harus mengakuinya padamu karena aku merasa bersalah jika aku nggak mengakuinya," kata Zen lagi.     

Lissa hanya diam dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Kedua tangannya hanya diam di sisinya. Melihat Zen saja ia tidak mau.     

"Kenapa? Kenapa kalian melakukan itu? Di belakangku? Bahkan Daisy … apa dia nggak merasa bersalah terhadap suaminya?"     

Mendengar nama Daisy disebutkan membuat tangan Zen mengepal. Ia sebenarnya tidak suka jika Lissa membawa nama Daisy dengan cara seperti itu. Sebab ini adalah pengakuannya dan baginya, tidak seharusnya Daisy dibawa-bawa.     

"Ini tentang kita, tentang pengakuanku, Lissa. Jangan bawa-bawa nama Daisy. Aku yakin dia juga menyelesaikannya dengan suaminya," balas Zen.     

Lissa langsung berbalik dan menampar Zen. Wajahnya penuh emosi disertai air mata yang menyakitkan hatinya.     

"Pergi dari apartemen ini. Aku mau sendiri di sini tanpa kamu," usir Lissa.     

Zen tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perkataan Lissa. Bukan masalah jika ia sampai diusir oleh istrinya sendiri dari apartemen miliknya. Selama Lissa membutuhkan waktu, ia akan memberikan waktu yang ada pada Lissa.     

"Aku akan ada di lantai bawah kalau kamu sudah mau berbicara denganku," ujar Zen lalu keluar dari apartemennya.     

Zen langsung memesan kamar apartemen di lantai bawah dan langsung bisa memasukinya ketika ia sudah di resepsionis untuk mengambil kunci.     

Untungnya di apartemen yang Lissa tinggali sekarang Zen sudah memasang CCTV untuk memantau Lissa jika sesuatu terjadi padanya. CCTV itu hanya bisa ia akses sendiri tanpa anak buahnya tahu. Sebab Zen memang kerap kali melakukan aktivitas pribadinya dengan Lissa atau Daisy di sana. Jadi ia tidak mau siapa pun melihatnya atau mengetahuinya.     

Memandang Lissa dari CCTV yang tersambung di laptopnya membuktikan bahwa sejauh ini Lissa belum melakukan hal-hal aneh. Ia hanya tiduran dan menangis. Lalu terkadang Lissa beranjak hanya untuk makan.     

Zen sebenarnya tidak ingin meninggalkan Lissa dalam keadaan hamil seperti itu seorang diri. Ia bisa saja kembali ke masa di mana ia seperti dulu lagi. Tapi ia tidak mau. Dekat dengan Daisy lagi dengan perubahannya yang cukup baik saja Zen sudah senang. Tidak masalah tidak bisa memilikinya, setidaknya ia bisa bersama Daisy walau hanya beberapa waktu.     

"Dit, di mana?" tanya Zen pada Dito melalui panggilan.     

"Di kantor. Ada apa?"     

"Gue ke sana bisa?"     

"Datang aja, Zen. Gue yakin lo lagi ada masalah ya sama Lissa?"     

Zen hanya bergumam dan mematikan panggilannya dengan semena-mena.     

Di kantor, Dito rupanya sudah menyiapkan dua buah kopi dengan camilannya. Ia sengaja menyiapkan khusus untuk Zen yang katanya tidak minum alkohol lagi. Tapi Dito juga selalu menyediakan bir di lemari esnya untuk berjaga-jaga jika seseorang atau bahkan Zen, ingin meminumnya.     

Namun akhirnya Zen memilih mengambil bir di lemari es milik Dito. Ia meneguknya setengah dan menunjukkan wajah frustasinya.     

"Kenapa lo? Nggak jauh-jauh dari cinta pasti?" tanya Dito.     

Zen yang tidak suka bertele-tele akhirnya menceritakan semuanya pada Dito. Tidak ia tutupi juga bagian di mana ia dan Daisy sudah beberapa kali bercinta secara diam-diam. Zen sendiri tidak tahu apakah Daisy mengakui hal itu pada Jeremy atau menyimpannya diam-diam. Ia tidak ingin tahu sebenarnya. Selama tidak ada keluhan dari Daisy, maka Zen menganggap bahwa hubungan Daisy dan Jeremy baik-baik saja.     

"Gila lo! Lo serius laki-laki berkelas banget kalau udah soal wanita! Gue ngejar satu saja nggak dapat-dapat, Zen."     

Zen menaikkan satu alisnya. "Jadi lo ada wanita yang lagi lo kejar? Siapa?"     

"Ada. Anak orang biasa, sih. Terlalu lugu dan polos, tapi gue suka."     

"Siapa?" desak Zen ingin tahu.     

"Namanya Della. Biar pun orang biasa, tapi dia punya toko sendiri, sih. Gue suka banget sama dia, Zen. Ayo, ajarkan gue jurus yang bisa memikat wanita!"     

Zen terkekeh mendengar bagaimana Dito begitu semangat menceritakan calon kekasihnya itu. Padahal ia datang untuk curhat, tapi juga ia merasa lega karena sebagian sudah ia ceritakan dan sebagai pemberian Dito secara tidak langsung, Dito menghiburnya dengan ceritanya.     

"Satu … ajak dia bercinta. Rayu dia sampai dia mau bercinta," saran Zen pada Dito dengan tawa khasnya.     

"Sialan lo! Gue malah ngerusak anak orang, dong? Memangnya semua harus pakai seks? Nggak, kan?"     

Zen menatap Dito heran. "Oh, jadi lo nggak mau mengeluarkan jurus seks lo sama dia? Kalau begitu, datangi dia setiap hari. Bawa sesuatu, entah makanan atau barang untuk dia." Kali ini Zen memberi saran dengan sungguh-sungguh tapi ia juga tidak terlalu paham pada bagian sarannya ini.     

Dito mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Sayangnya gue cukup sibuk buat melakukan hal kayak gitu, Zen. Lewat pesan atau telepon juga anaknya minim bicara. Kalau ketemu langsung sih, cukup cerewet."     

"Semua itu kan tergantung prioritas, Dit. Kalau lo memang suka banget, lo bakalan membuat dia jadi yang pertama," tutur Zen.     

***     

Sekitar lima belas menit Lissa di hadapan Daisy tanpa bicara sepatah kata. Daisy yang selalu bertanya dan tak ada jawaban pun terpaksa harus melanjutkan desainan kliennya. Ia juga tidak tega mengusir Lissa karena sebenarnya ia juga penasaran dengan apa yang akan Lissa katakan.     

Berkali-kali helaan nafas Daisy terdengar di telinga Lissa. Walau begitu, Lissa tetap tak juga bicara. Ia hanya memandang Daisy dengan pandangan yang menyedihkan. Entah itu karena Daisy yang menyedihkan atau memang Lissa sedang bersedih.     

"Kamu mau bicara apa sebenarnya, Liss?" tanya Daisy lembut. Ia sampai selesai menyelesaikan desainan klien terakhirnya dan menutup laptopnya.     

Tetap, Lissa tak berbicara apa pun. Sekarang, Lissa malah menangis dan Daisy cukup bingung. Daisy akhirnya mengulurkan kotak tisunya pada Lissa yang diterimanya.     

"Ba-bagaimana kamu tega?" tanya Lissa dengan tersedu-sedu.     

Daisy menelengkan kepalanya tak mengerti apa yang Lissa katakan padanya. "Tega? Apa maksudmu, Lissa?"     

"Kamu dan Zen … kalian," Lissa mulai menangis lagi dan tak ingin melanjutkan ucapannya itu.     

Saat itu barulah Daisy sadar akan apa yang terjadi pada Lissa. Sepertinya Zen mengakuinya atau mungkin Lissa tahu sendiri, Daisy tidak tahu.     

Daisy menghela nafasnya dan menatap Lissa.     

"Apa yang kamu harapkan dari aku Lissa dengan kamu datang ke sini?" tanya Daisy.     

"Jangan dekati Zen atau datang padanya saat ia memintamu datang. Aku mohon," pinta Lissa.     

Daisy mengangguk paham. "Aku memang sedang menghindarinya. Aku juga nggak ingin intensitas hubungan kami jadi dekat. Walau di antara kami nggak ada hubungan khusus. Jadi, tanpa kamu suruh pun aku sedang melakukannya."     

"Benarkah itu?"     

"Ya."     

"Bagaimana kalau kamu nggak bisa menghindarinya?" tanya Lissa tak bisa mempercayainya.     

"Aku bisa menghindarinya seperti yang sudah pernah terjadi," jawab Daisy mantap.     

***     

Setelah kepergian Lissa, kepala Daisy berdenyut. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar bisa menghindari Zen saat ini atau tidak. Walau Zen sudah terlalu sering menyakitinya di saat dulu, bukan berarti tidak ada maaf untuknya.     

Daisy memang berjanji pada dirinya sendiri tentang keinginannya menghindar dari Zen. Tapi ia sudah menjanjikannya pada Lissa.     

Haruskah aku membicarakan tentang kedatangan Lissa pada Zen? Batin Daisy.     

Buru-buru Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya dan meraih tasnya. Ia kemudian menuju restoran Jeremy karena rupanya Daisy butuh pelepasan di tempat yang menurutnya ekstrim.     

Sebelum ke restoran, Daisy singgah di toko dalaman wanita untuk membeli satu lingeri yang seksi. Ia harus tampil seseksi mungkin di hadapan suaminya karena Daisy senang membuat Jeremy begitu liar untuk menguasai tubuhnya.     

"Hai, Sayang!" sapa Daisy langsung masuk ke ruangan Jeremy.     

Jeremy sedikit terkejut dengan kedatangan Daisy yang tiba-tiba. Ia sedang konsentrasi pada laptopnya.     

"Kamu ke sini? Kenapa nggak langsung pulang, Sayang?" tanya Jeremy seraya membenarkan posisinya karena Daisy duduk di pangkuannya.     

"Aku mau di sini sama kamu dan makan makanan di sini," jawab Daisy memberi alasan.     

Jeremy tersenyum padanya. "Ok. Tapi tunggu sebentar, ya. Aku harus menyelesaikan satu kerjaan dulu."     

Daisy mengangguk dan menciumnya. Ia lalu turun dari pangkuan Jeremy dan membiarkan suaminya berkonsentrasi dulu pada kerjaannya.     

Ketika satu ide muncul, Daisy langsung mengunci pintu ruangan Jeremy secara perlahan. Ia sangat yakin karena Jeremy seorang yang begitu serius dalam hal bekerja jika tidak dikejutkan seperti tadi.     

Setelah itu Daisy menuju kamar mandi yang tersedia di ruangan Jeremy. Ia langsung mengganti pakaiannya dengan lingerie yang sudah ia beli tadi. Kemudian ia juga memakai parfum yang mengundang birahi suaminya naik.     

Saat Daisy mengintip sebentar ke arah meja Jeremy, rupanya Jeremy sudah selesai karena ia sudah mematikan laptopnya.'     

Daisy langsung melakukan aksinya. Ia keluar dari kamar mandi dan memeluk Jeremy dari belakang. Jeremy menegang karena ia mencium wangi tubuh Daisy yang Jeremy tahu di saat seperti apa Daisy akan memakainya.     

Daisy pun mencium tengkuk leher Jeremy dan sesekali menggigit telinga Jeremy dengan perlahan. Jeremy langsung berdiri dan berbalik. Kemudian matanya dikejutkan lagi oleh pemandangan tubuh Daisy dengan memakai lingerie baru.     

Jeremy sangat tahu koleksi lingerie Daisy. Dan kali ini, lingerie baru Daisy benar-benar terlihat seksi.     

Dengan senyuman nakal, Daisy melepas satu per satu kancing kemeja Jeremy. Kemudian turun ke celana dan ia langsung menggoda-goda Jeremy dengan goyangannya.     

"Kenapa? Ada apa denganmu, Daisy?" tanya Jeremy dengan lirih.     

"Aku rindu kamu," jawab Daisy.     

"Lakukan yang kamu mau kalau begitu," perintah Jeremy.     

Perlahan Daisy turun ke bawah bagian Jeremy. Ia mulai melakukan pekerjaannya sebagaimana mestinya. Jeremy menikmatinya hingga ia tidak tahan. Namun sebelum ia benar-benar keluar, Jeremy menarik Daisy berdiri dan menyuruhnya untuk membelakanginya.     

Saat itulah Jeremy bergerak sesuai ritme yang ia inginkan. Membuat Daisy tersiksa dengan nikmat.     

Padahal sebenarnya Daisylah yang menginginkan menggodanya dan membuat Jeremy terkapar lemas, tapi ternyata ia salah sangka. Walau begitu, Daisy senang membuat Jeremy merasa puas karenanya.     

Jeremy pun bercinta dengan Daisy di kantor restoran miliknya, tidak peduli seberapa besar Daisy mendesah dan membuat karyawannya mendengarnya. Yang terpenting baginya adalah membuat Daisy dan dirinya puas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.