BOSSY BOSS

Chapter 84 - Without Him



Chapter 84 - Without Him

0Dua bulan aku berada di kost, aku belajar banyak hal. Winda juga memberikan contoh padaku secara tak langsung, tentang apa yang harusnya wanita miliki dan siapkan di kostnya.     

Jeremy juga sudah di Thailand. Raja dan Raka pun sama halnya, mereka sudah di US.     

Hariku sekarang jadi sedikit sepi karena kehadiran para lelaki itu cukup berpengaruh pada diriku.     

Pekerjaanku sebagai resepsionis juga masih lancar. Syukurnya aku betah dan merasa senang di sana. Gaji yang kudapatkan juga lumayan dan tabunganku setidaknya bertambah.     

Sayangnya sejak kepergian Raja, Raka dan Jeremy, aku merasa benar-benar sepi. Rutinitasku jadi hanya kerja, kost, libur dan begitu terus. Tentu saja kalau Jeremy masih sering menghubungiku dan bahkan lebih intens.     

Aku dan Winda juga cukup dekat sekarang. Ia baik dan sangat baik. Seperti Ama, bedanya Winda adalah versi si nakal yang baik hati. Sementara Ama lebih terkesan polos dan lembut.     

Hari ini aku libur dan aku ingin menghabiskan waktu liburku dengan hal yang bermanfaat. Mungkin berenang? Aku belum pernah berenang seorang diri. Terakhir aku berenang bersama Jeremy dan segala hal yang panas bersamanya di dalam kolam.     

Kusiapkan pakaian renangku yang tentu saja sedikit tertutup dan segala halnya. Tadinya aku berniat mengajak Winda, tapi ia sepertinya ia sibuk dengan seseorang di kamarnya, jadi kuurungkan niatku dan memilih langsung berangkat menuju hotel yang memfasilitasi orang luar untuk bisa berenang di dalamnya.     

Sebenarnya aku ke hotel di mana Jeremy dan aku berenang. Karena aku tidak punya referensi lain dan sedikit malas mencari tahu, jadi aku memutuskan untuk di tempat yang sama saja. Sekalian aku melepas rinduku pada Jeremy.     

Saat di kolam, aku menghirup udara kolam yang masuk ke hidung. Rasanya menyenangkan bisa di sini. Sejenak aku duduk dan mengamati sekitar. Kolam renang cukup ramai dan aku sedikit malu karena aku sepertinya hanya sendiri di sini.     

Saat aku sudah dengan pakaian renangku. Aku mencoba melakukan pemanasan. Kuusahakan untuk mengabaikan tatapan pasang mata yang menatapku.     

Kujatuhkan diriku dan berenang sebisaku. Rasanya segar dan sangat nyaman berada di dalam air. Tiba-tiba punggungku menabrak seseorang saat aku mundur-mundur di air untuk main-main.     

"Eh, maaf, aku nggak sengaja," kataku padanya. Kulihat yang kutabrak adalah seorang laki-laki bertubuh besar. Bahkan sepertinya sangat tinggi. Aku seperti kecil di hadapannya.     

"Nggak sakit, kok. Santai," katanya dengan senyuman. Lalu tangannya terulur. "Sean," katanya menyebutkan namanya.     

Aku menatap uluran tangan itu. Kusenyumkan saja dirinya dan aku mulai berenang kembali tanpa membalas uluran tangannya.     

Sebenarnya aku tidak berminat berkenalan dengan siapapun di tempat ini. Aku tahu efek apa yang akan ditimbulkan dari perkenalan itu nanti.     

"Kamu ngikutin aku?" tanyaku pada Sean yang kusadari ia sedari tadi mengikuti arahku berenang.     

"Kamu cuma sendiri, dan kamu belum membalas perkenalanku."     

Aku tidak membalasnya. Yang aku lakukan hanya memainkan air dengan tanganku. "Apa sesusah itu berkenalan dengan orang asing?" tanyanya.     

Aku tersenyum kecut. Kupandang sekelilingku dan menatap Sean.     

"Percayalah, kamu nggak akan mau berkenalan denganku," kataku padanya.     

"Coba jelaskan kenapa?" Sean mendekatkan dirinya padaku. Aku refleks mundur untuk menjauh darinya.     

"Daisy! Namaku Daisy!" kataku berseru.     

Sean tersenyum padaku dan berkata, "sampai jumpa nanti, Daisy." Ia berenang meninggalkanku dan aku menatapnya dengan terkesima. Aku pun menenggelamkan diriku untuk beberapa saat.     

Kufokuskan pikiranku pada Jeremy. Apa yang ia lakukan sekarang? Aku belum memeriksa ponselku lagi.     

Kepikiran dengan Jeremy, aku pun menuju tasku dan melihat ponselku. Kupakai handuk kolam dan duduk dengan ponsel di tanganku.     

Jeremy tahu aku berenang. Ia pun tidak masalah dan malah mengizinkan. Melihat pesan darinya membuatku tersenyum.     

"Minumlah," tiba-tiba suara Sean ada di dekatku. Kulihat segelas minuman berwarna oranye yang kupikir adalah orange jus, tergeletak di meja sisi kursiku.     

Aku menatap Sean dan berdecak seraya menggelengkan kepalaku. Ia duduk di sisinya dan aku fokus lagi pada ponselku.     

"Itu bukan racun, Daisy. Aku membelikanmu orange jus. Aku harap kamu suka," katanya kemudian.     

Kukeluarkan botol air mineral dari tasku dan memamerkannya padanya.     

"Thanks! Tapi aku lebih suka air mineral," kataku.     

"Oke, bukan masalah. Aku di sini, ya?" Sean langsung berbaring sekaligus berjemur. Kutatap sekelilingku dan melihat sekumpulan orang yang menatapku juga Sean. Kurasa sekumpulan orang itu adalah temannya.     

"Apa kamu nggak ada teman juga?" tanyaku mengejek.     

"Ada. Di sebelah kananmu, di seberang," katanya. Kutatap lagi arah itu dan benar seperti dugaanku.     

"Pergilah kalau begitu. Aku cuma ingin sendiri," usirku.     

Sean menghadap ke arahku dan menopang kepalanya dengan satu tangannya. "Wanita bersikap cuek seperti ini biasanya karena satu, dia udah punya pacar atau ada seseorang yang sedang ia jaga perasaannya, dua, mungkin karena sifatmu seperti ini," katanya.     

Aku tetap mengabaikan apa yang ia katakan dan memilih diam menatap ponselku. Cara terbaik mengusirnya adalah dengan mendiamkannya. Semoga saja laki-laki ini pergi.     

Selama beberapa menit, Sean seperti menikmati keberadaannya di sisiku. Aku pun berinisiatif untuk kembali berenang dan mengabaikannya.     

Kujauhi diriku darinya sebisa mungkin dan setelah itu alangkah lebih baik aku mengakhiri masa berenangku.     

Saat kulihat Sean tidak ada di tempatku, aku pun langsung meraih barangku dan membersihkan diriku di kamar mandi.     

Setelah aku rapi, aku langsung menuju luar ke arah parkiran motor. Sialnya, aku bertemu Sean di parkiran motor. Tidak kusangka kami akan selesai secara bersamaan seperti ini.     

"Kalau jodoh memang nggak akan ke mana, ya?" katanya lebih kepada diri sendiri. Kuputar bola mataku dan aku memakai helm jaket juga helmku.     

Sean mendekatiku dengan motor besarnya itu. Di belakangnya tampak seorang wanita yang memandangku seolah tidak suka.     

"Sampai ketemu lagi, Daisy. Hati-hati di jalan," katanya dengan kedipan satu matanya dan berjalan mendahuluiku.     

Sekumpulan teman-temannya dengan beberapa motor juga mendahuluiku. Mereka tersenyum penuh arti padaku. Aku sendiri merasa bergidik ngeri menatapnya.     

Sampai kost, aku langsung melakukan panggilan pada Jeremy. Ia sedang libur juga dan aku menceritakan hal-hal yang kualami tadi di kolam renang.     

"Kenapa nggak kamu tanggapi aja, Daisy?" tanya Jeremy tertawa.     

"Karena kamu," jawabku.     

"Aku? Memangnya kenapa aku?"     

Aku tahu Jeremy sedang memancing sekaligus mengujiku. Setidaknya jawabanku benar-benar mengatakan kejujuran. Yang ada di hatiku hanya Jeremy.     

"Jangan pura-pura nggak tahu, ah," kataku kesal.     

"Aku memang nggak tahu, Daisy."     

Sejenak aku diam. Jeremy pun diam tapi aku mendengar gerakan seakan dia sedang melakukan sesuatu.     

"Apa yang kamu lakukan? Aku dengar pergerakan," tanyaku.     

"Bikin mie instan. Hari libur adalah hari mie instan untukku," jawabnya.     

Aku tahu akan itu. Jeremy menegaskan dan memberikan peraturan pada dirinya sendiri bahwa ia akan makan mie instan di hari liburnya.     

"Berapa yang kamu makan?" tanyaku.     

"Dua. Dengan telur dan mozarella di atasnya."     

Sangat enak sekali bukan, kalau membayangkannya? Jeremy sendiri pernah membuatnya di kost dan kami makan berdua. Rasanya tidak kalah dengan restoran di luar sana.     

"Aku kangen," tiba-tiba Jeremy berbicara.     

"Iya, aku juga. Jadi pulang awal bulan?"     

"Iya. Hanya seminggu. Sepertinya jatahku untuk pulang sebulan sekali itu hanya seminggu. Tapi sebisaku kuusahakan lebih banyak," jelasnya.     

Kuanggukan kepalaku walau ia tidak melihatku.     

"Jadi, Sean… apa laki-laki itu tipemu?" tanya Jeremy. Mendadak ia kembali lagi pada topik laki-laki menyebalkan itu. Aku juga menangkap nada cemburu di suaranya.     

"Nggak. Aku nggak menyukainya, Jeremy. Tenang aja."     

Sebenarnya aku ingin sekali memberi kejutan pada Jeremy. Aku belum pernah memberikan kejutan padanya dan pertengahan bulan ini, ia akan ulang tahun.     

Aku ingin sekali ke Thailand. Mungkin sedikit mengungkapkan isi hatiku juga padanya sehingga ia akan lega ketika aku berbicara langsung padanya.     

Beruntungnya, aku sudah tahu banyak di mana Jeremy tinggal dan di perusahaan apa. Jadi, aku tidak perlu meminta alamatnya dan menimbulkan pertanyaan di benaknya nanti.     

Aku dan Jeremy memutuskan untuk mengakhiri permbicaraan karena ia sendiri akan makan dan aku juga berniat untuk membeli kado untuknya hari ini.     

Tabunganku lebih dari cukup untuk menyiapkan semuanya.     

Aku memutuskan ke mal sendiri dan menjelajahi toko pakaian laki-laki. Aku membelikannya satu setelan pakaian dengan jam beserta sepatunya. Setelah itu aku membeli kertas warna warni kecil yang mana aku berinisiatif menuliskan sesuatu di potongan kertas warna warni nanti dan memasukkannya ke dalam toples kaca. Nantinya, aturan yang harus Jeremy ikuti adalah mengambil satu kertas itu dalam sehari untuk penyemangatnya.     

Setelah itu aku kembali ke kos dan tentu saja aku sudah membeli makanan juga camilan. Jadi, aku tidak harus keluar lagi dan fokus pada tugasku untuk Jeremy.     

Membungkus kado sendiri untuk seseorang yang spesial sangatlah menyenangkan. Untuk itulah aku tidak memakai jasa penjual untuk membungkus kado ini karena aku ingin semuanya berasal dari tanganku sendiri.     

Kertas kado warna biru dicampur hitam adalah paduan yang bagus. Apalagi Jeremy menyukai warna biru.     

Semangatku tidak jatuh sampai sebuah ketukan pintu kost terdengar. Aku langsung merapikannya dan menaruhnya di tempat yang benar. Seseorang tidak ada yang boleh tahu tentang apa yang kulakukan.     

Kubuka pintu kostku dan di sanalah Zen. Berdiri dengan kemejanya yang kedua lengannya digulung ke atas dasi yang sudah ia longgarkan.     

"Hai," sapanya.     

Aku melirik ke luar untuk memastikan tidak ada orang yang lihat. Kutarik Zen langsung masuk karena aku tidak ingin ia menjadi bahan pembicaraan di kostku.     

"Ada apa ke sini?" tanyaku padanya.     

"Sepertinya kamu nggak mau hubungan kita ada yang lihat, ya?" tanyanya dengan tenang.     

"Kita nggak ada hubungan apapun, Zen!" ujarku mengoreksi ucapannya.     

Zen melepas ikatan rambutku hingga rambutku berjatuhan begitu saja. "Aku lebih suka rambutmu digerai seperti ini," katanya.     

"Zen! Ada apa sih, ke-"     

Sebuah ciuman mendarat di bibirku. Aku terkejut. Awalnya aku diam dan tak membalasnya. Tapi aku lemah saat mengetahui semakin Zen berhasrat, saat itu juga aku langsung membalasnya.     

"Kamu nggak tahu betapa kamu terasa nikmat saat terakhir kali kita bersama! Aku bahkan nggak bisa berhenti memikirkanmu, Daisy! Sialan!" erangnya dan menggendongku menuju dinding dan menahanku di sana.     

Sialnya lagi, aku hanya memakai dress mini santai. Tentu saja itu membuatnya semakin mudah membuka akses pada tubuhku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.