BOSSY BOSS

Chapter 52 - Bersama Rosi



Chapter 52 - Bersama Rosi

0Para pria hidung belang itu melihat bagaimana suara Zen cukup mengancam mereka. Mereka pun mundur selangkah demi selangkah sampai Zen tidak melihat mereka lagi.     

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Zen melihat Rosi. Rosi hanya melihat Zen dan berkata, "Ayo, yang lain pasti nunggu kita." Ia pun mendahului Zen menuju mobil.     

Dalam perjalanan keduanya diam. Hanya hembusan nafas merekalah yang saling bersahut-sahutan. Lalu tiba-tiba Rosi membuka suaranya.     

"Tadi itu nggak perlu kamu pakai alasan seperti itu," ujar Rosi saat mereka sudah di dalam mobil.     

Zen hanya diam tidak menjawab perkataan Rosi. Ia hanya tidak suka melihat seorang wanita digoda oleh laki-laki hidung belang. Apalagi ketika melihat Rosi tidak melawan sedikit pun. Malahan ia menunjukkan wajah ketakutannya pada mereka.     

"Saya hanya membantu. Lagian orang seperti itu pantas diberi pelajaran."     

"Padahal saya nggak apa-apa tadi."     

"Jangan bohong. Siapa pun bisa melihat wajah ketakutanmu itu."     

Rosi diam. Ia tahu apa yang dikatakan Zen ada benarnya. Ia hanya malu mengakuinya saja.      

"Dengar Rosi … saya tahu kamu berubah seja-"     

"Sejak saya memutuskanmu karena perselingkuhanmu dengan Dera. Beruntung sekali dia nggak datang," timpal Rosi memotong ucapan Zen.     

Zen menghembuskan nafasnya karena memang begitulah ceritanya. Inilah momen yang ingin sekali ia hindari ketika Dito memberikan idenya untuk pergi bersama Rosi. Mereka sempat berpacaran di waktu yang sebentar. Namun luka yang Zen berikan cukup membekas bagi Rosi sampai sekarang ini.     

Padahal dulu Dera hanya sebatas teman ranjang, namun Zen tahu, bagaimanapun seseorang akan menganggapnya berselingkuh.     

Rosi langsung turun dari mobil saat mereka sudah sampai villa. Zen pun membantu Rosi membawa barang-barang yang sudah dibeli ke dalam.     

Api unggun yang berkobar telah siap dinikmati. Zen sudah berganti pakaian sekaligus mandi sebelumnya. Kini ia hanya duduk di depan api unggun menikmati hangatnya suhu yang diberikan oleh api unggun itu.     

Satu malam yang hampir ia lewati cukup membuatnya berhasil lupa akan Daisy. Ia benar-benar tidak memikirkan Daisy walau di saat rasa sepi seperti sekarang ini, ia benar-benar merindukan istrinya itu.     

Zen bahkan tidak mendapat kabar apa pun dari anak buahnya atau instansi yang membantu pencarian Daisy. Artinya benar-benar mereka belum menemukan Daisy sampai saat ini.     

Ponsel Zen berdering dan ia melihat nama Mamanya muncul di layar. Dahinya berkerut karena tidak biasanya Mamanya menghubunginya di malam seperti ini.     

"Halo?" sapa Zen.     

"Kamu di mana, Zen? Mama ada di apartemenmu."     

"Ah, saya ada kumpulan sama teman SMA, Ma. Mungkin selama tiga hari ke depan," jelas Zen.     

Terdengar Neva menghela nafasnya. "Ya, sudah. Nikmati waktumu ya, Nak. Mama tadi cuma pengen lihat apa kamu baik-baik aja."     

"Saya baik-baik aja, Ma. Terima kasih," kata Zen.     

"Apa kamu yakin? Mama khawatir, Nak. Dan bagaimana, apa ada kabar?"     

Zen menggelengkan kepalanya seolah Neva bisa melihat. "Belum ada sama sekali, Ma. It's OK, saya bisa sabar menunggu."     

"Ya, sudah. Kalau begitu Mama sebaiknya pulang aja. Tapi rasanya Mama akan di sini beberapa menit, apartemenmu berantakan sekali," ujar Neva. Zen terkekeh. Ia memang sedang tidak baik-baik saja sejak Daisy menghilang. Membuat semuanya jadi berantakan tak teratur.     

Ia pun menutup panggilan Neva setelah Mamanya menutup duluan.     

"Zen! Bisa tolong ambil alat bakaran di dapur?" teriak Lela, teman wanitanya yang lain.     

"Ya. Oke," jawab Zen sekenanya.      

Ia berdiri dan melangkah ke dapur. Selama ini tidak ada yang pernah memerintahnya kecuali Mamanya. Zen lebih suka memerintah. Namun dikarenakan keadaan yang sekarang, ia pun mengikutinya saja.     

Saat sampai dapur, matanya bertemu Rosi yang juga menatapnya. Selama sepersekian detik mereka saling bertatapan hingga Rosi mengalihkan pandangannya duluan. Zen pun memulai mencari alat bakaran itu.     

Andai saja ia tadi bertanya di mana letak alat bakaran itu sesungguhnya, pastilah Zen tidak akan mencari-cari seperti orang bodoh. Apalagi di dapur ini ia bersama Rosi.     

"Cari apa?" tanya Rosi yang sadar sedari tadi Zen mencari sesuatu.     

"Alat bakaran," jawab Zen sekenanya.     

"Ada di bawah kaki saya," Rosi memberitahu. Zen menatap bawah Rosi. Dan benar saja alat bakaran itu ada di sana.     

Perlahan Zen mendekat dan membungkuk untuk mengambilnya. Lalu ia berdiri dan melihat Rosi seakan tidak kuat akan sesuatu. Nafas Rosi menderu dan Zen yakin ia sedang memikirkan atau membayangkan sesuatu.     

"Kenapa? Ada apa?" tanya Zen mendekat. Rosi harus mundur dan mengatur nafasnya lagi.     

"Jangan … " kata Rosi.     

"Apa yang kamu pikirkan, Ros?"     

"Mundur, Zen," perintah Rosi.     

Bukannya mundur, Zen malah semakin membuat Rosi terpojok. Ia mengunci akses Rosi dan membelai pipi Rosi. Beberapa helai rambutnya ia selipkan ke belakang telinga Rosi hingga wanita itu mendesah.     

"Kamu tahu, persetan dengan rasa cuekmu itu, Ros!" ujar Zen yang langsung merengkuh rahang Rosi dan mencium bibirnya. Zen melumat bibir Rosi kasar.     

Hebatnya, Rosi membalas ciuman itu lebih gila hingga membuat Zen semakin gila.     

Zen mengangkat Rosi dan mendudukkannya di meja dapur. Ia lalu membuka paha Rosi sedikit lebar agar bisa memberi akses pada jari jemari Zen. Beruntungnya Rosi mengenakan dress sehingga Zen hanya tinggal mengangkatnya.     

"Jangan di sini, Zen," lirih Rosi.     

Zen memikirkan tempat yang nyaman agar ini semua tidak tanggung. Ia pun melihat ada kamar mandi di dapur. Digendongnya Rosi ke dalam kamar mandi dan dengan buas ia melucuti pakaian Rosi hingga Rosi tidak mengenakan sehelai benang pun.      

Rosi melenguh tak tahan saat bibir Zen dengan lincah menjelajahi lehernya hingga menuju puting dan menghisapnya. Lalu ketika Zen berhenti di tempat di mana para wanita akan merasakan kenikmatan, ia pun mengangkat satu kaki Rosi dan dengan lihai bibirnya memainkan bagian itu.     

"Zen!" suara serak Rosi merengek. Zen berhasil memberinya kepuasan.      

Kini gantian Zen yang menginginkan dirinya merasakan kenikmatan itu. Ia melepas pakaiannya dan menurunkan celananya. Lalu Zen mengangkat Rosi dan membiarkan dinding kamar mandi menahannya. Karena waktu yang tak cukup, Zen memaksa masuk miliknya ke milik Rosi yang cukup sempit. Ia mulai bergerak perlahan seraya mengulum puting Rosi nikmat.     

Zen tidak tahu bahwa bercinta dengan Rosi akan senikmat ini. Ia juga baru sadar betapa seksi dan menggairahkannya tubuh Rosi di matanya.     

"Yang cepat, Zen!" pinta Rosi.     

"Kamu merasakan nikmat?" tanya Zen padanya dengan nafas memburu.     

Rosi mengangguk dengan nafas tersengal-sengal. "Apa ini yang kamu inginkan dari dulu?" tanya Zen memancing Rosi.     

"Ya … hmm, please."     

"Panggil aku Bos, Rosi," kata Zen memerintah.     

"Bos … "     

"Sekali lagi," perintah Zen lebih kasar.     

"Bos … saya mohon," pinta Rosi hingga membuat Zen semakin gila dengan lenguhan dan rengekan Rosi meminta lebih.     

Zen pun mempercepat gerakannya dan guncangannya hingga membuat Rosi menekan kuku-kukunya di tubuh Zen. Tangannya membawa kepala Zen untuk menuju putingnya dan menghisapnya.     

Semakin Zen bergerak cepat, semakin keras tangan Rosi menahan kepala Zen agar tetap menghisap putingnya.     

"Aku … mau keluar lagi," kata Rosi serak.     

"Kita akan keluar bersama," erang Zen lebih semakin cepat ketika keduanya bersamaan telah mencapai puncak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.