BOSSY BOSS

Chapter 87 - A Bit Story of Winda



Chapter 87 - A Bit Story of Winda

0"Kenapa semalam kamu nggak bilang kalau pulang, Daisy?" tiba-tiba Gruda datang ke resepsionis saat aku sedang shift seorang diri. Aku menatap ke beberapa arah untuk memastikan apakah ada yang melihat kami atau tidak.     

"Yah, aku agak nggak enak badan sebenarnya, maaf," kataku dan melanjutkan aktivitasku. Kulirik sekilas Gruda memakai dasi pemberianku. Tapi aku bersikap sangat biasa padanya.     

"Hmm, omong-omong, kamu tahu dari mana aku pulang?" tanyaku karena baru sekarang pikiran itu terbesit dalam benakku.     

"Marina. Dia bilang kamu pulang," jawabnya. Aku mengangguk padanya dan tidak membahas lebih jauh. "Marina itu temanku. Jadi jangan kamu pikir terlalu jauh," tambahnya.     

Aku tertawa kecil dan tersenyum padanya. Mungkin ia mengira aku cemburu atau semacamnya saat aku tidak membalas ucapannya tadi. Padahal sama sekali tidak. "Kamu nggak berpikir aku cemburu, kan? Aku udah punya pacar, Gruda," kataku kemudian.     

Kadang beberapa orang harus tahu sesuatu. Walaupun bagian memiliki kekasih adalah kebohongan, tapi kadang demi untuk menjauhkan dari orang yang tidak kamu suka, kamu harus mencari alasan yang mana akan membuatnya sedikit mundur atau berputus asa mendekatimu.     

Aku melihat ketegangan Gruda saat aku menyebutkan bagian kekasih. Yah, mungkin ia mengira aku single, walau kenyataannya itu benar. Padahal toh, tidak semua yang berpacaran lantas menunjukkannya. Aku bahkan lebih senang privasiku tetaplah privasi. Tapi jika harus dibuka, maka akan aku buka.     

"Kamu punya pacar?" tanyanya memastikan lagi.     

"Hmm, ya. Sesekali ia pernah menjemputku ke sini, mungkin kamu pas nggak ada atau ada tapi tidak melihat," jawabku.     

"Seperti apa dia?"     

"Wajahnya oriental. Rambut lurus dan tampan. Ia juga tinggi dan sekarang lagi dinas di Thailand," jelasku.     

Ada raut kesedihan di wajahnya. Ia bahkan untuk beberapa saat tidak berbicara dan malah mengetuk-ketukan jemarinya di meja resepsionis. Aku membiarkannya sampai ia akan merasa bosan sendiri.     

"Oke, kalau begitu, aku ke ruanganku dulu," katanya pamit. Aku mengangguk dan melihat bayangannya masuk ke ruangannya di belakang resepsionis.     

Aku berhenti sejenak dari aktivitasku. Kuhela nafasku dan sedikit memijat pelipisku. Aku harus membawa-bawa Jeremy ke dalam ceritaku walau aku belum menyebut namanya di hadapan mereka. Aku harus mengatakannya pada Jeremy.     

"Tunggu, kamu bilang kamu mau liburan ke Thailand?" suara Gruda muncul di hadapanku. Membuatku terkejut dan menatapnya dengan kedipan mataku beberapa kali. Aku mengangguk karena tiba-tiba ia membahas ini.     

"Dan kamu inigin bertemu dengan kekasihmu?" tanyanya lagi.     

Aku tahu ke mana pikiran Gruda sekarang. Aku sudah menyiapkan alasan jika suatu saat hal ini dipertanyakan. "Sebenarnya nggak juga. Liburan ini sudah aku rencanakan jauh sebelum pacarku dinas di Thailand. Dan aku ke sana dengan sepupuku," kataku dengan percaya diri.     

Gruda menganggukkan kepalanya lagi dan kini ikut duduk di sisiku, di resepsionis. Ia menatapku dan aku berlagak sibuk menatapi komputer.     

"Marina menyukaimu," ucapku memberitahu.     

"Sorry?" katanya.     

"Marina menyukaimu, Gruda," kataku lagi. Aku harus mengatakannya jika ia belum tahu. Gruda hanya diam tidak membalas ucapanku.     

"Apa kamu nggak menyadarinya?" tanyaku.     

"Aku sadar," jawabnya.     

"Lalu, apa kamu nggak memberikan kesempatan buat dia jadi pacar kamu?"     

"Marina… aku hanya menganggapnya sebagai adik sebenarnya. Nggak pernah terpikirkan bagiku untuk menjadikannya pacar. Karena dia tahu hal banyak tentang aku, bukankah itu layak di sebut sebagai saudara atau keluarga?" jelasnya.     

Jelas sekali Gruda tidak menyukainya sebagai wanita pada umumnya. Ia hanya menganggap Marina seperti adiknya. Ia sadar tapi Gruda memilih berpura-pura.     

"Kadang nggak semua bisa kamu anggap seperti itu, Gruda," kataku membalasnya.     

"Dan bagaimana dengan kamu kepadaku?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam tidak menjawabnya. Sepertinya penegasanku bahwa aku punya kekasih tidak memiliki efek apa-apa padanya.     

"Relasi kita hanya sebatas atasan dan bawahan, Gruda. Aku butuh uang dan kamu butuh tenagaku," kataku menjelaskan.     

Gruda menghela nafasnya dan ia menyandarkan tubuhnya di kursi resepsionis. Ia bersikap santai karena memang hotel saat ini tidak begitu ramai. Banyak yang menetap dalam jangka panjang, sehingga tidak begitu efek juga pada diriku.     

"Jadi kamu menyadari perasaanku?" tanyanya. Aku bergumam sebagai jawaban. Ia harus tahu posisinya karena aku tahu posisiku juga. Jangan sampai aku emosi hanya karena tingkahnya itu.     

"Dan apa pacarmu itu tahu aku menyukaimu?" tanyanya lebih intens.     

Kutarik dan kuhembuskan nafasku untuk menahan emosi dalam jiwaku. Bisa-bisanya Gruda berbisik ke telingaku dengan suaranya itu. Bagaimana jika ada orang yang melihat? Ia bahkan kelihatan sangat menikmati itu.     

"Kamu mau mengharapkan apa, Gruda, memangnya?"     

"Mungkin dia nggak tahu dan kamu memang nggak mau memberitahu karena takut menyakiti hatinya atau… takut ia khawatir kamu di ambil aku?"     

Aku tertawa sinis dan menghadapnya. Kugeleng-gelengkan kepalaku menatapnya dengan pandangan ia sama sekali tidak benar.     

"Kamu salah, Gruda. Aku bahkan mengatakan semua hal padanya. Masa laluku, kesalahanku, dan bahkan kemarin datang ke ulang tahunmu, dia yang menyuruhku demi menghormatimu. Jadi, kamu jangan pernah anggap remeh seseorang, oke? Karena nggak semua orang seperti yang kamu katakan."     

***     

Sepertinya benar sekali jika ada yang mengganggumu dan kamu merasa sangat terganggu, apapun yang kamu lakukan seolah membuatmu jadi merasa khawatir. Yah, aku merasakannya saat ini.     

Sepulang kerja, Gruda selalu menggangguku. Aku tahu ia sengaja agar keberadaannya aku anggap ada. Lalu apa jika begitu? Memangnya setiap orang tidak punya urusan lain? Ia bahkan benar-benar menghentikanku ketika aku akan keluar dari hotel untuk menuju kostku.     

"Biar aku antar ke kostmu, Daisy," tawarnya.     

"Nggak usah. Aku bisa jalan dan aku juga ada janji temu dengan temanku," kataku tegas menolaknya.     

"Kalau begitu sayang sekali. Mungkin-"     

"Gruda… aku mohon, kita bukan apa-apa, oke? Kalau kamu seperti ini, aku nggak akan segan keluar dari hotel hanya karena kamu menggangguku," ancamku padanya.     

Wajahnya langsung berubah dan ia mengangguk pelan. Lalu dengan cepat dan tanpa kata-kata, Gruda langsung meninggalkan hotel. Aku baru bisa bernafas lega dan langsung berjalan ke arah pintu sebelah hotel untuk menuju kostku.     

Sampai kost aku langsung menuju kamar Winda. Pintunya terbuka dan aku mengetuk perlahan untuk memastikan bahwa ia di dalam dan tidak merasa terganggu. Lalu kulihat kepalanya keluar sedikit dan ia menyuruhku masuk.     

Winda masih terpincang-pincang jalannya karena memang ada luka di kaki kirinya. Ia kemudian duduk di hadapanku wajahnya memang masih lebam. "Bagaimana keadaanmu, Win?" tanyaku.     

Ia tersenyum dengan bahagia. Kelihatannya ia sedang ada kabar baik. "Lebih dari baik. Walau masih luka dan sakit, tapi ada yang lebih baik dari ini," jawabnya.     

"Dan apa itu?"     

"Andi dipenjara seumur hidup!" terangnya dengan gembira     

Aku ikut senang mendengar berita itu. Karena memang itulah yang pantas untuk seorang laki-laki yang memukul wanita. Suka atau tidak, tentu ada akibat yang harus ditanggung si tersangka.     

"Tapi kamu tahu dari mana?" tanyaku.     

"Tadi aku ke penjara. Sebenarnya aku mau lihat dia, tapi sekalian saja aku tanya bagaimana kasus selanjutnya," jelasnya.     

"Apa kamu baik-baik aja saat lihat dia?"     

Winda menggeleng dengan sedih. "Aku… sedih tapi aku juga takut kalau dia masih berkeliaran di sekitarku. Tapi aku juga mencintainya, Dai," katanya.     

Aku mengangguk paham dengan ceritanya. Wajahnya memang menunjukkan kesedihan. Ada ketakutan dalam raut mukanya dan perasaan cinta yang juga masih menetap.     

"Tapi itulah yang harus kamu hadapi kan, Win? Ini saatnya kamu move on!" kataku menyemangatinya.     

"Iya, aku tahu. Tapi aku masih butuh waktu."     

"Bagaimana respons Andi saat kamu bertemu dengannya?"     

"Dia… dia minta maaf atas semuanya dan meminta padaku untuk membebaskannya. Dia berjanji juga nggak akan menyakitiku lagi. Tapi, aku sama sekali nggak percaya padanya."     

"Dia memakai perasaanmu untuk membebaskannya. Dia memanfaatkanmu, Win. Jangan mau!" kataku tegas.     

"Iya. Awalnya aku luluh, tapi aku sama sekali sadar bahwa aku nggak mau ada dia di hidupku."     

Alasan apa pun yang laki-laki gunakan demi keselamatannya, sangatlah egois. Andi, memanfaatkan rasa cinta Winda padanya untuk membebaskannya. Beruntunglah jika Winda sadar dan ia tidak menginginkan hal kedua kalinya terulang kembali.     

Aku saja yang jika berada di dalam posisi Winda, tentu aku mungkin sudah gila. Bahkan aku sendiri saat ini saja memiliki rasa kecemasan yang tidak bisa kupastikan kapan datang dan perginya.     

"Oh ya, Win… kalau kamu nggak kerja gini, otomatis nggak ada pemasukan, dong?" tanyaku prihatin.     

Winda tersenyum nakal menatapku. "Pemasukan selalu ada saat aku nggak kerja sekalipun, Dai. Aku punya penjamin kehidupanku. Kamu tahulah maksudku," katanya menjelaskan.     

Aku meng-OH-kan ucapannya dengan gerakan kikuk dan menahan malu. Tidak tahu kenapa juga aku yang harus malu, yang jelas Winda mengatakannya seolah itu menyenangkan untuknya.     

"Boleh tahu siapa aja orang-orang itu?" tanyaku ingin memastikan.     

"Ada 10. Tiap orang beda-beda syaratnya. Ada yang cuma minta nemenin minum, nemenin tidur dan bukan seks, ya. Hmm, ada yang minta oral setiap ketemu, seks, nemenin ke mal atau acara, jadi kekasih gadungan, dan yah, macam-macam. Tapi kalau bagian seks, itu aku yang memilih orangnya. Kalau salah satu minta dan aku nggak mau, biasanya aku ajuin syarat lainnya," jelasnya dengan percaya diri.     

Aku menelan ludahku membayangkan semuanya menjadi satu. Kelihatan seperti sibuk tapi sejujurnya Winda sangat santai. Bahkan terlalu santai untuk berada di kost terus.     

"Dan kalau misal kamu melakukan itu?" tanyaku lagi.     

"Intinya, aku melakukan itu seperti anggap aja gaji tambahan, tapi kalau gaji pokok, setiap sebulan sekali pasti dikirim."     

"Dan siapa aja orang-orang itu? Nama mereka, kamu belum menjawab pertanyaanku," tanyaku lagi.     

"Hmm, ada Reza, Vincent, Diego, Zen, Roni, Gruda, Sean, Dio, Viktor dan Haikal," jawabnya seraya menghitung dengan jari.     

Aku terkesima ketika mendengar nama Zen dan Gruda disebutkan. Dua laki-laki itu adalah orang yang kukenal tanpa aku merasa salah mengenal mereka. Tidak mungkin kebetulan namanya yang sama, aku tahu karena dengan Zen aku pernah melihatnya sendiri dan Gruda, tentu saja ia atasanku dan namanya jelas terasa asing di kalangan yang lain.     

"Bagaimana dengan laki-laki pernah aku temui saat bersamamu? Di tangga? Siapa namanya?" tanyaku memancingnya.     

"Oh, dia Zen! Serius, Dai! Kalau kamu bisa, kamu bahkan bisa mencobanya. Seks dengannya sangat hebat!" katanya dengan gembira dan berseri-seri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.