BOSSY BOSS

Chapter 99 - I Wanna Go Home



Chapter 99 - I Wanna Go Home

0Sudah seminggu aku berada di New York. Aku tidak bisa ke mana-mana karena aku memang tidak tahu daerah sini kecuali beberapa toko terdekat saja. Raja juga jarang mengajakku keluar. Sepertinya ia tipikal yang jarang keluar. Tapi juga karena aku sendiri enggan untuk beranjak dari apartemen.     

Kami nonstop bercinta setiap hari. Aku tidak masalah jika itu bisa membantunya melupakan masalah yang ada. Menghilangkan masalah itu dari pikirannya karena aku sendiri juga butuh itu. Melupakan Jeremy dan mungkin Sean. Aku tidak bisa memberi keduanya harapan di saat aku masih bimbang dengan perasaanku sendiri.     

Akhir-akhir ini Raja pulang larut. Aku tidak tahu sesibuk apa pekerjaannya, tapi ia selalu pulang dalam keadaan diri sudah tidak rapi. Pikiran tentang ia bercinta dengan wanita lain mengganggu otakku. Lalu setelah itu Raja bercinta denganku, seolah ia kurang puas. Hanya saja aku belum menemukan bukti apakah ia benar-benar bersama wanita lain atau tidak.     

Malam ini Raja juga sepertinya pulang telat. Entah kenapa aku tidak suka jika ia pulang telat. Jadi, aku berniat untuk bertanya padanya saat ia sudah di apartemen.     

Pintu apartemen terbuka. Penampilan Raja selalu tidak rapi ketika pulang selarut ini. Dasi yang sudah mengendur dan ia melepas jasnya juga menyampirkannya di bahunya.     

"Kamu ngapain aja sih, Raja? Akhir-akhir ini kamu pulang telat," tanyaku.     

"Bukan urusan kamu," jawabnya melewatiku. Aku mencium bau alkohol dan sepertinya ia sedang mabuk saat ini.     

Raja duduk di sofa dan memejamkan matanya. Ia dengan susah payah melepas pakaiannya dan sepatunya. Lalu ia menatapku dengan pandangan sayu. "Reina? Itukah kamu?" tanyanya.     

Ada perasaan sakit hati ketika ia bertanya seperti itu padaku. Sepertinya ia benar-benar belum bisa melupakan wanita itu.     

"Ke marilah Rei… kenapa kamu memilih dia dari pada aku?"     

Aku hanya diam dan berusaha mengontrol diriku. Kali ini aku tidak ingin mengurusnya. Kubiarkan saja ia terus berbicara hal-hal seperti itu dan kutinggalkan ia ke kamar. Kukunci pintu kamarku dan menata barang-barangku ke koper.     

Sepertinya aku harus kembali ke Indonesia secepat yang aku mau. Aku tidak bisa berada di sini terus jika ternyata mengetahui Raja masih begitu mengharapkan wanita itu. Kenapa juga sih dia menyulitkan dua kembar itu?     

Paginya aku sudah terbangun lebih dulu dari pada Raja. Biasanya ia lebih dulu namun sepertinya alkohol membuatnya terbangun lebih siang. Aku membuat sarapan dan kudengar erangan Raja. Sepertinya ia sudah bangun. Kulirik sekilas, ia sudah bertelanjang dada mencoba menyeimbangkan tubuhnya.     

Raja berjalan menuju dapur untuk membuat kopi. Aku tidak menegurnya tapi aku bisa tahu ia memperhatikanku.     

"Kenapa kamu nggak bangunin aku?" tanya Raja.     

"Alkohol. Semalam kamu mabuk dan aku rasa kamu butuh tidur lebih lama."     

"Aku… errr, apa aku mengatakan sesuatu? Karena aku yakin saat aku mabuk, aku bilang hal-hal di luar pikiranku."     

"Ya. Kamu masih menginginkan Reina," kataku memberitahunya. Aku tidak menatapnya ketika berbicara. Aku terus menyibukkan diri membuat sarapan untuk kami berdua. Setidaknya itu yang bisa kulakukan di apartemen ini.     

"Daisy? Apa kamu baik-baik aja?"     

Raja mendekat dan menatapku. Ia mengangkat daguku untuk dilihatnya. Tapi terlambat, mataku sudah memanas dan tangisku memecah. Ia langsung membawaku ke dalam dekapannya.     

"Aku mau pulang. Aku nggak bisa melihat kamu masih mengharapkan wanita yang udah menyakitimu, aku… nggak bisa," ujarku merengek.     

Raja berdesis menenangkanku. Padahal yang seharusnya ditenangin adalah ia agar tidak terus menerus mengharapkan sesuatu yang sudah hilang. Tapi ternyata aku jauh lebih cengeng di depan Raja.     

"Maafin aku. Aku berusaha untuk nggak mabuk, oke? Dan jangan pulang… aku mau kamu bantu aku melupakan dia, aku mohon."     

Tidak ada jawaban dariku setelah itu. Raja mencium bibirku dan kemudian ia memelukku lagi. Entah kenapa rasanya aku seperti sedang berpacaran dengan kakak tiriku sendiri. Tapi tidak, kami sepakat bahwa ini hanya sebatas seks tanpa mengarah ke serius. Aku dan Raja tidak menginginkan perasaan di bawa-bawa dalam hubungan kami karena tahu risiko yang akan kami hadapi.     

Raja meninggalkanku ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Sementara itu sarapan sudah jadi. Aku mencoba memasak sesuatu yang khas Indonesia karena aku cukup merindukan masakan Indonesia.     

Tidak lama keluar dan anehnya ia tidak memakai pakaian kantornya. Kupikir ia akan ke kantor, tapi sepertinya tidak. "Hari ini aku nggak ke kantor. Ayo kita jalan-jalan. Kamu jarang aku ajak keluar, kan?" katanya.     

"Kita… mau ke mana? Aku nggak apa-apa di apartemen, Raja," kataku.     

"No. Aku bertanggung jawab atas kamu di sini, Dai. Kita hanya akan berjalan, jadi bisa sambil menikmati kota New York, kan? Beruntung di sini banyak tempat yang enak untuk dikunjungi."     

"Pekerjaanmu… bagaimana?" tanyaku.     

"Jangan dipikirin. Aku udah serahin semua sama tangan kananku," katanya dengan mengedipkan satu matanya.     

Raja dan aku pun sarapan bersama. Setelah itu Raja memilih untuk mencuci piring dan membiarkanku untuk berganti pakaian dan kami pergi.     

Sepanjang jalan Raja menggandeng tanganku. Ia menggiringku menuju lokasi patung Liberty berada. Padahal sedekat ini tapi aku tidak pernah berkunjung ke sana sendiri. Raja menatapku dengan senyuman saat aku merasa senang.     

Ternyata kami masih harus menggunakan Ferry untuk mencapai patung Liberty dan pulau Ellis. Raja bilang lokasi itu tidak bisa dijangkau dengan jalan kaki karena tidak ada jembatan. Jadi memang di haruskan menggunakan Ferry. Aku sih, mengikutinya saja karena aku tidak tahu apapun tentang ini.     

"Bagaimana? Apa kamu senang?" tanyanya.     

"Senggaknya aku merasa rileks," kataku. Sebenarnya ke mana pun itu aku tidak masalah selama aku merasa kejenuhanku hilang.     

Aku tersenyum dan menikmati pemandangan ini. Angin yang berhembus membuat rambutku berkibar-kibar. Di sini aku bisa melihat bahwa Raja sangat tampan. Seandainya ia kekasihku, pasti aku merasa tambah bahagia.     

"Raja?" seseorang menyapa Raja. Aku menatapnya dan melihat seorang wanita yang sepertinya dari Indonesia juga.     

"Oh, Nia? Hai, apa kabar?" sapa Raja dan mereka berpelukan untuk sesaat. Aku memperhatikan mereka dan entah kenapa melihat aura mereka aku merasa cemburu. Sesuatu yang berbau seks sepertinya pernah terjadi pada mereka.     

"Baik. Aku nggak menyangka bakalan bertermu kamu di sini," kata wanita bernama Nia itu.     

"Ah, ini… temanku. Namanya Daisy," kata Raja memperkenalkanku. Aku menatap Raja karena ia mengenalkanku sebagai temannya. Raja hanya mengangguk seolah aku harus mengikuti caranya.     

Aku dan Nia bersalaman dan tersenyum satu sama lain. Lalu mata Nia teralih lagi ke Raja. Sepertinya wanita itu tertarik pada Raja. Ah, sebaiknya aku berpaling saja. Aku tidak ingin menjadi nyamuk diantara mereka berdua.     

"Datanglah ke apartemenku, Raja," tawar Nia. Aku mendengar pembicaraan mereka saat aku menatap ke arah depan. Nada bicara Nia sangat rendah seperti ia menawarkan sesuatu yang enak pada Raja.     

"Errr… itu, aku pertimbangkan dulu, oke?" kata Raja menjawabnya.     

"Kalau kamu mau, siang aja, oke? Karena aku free di jam segitu."     

Percakapan mereka pun berakhir ketika Nia berpamitan. Aku mencoba diam dan tenang. Sebenarnya jantungku berdegup kencang karena rasa cemburu ini. Tapi aku tidak boleh merasakan ini. Tidak dengan kakak tiriku.     

"Kita pulang, yuk?" ajakku meminta.     

"Ada apa, Dai?"     

"Aku… agak nggak enak badan," kataku padanya.     

Raja menyentuh keningku. Sepertinya karena keadaan ini aku jadi benar-benar merasa tidak enak badan. "Kamu panas," katanya. "Ayo, kita pulang."     

Sekembalinya ke apartemen, aku langsung masuk ke kamar. Tadinya Raja ingin ikut untuk merawatku, tapi aku mengatakan bahwa aku butuh tidur setidaknya lebih lama. Ia pun mengerti dan katanya Raja juga harus pergi sekaligus membeli obat untukku. Aku terserah padanya dan tidak peduli. Barangkali ia akan menuju apartemen Nia, siapa yang tahu?     

Saat aku memastikan Raja sudah keluar, aku pun juga keluar. Aku ingin ke Starbucks saja. Rasanya menyenangkan jika menikmati semuanya sendiri ketimbang mengandalkan Raja. Aku merindukan segala hal-hal yang hilang dari hidupku. Sebaiknya aku menelepon Raka.     

"Daisy? Kamu ada di mana?" tanya Raka saat melihat aku berada di luar apartemen. Ya, kami melakukan panggilan video.     

"Di Starbukcs. Kapan aku kembali ke Indonesia?" tanyaku padanya. Aku tidak peduli dengan Raja yang menginginkan aku untuk membantunya melupakan Reina. Aku rasa Raja punya cara sendiri untuk melupakan Reina.     

"Sendiri? Apa dia sekarang baik-baik aja?"     

"Raka… Raja punya cara sendiri buat melupakan kekasihmu. Aku? Nggak berguna sama sekali di negerti antah berantah ini."     

"Apa kamu bisa tahan sedikit lagi, Dai? Aku mohon."     

"Kenapa sih, aku yang harus menanggungnya? Aku juga punya hal yang aku inginkan, Raka. Aku nggak bisa menepati janjiku. Jadi, maaf."     

Raka terdiam dan ia melihat ke sekitarnya. Sepertinya ia memastikan tidak ada orang yang melihat. "Katakan, alasanmu. Apa yang kalian lakukan di sana? Apa yang kamu coba lakukan dengannya agar dia lupa dengan Reina? Percaya padaku, Dai, aku nggak akan mengatakannya pada siapa pun."     

Sepertinya Raka mulai paham maksud dari caranya bicara. Aku juga bisa mempercayainya. Jadi, kuceritakan semuanya padanya. Aku juga mengatakan padanya bahwa aku tidak ingin ada perasaan yang terlibat lebih lama jika aku menetap terus menerus.     

"Sejak kapan kalian begitu?" tanyanya.     

"Sejak Raja di Indonesia. Sebelum aku berpacaran dengan Jeremy," jawabku.     

Raka memijat pangkal hidungnya seolah ia baru mendengar berita terberat yang belum pernah ia dengar selama ini. "Maafkan aku, Dai. Aku nggak memikirkan perasaanmu. Aku rasa kamu bisa pulang. Aku akan membelikan tiket untukmu. Tolong sabar sebentar, oke?"     

"Jangan sampai ada yang tahu, Raka. Aku mohon," pintaku.     

Raka mengangguk dengan wajah prihatinnya. "Aku pastikan itu, Dai. Aku udah berjanji nggak akan mengatakan pada siapapun tentang rahasia ini. Oke?"     

"Tapi, Ibu dan Om Thomas harus tahu aku akan pulang, Raka," kataku.     

"Iya. mereka pasti harus tahu. Maka dari itu, kamu sabar sebentar oke?"     

Tiba-tiba laptopku diambil seseorang dan aku terkejut. Raja datang dengan wajah kesalnya. Ia pun menatap layar laptopku yang masih tersambung dengan Raka.     

"Dia nggak boleh pulang sampai gue bisa lupain cewek brengsek lo itu, paham?" katanya dengan kesal dan menutup laptopku dengan kasar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.