BOSSY BOSS

Chapter 71 - Raja



Chapter 71 - Raja

0Aku tidak mengenal calon keluarga baru Ibu. Dalam waktu dua minggu bahkan Ibu akan menikah dan sekarang aku baru dipertemukan oleh calonnya beserta anak sambungnya. Tapi aku senang dan cukup lega mengetahui calon keluarga Ibu adalah orang yang baik. Sayangnya, aku tetap tidak begitu suka Ibu mengambil keputusan sendiri di saat aku sendiri, dalam keadaan apa pun selalu meminta pendapatnya.     

Dan di sinilah aku bersama Raja. Dia memaksa mengantarku pergi ke supermarket. Raja benar-benar seperti ingin mendekatkan diri pada aku sebagai saudara tirinya. Aku tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang baru, namun walau begitu, aku tetap harus melakukannya. Tidak mungkin aku akan bersikap kaku terus pada keluarga baru Ibu.     

"Ibumu baik, aku suka dengan beliau," katanya padaku saat kami masih di mobil.     

"Baguslah kalau begitu."     

"Tapi apa yang kamu lakukan sama dia itu nggak sopan, Daisy. Aku nggak peduli beliau Ibu tiriku, tapi yang namanya membentak seorang Ibu itu nggak sopan," ujarnya seperti memarahiku.     

"Aku hanya nggak suka dengan caranya," kataku membela diri. Aku tahu, bagaimanapun tentang tadi, itu sama sekali tidak sopan.     

"Lagian ada alasan kenapa sedari awal Ibumu nggak bilang ke kamu. Aku pun tahu masalah-masalahmu," ujarnya.     

Aku hanya diam. Tentu saja Ibu memberitahu mereka banyak hal tentang aku dan mantan suamiku, Zen. Tapi mengetahui begitu, seakan aku tidak ada saja. Kesedihan jelas melandaku. Aku hanya menundukkan kepalaku.     

TIba-tiba tangan Raja mengacak-acak rambutku. Perasaanku mendadak jadi tidak menentu. "Jangan sedih, tapi juga jangan seperti itu terus. Ok?"     

Cara pendekatan Raja benar-benar layaknya seorang Kakak laki-laki yang tidak ingin adik perempuannya kenapa-kenapa. Walau ia terkesan menyebalkan pada awalnya, tapi ternyata tidak terlalu buruk juga.     

Saat tiba di supermarket, semua mata memandang kami. Sebenarnya lebih tepatnya memandang ke arah Raja. Aku tahu dan aku sadar bahwa Raja itu tampan bukan main. Aku sendiri heran kenapa bisa aku dikelilingi laki-laki tampan, sekalipun ia adalah calon kakak tiriku.     

"Abaikan aja pandangan mereka," katanya berbisik dan merangkul pundakku. Aku terkejut dengan caranya yang tiba-tiba itu. Sementara kubiarkan saja karena tidak mungkin aku menampiknya di hadapan banyak orang.     

Raja ternyata cukup peka dengan keadaan sekitarnya. Mungkin ia sudah terbiasa dipandangi banyak orang. Tapi aku juga penasaran, apakah di luar negeri ia dipandangi juga dengan para bule wanita?     

"Jadi, apakah adikku ini udah punya pacar?" tanyanya seraya memasukkan beberapa camilan yang ia ambil sendiri untuknya ke trolly.     

"Nggak mikirin itu untuk sementara," jawabku tetap berjalan.     

"Jangan begitu. Kamu nggak kelihatan seperti janda, loh," ucapnya jujur.     

Aku menggeleng-gelengkan kepalanya karena sikap tengil Raja. Apa dia memang orang yang seperti itu.     

"Dan aku rasa Raka nggak sama sepertimu, bukan begitu?" tanyaku mengalihkan.     

"Hmm, Raka itu kaku dan kuno. Dia memang lebih tua dariku, tapi pengalamannya bersama wanita itu nol, jadi yah, pemenangnya adalah aku," ujarnya dengan bangga.     

Rasanya aku sudah salah bertanya. Rupanya Raja memiliki sisi yang sangat bangga dengan prestasinya sekaligus itu bernilai buruk. Tapi daripada membahas tentang aku, memang sebaiknya aku membahas tentangnya atau Raka saja.     

"Jadi, wanita bule di sana juga menatapmu seperti di sini?" tanyaku.     

Raja mengangguk. "Bahkan aku pernah berpacaran dengan mereka beberapa kali."     

"Oh, dan sekarang?"     

"Dengan wanita Indonesia."     

"Lalu urusanmu apa ke sini dengan Raka? Bukannya kalian tinggal dan kerja di luar negeri?" tanyaku penasaran.     

Raja melirik curiga padaku. Tapi aku tidak merasa gugup atau semacamnya, jadi aku mengabaikannya saja sambil terus berjalan dan menunggu jawabannya.     

"Ada bisnis dan sekaligus ikut merayakan pernikahan Papaku dan Mamamu, maksudku, Ibumu," katanya memberitahu.     

"Kalian bekerja di kantor yang sama?"     

"Lebih tepatnya kantor yang kami dirikan bersama. Dan ya. Raka adalah pemilik sekaligus direkturnya, sementara aku managernya," katanya.     

Aku merasa terkesan dengan infor yang dia berikan. Benar-benar mengatakannya secara jujur. Dari mana aku tahu? Tentu saja dari caranya berbicara kelihatan sekali.     

Akhirnya aku selesai berbelanja dan tentunya Raja membayarnya. Ia bahkan bersikeras membayar belanjaanku padahal aku masih mampu membayar. Butuh kurang lebih berdebat dengannya di kasir selama lima menit hingga akhirnya aku menurut untuk dibayari olehnya.     

Aku menyuruh Raja untuk mengantarku ke kost baruku dan meletakkan beberapa barang belanjaanku yang penting di sana. Kami akhirnya memilih bersih-bersih kost sekalian jadi ketika aku akan pindah kost, aku hanya perlu membersihkannya sekali dan mengatur barang-barangku nantinya.     

Beruntung kamarku tidak berdekatan dengan Winda. Entah kenapa aku kurang nyaman saja jika harus berdekatan dengannya. Mungkin karena aku punya trauma di masa lalu tentang wanita yang menggoda suami orang, dulu. Seperti Dera, Clara dan beberapa lainnya yang dengan pakaian minim mereka, mendatangi Zen dan menggodanya.     

Kuhela nafasku memikirkan semua itu hingga Raja menyadari ekspresiku. "Ada apa?" tanyanya.     

Aku menatap sekeliling kamar kostku yang sudah lumayan bersih dan menatapnya dengan tanganku bersilang di depan dadaku. "Apa kamu horni kalau melihat wanita dengan pakaian minim?" tanyaku konyol.     

Raja tertawa mendengar pertanyaanku. "Daisy, sebaiknya sesekali kamu ke USA dan melihat banyak wanita yang berpakaian seperti itu. Biasanya tergantung musim. Tapi yah, nggak memungkiri juga banyak yang tetap berpakaian minim hanya karena memang begitulah karakter mereka," jelasnya.     

"Jadi?" tanyaku menagih jawabannya.     

"Nggak. Aku nggak mudah horni hanya dengan melihat wanita berpakaian minim. Hal seperti itu biasa untukku dan juga Raka," jawabnya.     

Aku menganggukkan kepalaku dan bernafas lega. "Maaf, aku sedikit punya masalah dengan laki-laki yang mudah horni," kataku menjelaskan.     

Raja menaikkan satu alisnya kemudian aku merasa ia mengerti apa yang kumaksud. "Untuk yang sudah biasa melihat hal seperti itu, maka itu nggak akan ada artinya, Daisy. Lagi pula, kamu juga nggak bisa menyalahkan seorang wanita yang sudah karakternya seperti itu."     

"Ya, aku tahu."     

"Jadi, inti dari cerita ini apa? Maksudnya, wanita yang mana?" tanyanya.     

Aku merasa Raja bisa mengerti perasaanku. Jadi sedikit demi sedikit aku menjelaskannya padanya tentang siapa wanita yang kumaksud. Ia mengangguk paham dan lagi-lagi ia mengacak-acak rambutku     

Winda memang berada di lantas yang sama denganku, tapi letak kamarnya agak jauh dariku. Jadi aku merasa lega juga, apalagi setelah mendengar pengakuan Raja.     

"Kostmu cukup bagus," katanya menilai. Ia menelisik ke segala sudut kamar kostku seperti memastikan semuanya terlihat baik dan sempurna.     

"Begitukah menurutmu? Apa ini nggak terlihat seperti rumah susun?" tanyaku.     

"Nggak, ini cukup sempurna, Daisy. Aku senang tahu kamu di sini. Siapa yang merekomendasikannya?" tanyanya.     

"Teman laki-lakiku. Namanya Jeremy. Kamu menilai kostku seperti kamu seorang yang bekerja di properti aja," kataku.     

"Oh, aku belum menyebutkan ya, kalau bidang yang aku dan Raka tekuni itu properti?"     

Aku membentuk bibirku seperti huruf O dan seketika Raja terkejut melihatnya. Padahal sebenarnya aku yang seharusnya terkejut, bukan dia. "Ada apa?" tanyaku.     

"Nggak. Nggak ada apa-apa. Ini udah selesai? Ayo, kita pulang," katanya mengajak. Aku mengangguk dan kami lalu merapikan beberapa barang belanjaanku yang sudah dipakai dan menaruh di tempatnya.     

Di dalam mobil kami diam. Hanya suara lagu yang menyala dan memenuhi isi mobil. Saat di lampu merah, aku menoleh ke sisi kiri jendelaku. Aku melihat sejelas mungkin mobil Zen. Ia memakai kacamata hitamnya dengan jas kantornya. Dan di sisinya terlihat jelas juga ada Rosi. Buru-buru aku melemparkan pandanganku ke depan dan berharap tidak melihat apa pun yang membuat dadaku merasa sesak.     

Tapi bagaimanapun aku tidak bisa menghindari rasa sakit ini. Tiba-tiba air mataku terjatuh dan Raja menyadari itu. "Daisy, ada apa?" tanyanya saat lampu merah sudah berganti dengan hijau.     

Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku hingga membuat Raja terpaksa menepikan mobilnya. Entah apa yang ia ambil di kursi belakang tapi tiba-tiba ia menyodorkanku sebotol mineral.     

"Ayo, minum dan cerita," katanya.     

Aku meminumnya dan menatapnya dengan mataku yang masih berusaha mengeluarkan air mata. Kuceritakan apa yang baru saja terjadi dan membuatku menangis. Ia pun menawarkan dirinya untuk dipeluk, dan aku tak munafik jika aku butuh sebuah pelukan untuk menenangkanku.     

"Aku tahu hal yang seperti itu nggak bisa kamu hindari, sekeras apapun, Daisy. Tapi ikhlaskan, oke?" katanya menasihatiku.     

"Aku lagi mencoba, Raja," kataku.     

Setelah memberikan waktuku sampai aku aku merasa tenang, akhirnya Raja kemudikan mobilnya lagi hingga kami sampai rumah.     

***     

Aku menjalani hariku seperti biasa. Aku juga sudah bekerja ditempatku yang baru. Sudah hampir seminggu lebih hingga kini aku berdiri di sebuah altar yang mana aku akan menyaksikan Ibuku menikah dengan Om Thomas. Aku meminta jatah hari liburku di ganti di hari Minggu, padahal sebenarnya libur di hari Sabtu atau Minggu tidak diperbolehkan, tapi karena aku mengajukannya lebih awal dan alasanku adalah kejujuran, akhirnya pihak yang berwenang menyetujui permintaanku.     

Kulihat Ibu tampak sangat cantik dengan dress putih yang membalut tubuhnya yang masih ramping itu. Aku cukup berkesan dan ia tersenyum bahagia. Ibu benar-benar bahagia dan aku merasa ikut bahagia.     

Melihat pernikahan ini, aku harus benar-benar menghela nafasku beberapa kali. Ini semua mengingatkanku akan pernikahanku bersama Zen. Berada di hadapan para tamu dengan senyum bahagia, di saat aku masih belum tahu apaka aku mencintainya. Atau tidak.     

"Sssttt, jangan menangis. Aku di sini," tiba-tiba Raja mendekat dan merangkul bahuku. Aku memang akan menangis, tapi ketika tahu dia di sisi, aku jadi tidak menangis.     

"Nikmati aja, Daisy," bisiknya. Aku tersenyum dan menatap ke sebelah kananku, yang di mana Raka duduk sedikit menjauh tapi menatapku dengan tatapannya yang sedikit tidak bersahabat itu.     

"Jangan hiraukan Raka, dia emang kaku. Ingat apa kataku, kan?" bisik Raja. Aku terkejut sebenarnya karena Raja seolah tahu setiap pergerakanku. Jadi, aku hanya mengiyakan dan kembali menatap Ibuku dan Papa tiriku.     

"Aku harus mencoba berbicara dengannya nantinya," kataku pada Raja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.