BOSSY BOSS

Chapter 68 - Poor Flower



Chapter 68 - Poor Flower

0"Aku nggak punya hak untuk menjelaskannya padamu kan, Zen," balasku. Aku mendengar nafas Zen tersengal-sengal dengan emosi yang bergemuruh di dalam dadanya. Kulepas tangannya yang mengunci tubuhku dengan perlahan.     

"Seminggu lagi sidang itu di mulai. Sebaiknya jangan urusi urusanku. Urusi aja wanitamu yang sedang hamil itu," kataku kemudian keluar dari bilik kamar mandi.     

Langkahku berhenti ketika aku melihat Rosi tengah melihatku di cermin. Lalu diikuti Zen yang keluar juga dari bilik itu. Namun aku langsung berjalan kembali dan meninggalkannya. Tidak peduli mereka akan bertengkar atau apa, kali ini aku sedang tidak ingin bersikap baik kepada keduanya.     

Setelah acara opening itu selesai, Jeremy dan aku harus kembali. Aku cukup sudah mengenal beberapa keluarga dan temannya. Kebanyakan dari mereka berharap bertemu aku lagi, tapi kurasa itu bukan ide yang bagus untukku saat ini.     

Bagaimana pun menyandang status janda akan membuat kita mendengar beberapa gunjingan yang seharusnya tidak kita dengar. Walau pun, sebenarnya itu bukan hal yang harus diperdebatkan. Karena memang status janda lebih dikenal dengan konotasi negatif.     

"Apa kamu baik-baik aja, Dai?" tanya Jeremy begitu mobil sudah berjalan.     

"Ya, sangat baik. Ada apa?"     

"Tentang mantan suamimu … "     

"Bukan hal yang perlu dipikirkan, Jer. Aku mau berterima kasih untuk bantuanmu. Kalau kamu nggak ada, mungkin aku nggak cukup kuat," ucapku.     

Jeremy tersenyum menatapku. "Syukurlah. Aku juga berterima kasih karena kamu mau menjadi menjalani sandiwara gila itu."     

Ketika aku sudah sampai rumah, Ibu sudah tidur. Jadi, tidak ada kesempatan bagi Jeremy untuk berpamitan dan berterima kasih pada Ibu, selain menitipkan salamnya padaku. Aku langsung membersihkan diri dan naik ke ranjangku.     

Ternyata hari ini cukup panjang. Mungkin karena aku tidak terlalu menikmatinya, jadi rasanya lama sekali waktu berganti hari. Dan sekarang sudah pukul sepuluh. Kutatap sisiku, ranjang yang muat dua orang ini, tidak ada siapa pun di sana.     

Aku masih terbiasa dengan keberadaan Zen di sisiku. Walau pun ia belum pernah tidur di sini, tapi aku terbiasa menatap sisiku dan melakukan pillow talk seperti suami istri pada umumnya. Sekarang yang kubayangkan adalah, Zen dan Rosi bercinta. Aku tahu karena Zen itu maniak seks terhadap wanita yang sama-sama mau melakukan dengannya.     

Memikirkan Zen tidak lantas membuatku bisa tertidur. Justru aku malah beranjak duduk dan kuraih novelku untuku kubaca. Barangkali bisa membuat pikiranku teralihkan dengan isinya.     

***     

Ibu membangunkanku yang ternyata semalaman aku berhasil tertidur hanya dengan membaca novel. Untungnya hari ini aku masuk siang, jadi aku bisa setidaknya melakukan suatu hal di pagi harinya.     

"Jadi, siapa Jeremy itu?" tanya Ibu saat aku mengambil mineral di lemari es dapur. Ia sibuk memasak sesuatu di kompor.     

"Teman, Bu."     

"Oh, ya? Tapi kelihatannya nggak begitu." Ibu menggodaku untuk menjawab sejujurnya. Mungkin ia pikir aku benar-benar tidak jujur padanya.     

Kuputar bola mataku sebelum menjawabnya. "Dia teman, Bu. Apa aku, seorang janda pantas punya pacar? Apa nggak menjijikan kesannya?"     

Aku sadar aku baru saja mengatakan hal yang sepertinya juga membuat Ibu kepikiran. Padahal niat Ibu hanya ingin bercanda padaku. Tapi mungkin juga karena akunya terlalu serius dan tidak begitu siap dengan status baruku nanti.     

"Ibu nggak masalah kalau pun kamu punya pacar, Daisy. Setidaknya orang itu membuatmu benar-benar bahagia," kata Ibu berharap penuh.     

Kuketukkan satu jariku di meja dapur dan memikirkan ucapannya. Lalu tanpa kubalas, aku berlalu dari dapur.     

Punya kekasih saja tidak pernah kupikirkan. Menyukai laki-laki? Aku merasa belum dan tidak ada. Maksudku, Jeremy baik dan ya, laki-laki idaman, mungkin. Tapi aku tidak merasakan spesial padanya.     

Aku hanya masih ada rasa cinta pada Zen setelah aku sadar dan tidak mengatakannya sama sekali.     

Dari pada membahas masalah percintaanku yang tidak jelas, kuputuskan untuk menuju supermarket dan membeli beberapa bahan atau barang yang habis di rumah. Jadi aku berpamitan pada Ibuku dan mengendarai sepeda motorku.     

Semua serba sendiri. Walau tidak ada barang Zen, tapi harus aku akui, kenangan selalu ada untuk dikenang ketika tak sengaja merasa demikian. Hal-hal yang biasanya Zen dan aku lakukan, jelas terlintas di benakku. Padahal aku tidak ke supermarket di mana dulu aku dan Zen berbelanja.     

"Daisy!" sebuah seruan suara membuatku menoleh ke belakang.     

Rupanya itu Ama dan ia pun mendekatiku lalu memelukku. Duh, rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Dan rasanya juga hari ini akan menjadi hari panjang untuk menjelaskan beberapa hal padanya. Aku punya waktu sampai jam kerjaku tiba.     

Akhirnya pertemuan kami harus sampai duduk berdua di kafe supermarket dan memesan sesuatu lalu berbicara ke sana ke mari. Ama menceritakan tentang bahwa ia sekarang memiliki kekasih seorang angkatan laut dan aku ikut senang untuknya.     

Lalu Ama meminta aku menceritakan semua hal yang telah ia lewatkan. Dan ya, tentu saja aku menceritakannya. Walau pun ada nada lemah dan perasaan yang mencambukku ketika membahas soal Zen, tapi aku tidak masalah jika harus membagikan cerita pada Ama.     

"Jadi, lo bakalan menyandang status janda?" tanyanya memastikan.     

"Hmm, ya. Tapi gue harap gue bisa menyandang status single lagi," kataku mencoba menghibur diri.     

"Well, lo emang single dong kalau dilihat-lihat. Tergantung lo memperkenalkan diri aja nantinya. Tapi yah, pasti tetap ada riwayat bukti kalau lo janda sih, ya."     

Aku mengangguk padanya dan menyeruput minumanku.     

"Tapi, nggak mungkin orang mau mengenal lo sampai nanya begitu. Kecuali misal lo serius nih, sama cowok dan-"     

"Stop!" kataku menghentikan ucapan Ama. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, menungguku untuk menjelaskan kenapa aku menghentikan ucapannya. "Sorry, gue nggak minat atau belum minat dalam menjalin hubungan lagi, Ma," kataku kemudian.     

Ama berdecak dan mencembikkan mulutnya. "Gue kan, baru bilang misalnya. Misalnya, Dai! Tapi ya, udah kalau lo emang nggak mau membahasnya."     

Setelah akhirnya kami berdua memutuskan untuk menyudahi pertemuan ini, Ama pulang dengan sepeda motornya, dan begitu pun aku. Sampai rumah aku langsung menaruh barang belanjaan dan mandi untuk bersiap diri.     

"Dai, kamu belum sarapan dan makan siang, lo," kata Ibu mengingatkan.     

"Ya, habis ini aku makan siang, Bu."     

Selera makanku setelah berpisah dari Zen memang menurun. Sudah kurus, sekarang aku benar-benar terlihat kurus. Cinta emang bisa membuatmu terlihat sakit.     

Aku sudah siap dengan kaos polo kerjaku sebagai seragam dan mengikat satu rambutku menjadi ikatan kuda. Lalu kuambil makanan yang sudah Ibu masak dan memakannya. Aku berpikir, sebaiknya aku tidak menyiksa diriku. Apalah artinya kurus jika karena cinta atau hal-hal negatif lainnya. Kalau bukan aku yang menyemangati diriku, siapa lagi?     

"Tadi Zen ke sini saat kamu ke supermarket," kata Ibu memberitahu.     

Aku diam dan tetap mengunyah. Membiarkan Ibu meneruskan ucapannya. "Dia memberi Ibu uang, sesuai dengan perjanjiannya yang akan selalu tanggung jawab pada kehidupan kita," tambahnya.     

Kucuci piring dan kotorku tanpa membalas ucapan itu. Aku hanya ingin mengontrol emosiku. "Aku berangkat ya, Bu," pamitku menciumnya dan meninggalkan rumah.     

Saat berjalan, aku memikirkan niat Zen yang menepati janjinya. Biarlah jika ia masih mau bersilahturahmi pada Ibu. Asal kalau bisa jangan saat ada aku. Setidaknya jangan di saat-saat sekarang ini. Aku masih belum siap dan mau melihatnya kecuali karena terpaksa dan dadakan.     

Sampai kedai, keadaan kedai lumayan sepi. Karena memang hari ini hari kerja, biasanya kedai akan ramai di saat malam. Aku tidak perlu bekerja susah payah kalau begini.     

"Dapat kiriman bunga, tuh," ujar Farah memberitahu dan memberikan gestur ke arah buket bunga yang di simpan di pojok.     

"Dari siapa?" tanyaku.     

"Mana tahu, Dai. Kalau tahu, kita-kita paling udah goda kamu," balasnya dengan senyuman jahil.     

"Kamu nggak goda aja udah jahil gitu, Far," balasku berdecak dan memilih menuju buket bunga itu.     

Aku tidak begitu tahu bunga-bungaan. Dari wanginya sih, sangat enak. Tapi bunga apa ini? Bukan mawar setahuku. Hanya saja bunga ini cantik. Dan ah, aku menemukan kartu ucapan kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu.     

"Selamat bekerja, semoga harimu semakin baik. Jer."     

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya. Ternyata Jeremy yang mengirimini ini. Beruntungnya teman kerjaku tidak melihat kartu si pengirim. Bisa bahaya jika mereka tahu bahwa Jeremy yang mengirimnya.     

"Jadi, siapa?" tanya Farah ingin tahu.     

"No name. Jadi, aku juga nggak tahu. Biar deh, di sini aja. Harumnya enak, nih," kataku tidak sepenuhnya berbohong.     

"Heh, bawa pulang aja nanti! Masa pemberian orang kamu taruh di kedai?" timpal Farah terkejut melihat responsku.     

Sebenarnya ada alasan kenapa aku taruh di sini saja. Aku tidak mau Jeremy berpikir bahwa aku menyukai bunga ini dan membawanya pulang. Setidaknya tidak membiarkan Jeremy berharap apa pun dariku. Aku tahu ia menyimpan suatu perasaan padaku, dan aku tidak siap untuk perasaan-perasaan itu.     

"Di sini lebih baik, Farah. Udah ya, aku mau kerja," balasku mengedipkan satu mataku padanya.     

Jam kerja sudah menunjukkan hampir habis. Aku dan Farah membersihkan kedai hingga dua mataku melihat Jeremy di luar kedai dengan mobilnya. Ia tersenyum dan melambai padaku. Oh, tidak! Kebiasaan ini rasanya membuatnya ketagihan. Ia pasti menunggu jam kerjaku selesai dan ingin mengantarku.Kubalas saja senyumannya dan mengalihkan diriku ke tempat lain.     

"Oke, bye Dai!" Farah melambai padaku untuk kembali pulang. Sementara aku mengunci kedai karena besok pagi aku bertugas membuka kedai ini.     

"Yuk!" suara Jeremy memberikan intonasi bahwa ia menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Aku menatap sekelilingku, memastikan tidak ada yang melihat dan baru kemudian aku masuk. Ya, akhirnya aku masuk dengan alasan tidak enak pada Jeremy.     

"Jeremy, kamu nggak perlu melakukan ini setiap hari," kataku padanya.     

"Apa? Kenapa?" tanyanya heran.     

"Pertama, karena rumahku cukup dekat. Kedua, jangan membuat dirimu sibuk dengan mengantar aku pulang atau sekadar mampir ke kedai hanya untuk melihatku."     

Wajahnya terlihat kecewa mendengar ucapanku. Aku tahu aku harus melukainya setidaknya sekali agar ia sadar bahwa aku ini bukan seorang yang pantas untuknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.