BOSSY BOSS

Chapter 53 - Masih Bersama Rosi



Chapter 53 - Masih Bersama Rosi

0Ada rasa canggung ketika keduanya menyelesaikan yang baru saja terjadi. Zen merapikan pakaiannya dan Rosi pun melakukan hal yang sama.     

Hal yang mengejutkan Zen adalah ketika ia melihat darah di sekitar area yang baru saja menjadi tempat bercinta dengan Rosi. Ia lantas menoleh ke arah Rosi seolah memberikan pertanyaan.     

"Jangan kaget. Memang saya dari dulu belum pernah sampai kita ketemu lagi," jelas Rosi cuek.     

"Maaf, saya … "     

"Sudahlah, Zen. Anggap aja semua nggak pernah terjadi. Saya tahu kamu juga udah beristri," ujar Rosi.     

Setelah mereka siap, Rosi mencoba keluar dari kamar mandi yang diawali mengintip terlebih dahulu apakah aman atau tidak. Begitu aman, Rosi langsung keluar tanpa sepatak kata pun.     

Zen menghembuskan nafasnya sebelum ia keluar. Memikirkan bahwa ini adalah kesekian kalinya ia memerawani seorang wanita, cukup membuatnya merasa bersalah.     

Semua berkumpul di hadapan api unggun. Beberapa yang melihat Zen langsung bertanya ke mana saja ia sedari tadi. Namun Zen menjawab bahwa ia habis melakukan buang air besar.     

Sejenak mata Zen kembali bertemu dengan mata Rosi. Namun Rosi langsung mengabaikannya lagi menganggap bahwa yang baru saja terjadi tidak pernah terjadi.     

Terlepas dari itu, ponsel Zen bergetar. Layar menampilkan nama Tino dan Zen segera menjauh dari kumpulan dan menjawab panggilannya.     

"Bagaimana?" tanya Zen ingin segera tahu info apa yang akan Tino berikan.     

"Sebenarnya saya dan yang lain kurang yakin, tapi lagi-lagi kami melihat Jeep hitam itu, Bos. Ini aneh kan, Jeep itu seperti terlintas terus di area apartemen. Seperti mencari tahu keberadaan Bos juga."     

"Lalu kamu mengikutinya?"     

"Ya. Tapi maaf Bos, akibat macet, Jeep itu lebih dulu dan kami kehilangan jejak," kata Tino.     

Sekilas Zen mengumpat tanpa bersuara. Bibirnya menipis dengan tangan mengepal. Ia lalu mematikan panggilan dari Tino setelah memastikan tidak ada info lagi.     

Zen masih sendiri di tempat di mana ia menerima panggilan Tino tadi. Pandangannya lurus ke arah danau yang memang ada di dekat villa itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Menahan dingin yang mencekam dan rindu yang semakin terancam. Zen merindukan Daisy.     

"Nih, makan. Kamu belum sempat makan daging barbekyu tadi." Tiba-tiba suara Rosi mendekat dengan membawa piring kecil berisikan hasil barbekyuan dekat api unggun tadi. Ia memberikan piring itu ke Zen.     

Zen menerimanya sekaligus menatapnya, sementara tatapan Rosi ke arah danau tanpa beralih.     

"Thank's," ucap Zen.     

"Di makan, bukan dilihatin," cibir Rosi.     

"Saya nggak lapar."     

"Kenapa? Apa setelah menerima satu panggilan tadi ada hal serius yang bikin kamu kepikiran?" tanya Rosi ingin tahu.     

Zen bergumam. Kini pikirannya jadi bercabang dengan kehadiran Rosi. Di satu sisi ia memikirkan beberapa jam sebelumnya bersama Rosi, di lain sisi ia memikirkan penculikan Daisy.     

Sekarang Rosi datang dengan rasa simpati yang membuat Zen semakin bingung dengan pikiran Rosi.     

"Maaf, saya bukan bermaksud ikut campur. Tapi kalau kamu ingin curhat, saya siap mendengarkan," kata Rosi dengan perhatian.     

Zen, tentu saja tidak bisa mengatakan hal tentang Daisy di hadapan wanita yang baru saja bercinta dengannya. Apalagi wanita itu pernah ia sakiti hingga saat ini yang katanya masih membekas.     

"Maaf, saya nggak bisa menceritakan apa-apa sama kamu," balas Zen sekenanya.     

Rosi diam dengan pandangan masih terpaku pada danau. Diam-diam Zen melirik Rosi. Jika dilihat dari samping, silut Rosi lebih terlihat estetik. Pancaran cahaya bulan yang membias ke danau hingga menjadikan siluet Rosi membuatnya sadar akan cantiknya Rosi yang alami.     

"Jangan lihat saya kayak gitu," tegur Rosi yang ternyata merasa Zen sedari tadi menatapnya. Zen terkesiap dan mengembalikan tatapannya pada danau.     

"Maaf kalau dari awal saya jutek sama kamu. Saya nggak bermaksud, tapi yah, kadang ada sesuatu yang membuat saya teringat hingga membuat saya jadi cewek yang terkesan buruk di mata kamu," ujar Rosi menjelaskan.     

"Bukan salahmu dan saya nggak masalah."     

Rosi menghela nafasnya. "Ba-bagaimana tentang istrimu?" tanya Rosi seketika.     

Momen di mana Zen berpikir tidak ada yang bertanya tentang istrinya ternyata cukup salah. Rosi, yang mungkin mewakili dari beberapa teman disana, kini bertanya tentang Daisy. Entah itu pertanyaan ingin tahu atau memang ia mewakili teman yang lain.     

"Belum ada kabar," akhirnya Zen menjawab seperlunya.     

"Semoga cepat ketemu, ya."     

"Terima kasih, Rosi," balas Zen bergetar. Rosi langsung menoleh ke arah Zen begitu mendengar nada parau Zen. Ia melihat dari samping bahwa mata Zen berkaca-kaca.     

Mendadak tangan Rosi terulur ragu ke arah bahu Zen. Ia mengusapnya dengan lembut hingga Zen berpaling ke arahnya. "Mau pelukan? It's ok Zen, kalau kamu mau menangis." Tanpa membalas ucapan Rosi, Zen langsung memeluk Rosi dengan erat. Tubuh hebatnya bergetar hingga tetesan air matanya keluar membasahi baju Rosi.     

Tidak ada pembicaraan lagi di saat pelukan itu berlangsung. Zen merasa benar-benar butuh pelukan seseorang seperti Rosi. Selama ini ia hanya diam dan menahan semuanya. Kehilangan Daisy benar-benar membuatnya sakit dan merasa terluka.     

***     

Hari kedua di villa Zen merasa cukup baikan. Setelah semalam memiliki kesempatan memeluk seseorang untuk menebas rasa sakitnya, ia merasa sangat lumayan baik.     

Keadaan villa masih sepi dari aktivitas. Beberapa temannya ada yang belum bangun dan Zen merasa lapar.     

Ia pun berencana keluar villa untuk mencari sarapan seorang diri. Sembari memanasi mobil, ia melihat Rosi mendekat. Walau begitu, Zen hanya diam dan menunggu agar Rosi yang menyapanya.     

"Pagi, Zen. Kamu mau ke mana?" tanya Rosi.     

"Pagi. Saya mau mencari sarapan," jawab Zen.     

"Apa saya boleh ikut?"     

Zen tidak tahu jika dampak dari bercinta dengan mantan kekasih kilatnya itu bisa membuatnya jadi sedikit lebih agresif. Rosi jadi lebih sering menyapanya lebih dulu. Berbeda seperti di awal-awal yang hanya diam dan mengabaikannya.     

Ditambah cara bicara Rosi benar-benar seperti Daisy saat pertama kali, membuatnya mengalami dejavu berulang kali. Ia tidak tahu kenapa berbicara dengan Rosi harus seformal ini. Bahkan saat masa pacaran dulu pun cara bicara mereka masih sama.     

"Nggak boleh, ya? Ok, saya pergi sendiri aja," kata Rosi memutuskan saat Zen sendiri belum memberikan jawaban.     

"Ikutlah. Saya hanya sedang melamun tadi," jawab Zen akhirnya ketika ia melihat Rosi memegang bagian perutnya. Zen tahu sedari dulu Rosi memiliki kelemahan asam lambung atau maag. Dan saat ini Zen bisa melihat Rosi sedang kesakitan.     

Mobil pun berjalan dan seperti biasa, di dalam mereka hanya diam. Rosi masih memegang perutnya dan bahkan merasa seperti lebih kesakitan. "Kenapa nggak bilang kalau maag kamu kambuh?" tanya Zen akhirnya.     

Rosi menoleh ke arah Zen dan melepaskan tangannya dari perutnya. "Kamu masih ingat penyakit saya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.