BOSSY BOSS

Chapter 97 - Goodbye Jer & Hello New York



Chapter 97 - Goodbye Jer & Hello New York

0Hari keberangkatan itu tiba. Di pagi hari yang masih berkabut, aku sudah diantar satu keluarga ke bandara. Rasanya aneh untuk pertama kali meninggalkan Indonesia. Walau untuk sementara, tapi sudah pasti di New York akan menetap lama. Mengingat aku tidak terikat oleh satu perusahaan, kehidupanku masih dijamin oleh ayah tiriku, dan pekerjaan online shopku dikelola oleh Ama, tentu kelihatan sekali aku akan berada di New York untuk jangka waktu yang lama.     

Jika seperti ini, rasanya aku ingin melepaskan Jeremy. Jarak kini semakin jauh. Dan sekarang perasaanku sedang tidak keruan. Apalagi kami masih baru, tentunya bukan masalah yang besar jika aku memutuskannya.     

Sambil menunggu seseorang yang kuharap akan benar-benar datang untuk melihatku, aku memberanikan diri menghubungi Jeremy. Lamat-lama, aku memandang nama kontaknya yang tertera di ponselku. Kutarik nafasku dan kuhembuskan. Aku tahu aku akan mengambil langkah yang benar. Aku tidak ingin menyakiti seseorang lebih dalam.     

"Hei, udah di bandara?" tanyanya. Suaranya masih sama, masih terdengar khasnya.     

Aku mengangguk walau ia tidak bisa melihatku. "Iya. Hmm, Jer… ada yang mau aku bicarakan."     

"Oh… katakanlah," katanya. Kali ini aku mendengar seperti ia tahu aku akan mengecewakannya.     

"Aku ingin kita putus," ucapku tanpa berlama-lama. Sejenak ia terdiam. Aku hanya mendengar nafasnya menderu. Mataku memanas. Aku benar-benar mengecewakannya karena keegoisanku sendiri.     

"Ada. Apa?" tanyanya lirih.     

"Aku… nggak bisa jarak jauh, Jer. Maaf aku mengecewakanmu."     

Aku langsung memutuskan sambungan secara sepihak. Lalu aku menuju toilet untuk meredam emosiku. Kutatap wajahku yang kelihatan sekali ingin menangis. Mata dan hidung yang merah. Semua runtuh ketika aku melihat diriku sendiri. Air mata itu terjatuh.     

Ponselku bergetar. Ada nama Sean muncul. Dan aku langsung menjawabnya.     

"Keluarlah dari toilet," perintahnya lalu aku benar-benar keluar karena tidak sangka bahwa Sean tahu aku sedang ada di toilet. Apakah ia tahu sedari tadi?     

Sean langsung memegang kedua pipiku. Aku menatapnya sendu dengan bekas air mata yang masih tersisa.     

"Apa yang terjadi?" tanyanya.     

"Aku memutuskan Jeremy," jawabku.     

Ia langsung membawaku ke dalam dekapannya. Tidak peduli banyak orang yang melihat. Dan sekarang aku di hadapkan keluargaku yang melihat ke arahku.     

Raka memandangku dengan tanya, tapi ia seperti menyadari sesuatu dan bersikap senormal mungkin.     

Ada perasaan lega dalam diriku ketika Sean memelukku dan keluargaku melihat kami. Aku tidak perlu sembunyi-sembunyi walau risikonya Winda akan melihatku. Tapi tidak! Winda tidak tahu aku akan ke New York.     

Sekarang, aku tidak peduli dengan suatu hubungan untuk saat ini. Mungkin memang aku harus menyendiri dulu sambil menikmati sesuatu yang kuinginkan.     

Aku tidak ingin menyakiti dan mengecewakan seseorang. Saat ini yang ada di pikiranku adalah menggunakan alat tes kehamilan setibanya di New York. Aku masih belum berani menggunakannya di sini. Setidaknya mungkin Raja akan ada di sisiku. Aku hanya perlu mengesampingkan keegoisanku dan memilih berdamai dengan keadaan.     

"Hubungi kami ya, kalau sudah sampai. Sudah Raka kasih tahu petunjuknya, kan?" kata Ibu sekaligus bertanya.     

Aku mengangguk. "Tenang, Bu. Aku juga sekalian jalan-jalan ke sana, kan?" Kuberikan senyum agar mereka terlihat tenang.     

Perjalanan ini memakan waktu satu hari penuh. Setidaknya aku memang harus terlihat tenang dan memikirkan apa yang harus aku lakukan di New York nanti saat bertemu Raja.     

Saat penerbanganku diumumkan, aku langsung memeluk semuanya. Kecuali Reina. Aku tidak ingin bersentuhan dengan wanita itu untuk saat ini.     

Lalu pada Sean sekali lagi. Kami bertatapan sebentar. Aku tidak ingin ada hubungan yang serius. Tidak sekarang sampai aku merasa benar-benar mantap. "Be safe, Daisy," katanya. Sean mencium bibirku di depan keluargaku. Aku terkesiap tapi aku tidak peduli setelahnya.     

Aku melangkah menjauh dari mereka yang melambai ke arahku. Beberapa jam ke depan, semua akan berubah.     

***     

Aku meregangkan otot-otot tubuhku saat tiba di JFK International Airport. Cuaca sedang berangin dan untungnya aku memakai mantel yang sudah disiapkan Raka mengingat ialah yang berpengalaman di New York.     

Hawa dingin menusuk tulang, tapi aku merasa senang berada di sini ternyata. Kini aku hanya bisa mencari taksi untuk menuju apartemen Raja. Kata Raka, dari bandara ini menuju apartemennya memakan waktu 38 menit. Yah, nggak masalah, aku bisa sembari melihat situasi dan beradaptasi di sini.     

Beruntungnya kemampuan Bahasa Inggrisku tidak begitu buruk. Aku bisa berbicara dan menangkap apa yang mereka maksud. Rasanya menyenangkan ternyata.     

Setibanya di apartemen, perasaan aneh masuk ke dalam diriku. Aku tidak langsung masuk, tapi aku berdiri memandang gedung megah ini dengan perasaan tak keruan. Apa yang sedang Raja lakukan saat malam ini?     

Kutarik dan kuhembuskan nafasku. Aku mulai melangkah masuk ke dalam dan mencari nomor kamar sesuai catatan di ponselku yang diberikan Raka.     

Apartemen Raja berada di lantai sepuluh. Untungnya tidak perlu memakan waktu lama untuk menuju ke sana. Aku sudah cukup lelah berlama-lama di luar seperti satu hari penuh perjalanan menuju ke sini.     

Dan kini… aku berdiri di depan pintunya. Jantungku berdetak cepat. Haruskah aku mengetuk atau langsung masuk dengan kunci akses yang diberikan Raka?     

Aku mencoba mengetuk sekali. Tidak ada respons. Mungkin sebaiknya aku membukanya sendiri saja. Aku langsung membuka kenop pintu dan masuk ke dalam. Kulangkahkan kakiku semakin ke dalam dan memeriksa setiap kamar, barangkali aku akan bertemu Raja.     

Samar aku mendengar suara dari kamar utama. Aku membuka kamar itu dan saat itu juga mata Raja bertemu dengan mataku.     

Aku terkejut dan diam sejenak karena merasa syok. Ia sedang bercinta dengan seorang wanita. Posisinya ada di bawah dan wanita itu ada di atasnya. Langsung sadar, aku langsung berbalik dan keluar dari apartemennya.     

Jantungku berpacu dengan cepat. Kenapa juga aku harus keluar padahal bisa saja aku menunggu di kamar lain atau ruangan lain? Sial. Kenapa jadi begini, sih.     

Tiba-tiba suara pintu terbuka dan wanita yang bersama Raja tadi keluar dengan penampilan acak-acakan. Ia melihatku dengan tatapan kesal dan mengatakan, "fuck you!" Lalu pergi begitu saja.     

"Kamu mau berdiri di sini terus atau mau masuk?" suara Raja mengejutkanku hingga aku menoleh ke arahnya dan dengan gugup aku masuk ke dalam.     

"Duduklah dan lepas mantelmu," katanya. Aku duduk setelah melepas mantelku. Lalu Raja datang dengan membawa sebotol air mineral dan memberikannya padaku.     

Kutegak air mineral itu sampai habis dan rasanya benar-benar segar di tenggorkanku.     

"Ngapain kamu di New York?" tanya Raja langsung.     

"Liburan. Aku meminta kunci kepada Raka dan dia memberikannya." Setidaknya aku tidak terdengar seperti merasa gugup walau aku berbohong.     

Raja menatapku dan mencari-cari apakah aku berbohong atau tidak. Lalu ia menghela nafas dengan frustrasi. Sepertinya aku mengganggu aktivitasnya tadi. Jelas sekali ia belum merasakan akan keluar.     

"Berapa lama?" tanyanya.     

"Hah? Apa?"     

"Berapa lama kamu di New York?"     

"Sesuka hatiku, Raja," jawabku sekenanya.     

Raja sama sekali terlihat berbeda. Ia jadi sedikit lebih angkuh daripada terakhir kali ia berbicara padaku.     

"Kamarmu di sana. Kamu bisa tidur di sana," katanya seraya menunjuk kamar kedua di hadapannya. Aku mengangguk dan Raja berdiri untuk menuju kamarnya. Tiba-tiba ia berbalik dan menghadapku.     

"Aku nggak mimpi kan, kamu di sini?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.     

Aku menahan tawaku dan tidak menjawabnya.     

***     

Masih belum terbiasa, aku benar-benar tidak tidur semalaman hanya karena tidak menyangka bahwa aku sudah di New York. Ah, iya… aku teringat bahwa aku harus memakai alat tes kehamilan itu.     

Hasilnya negatif, tapi kenapa aku belum juga datang bulan? Apa akhir-akhir ini karena rasa stressku? Aku bahkan belum pernah setelat ini kecuali saat pertama aku tahu bahwa aku hamil.     

Nanti sajalah memikirkan ini, aku harus berinteraksi dengan Raja.     

"Bagaimana tidurmu, Daisy?" tanya Raja saat ia sedang ada di dapur tanpa atasan hanya mengenakan celana jeansnya.     

Aku menoleh ke arah kamarnya yang sedikit terbuka dan melihat seorang wanita yang bukan wanita semalam, tengah tertidur di kasurnya. Sepertinya Raja menyewa wanita malam.     

"Aku belum bisa tidur," jawabku akhirnya.     

Semalam aku tidak mendengar suara apapun dari arah kamarnya. Apakah ia menutup pintu kamarnya atau ruangan ini memang kedap suara?     

"Dia… siapa?" tanyaku mengarah ke dalam kamarnya.     

"Wanita malam. Ups, jangan salah sangka dulu. Aku dan Reina sudah putus. We broke up!" katanya.     

Aku memasang wajah tidak tahuku untuk berpura-pura. Kuekspresikan keterkejutanku untuk meresponsnya.     

"Hah? Kalian? Ada apa?" tanyaku.     

"Wait a moment," ujarnya dengan satu jari dan ia masuk ke dalam kamarnya.     

Tidak lama ia dan wanita itu keluar. Wanita itu keluar dari apartemen, sementara Raja kembali ke dapur. Sepertinya tipikal wanita yang disukainya memiliki kulit eksotis dan rambut hitam atau cokelat.     

"Si brengsek itu… maksudku, Reina, ternyata lebih memilih si kaku, Raka. Ah, dunia terasa kecil kalau perputarannya hanya itu aja," jelasnya.     

Aku mengerti maksudnya, dan Raja jelas terlihat terluka karena masalah itu. "Itu sebabnya kamu jadi sering tidur sama wanita malam?"     

"Yes. Aku butuh pelepasan, Daisy. Sebanyak apapun buat mengalihkan pikiranku."     

Kutelan ludahku susah payah. Mendengar itu, rasanya terdengar nikmat. Aku ingin menawarkan diri untuk menjadi pelampiasannya daripada ia harus membuang uang untuk wanita malam. Lagipula, aku tidak bisa terus menerus membiarkannya begitu, aku juga ingin disentuh.     

"Apa kamu membencinya?" tanyaku.     

"Yes I do! Hate her as much as I love her!"     

Aku berdiam sesaat. Apa yang harus kulakukan jika begini. "Aku akan ke kantor. Lakukan hal yang kamu ingin lakukan, oke?" katanya dan keluar dari dapur.     

"Raja…" panggilku.     

Ia berbalik dan menoleh. "Ya?"     

Sejenak aku diam. Haruskah aku membicarakannya sekarang?     

"Ada apa, Daisy?" tanyanya kini melembut.     

"Hmm… aku saja… maksudku, bercinta saja denganku," ucapku.     

Raja mendekat perlahan. Bersamaan dengan itu, nafasku menderu. Sekarang jarak kami terlalu dekat. Aku yang sedang duduk di kursi bar, dan Raja berdiri di antara dua pahaku yang terbuka.     

"Apa kamu yakin?" tanyanya membuatku menggelora.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.