BOSSY BOSS

Chapter 96 - Crazy Yet Love



Chapter 96 - Crazy Yet Love

0"Jangan mendekat!" seruku.     

"Atau apa, Daisy? Aku tahu kita berdua menginginkan sesuatu yang sama."     

Air mataku semakin terjatuh membasahi pipiku. Kurobek-robek dokumen itu di hadapannya dan Sean berhenti melangkah ke arahku. Kertas dokumen itu benar-benar tidak berbentuk sekarang. Aku membuangnya di hadapan kami sehingga serpihan kertas itu terjatuh melayang ke bawah.     

"Kamu pikir dokumen itu berguna untukku, hah?" ujar Sean melanjutkan langkahnya.     

Aku terpojok pada dinding kayu yang tidak ada celah untuk melarikan diri. Lalu aku merosot ke bawah dan menangis terduduk menutup wajahku. Aku benci menangisi sesuatu yang tidak kuinginkan perasaan ini ada di waktu yang tidak tepat.     

Sean meraih tanganku dan ia menaikkan daguku. Menatapku dengan intens dan membawaku dalam dekapannya. "Maafkan aku. Aku nggak bermaksud membuatmu menunggu," katanya.     

"Aku nggak menunggumu," kataku bohong.     

"Jangan bohong. Untuk apa kamu menangis, Daisy? Katakan padaku."     

"Aku… nggak menangis," kataku bohong lagi. Kuusap air mataku dan kemudian aku memaksa diri untuk berdiri. "Aku harus pulang," kataku.     

"Stay. Kalau kamu ingin perjanjian itu berakhir. Berikan satu kesempatan hari ini jadi milik kita," ucapnya memohon.     

Mendengarnya memohon seperti itu membuat benteng pertahanku jebol. Aku langsung menatapnya dan kemudian aku memegang pipinya lalu tiba-tiba bibirku mendarat begitu saja untuk menciumnya. Sean membalasnya lebih lembut.     

"Ini yang kita inginkan, bukan? Apa kamu mulai jatuh cinta padaku, Daisy?" katanya di sela-sela ciuman kami.     

Aku melenguh dan memilih tidak menjawabnya. Mungkinkah aku mencintainya? Tapi aku harus memilih dan melepaskan salah satu. Aku tidak ingin perasaan ini hanya sementara. Tapi jujur saja, perasaan terhadap Sean memiliki bagian besar daripada Jeremy. Hanya saja aku belum tahu harus memilih yang mana. Aku juga tidak ingin menyakiti Winda yang sudah bahagia dengan Sean.     

Sean melepask kancing bajuku. Kemudian tangannya dengan lihai melepaskan celana jeansku. Ini tidak adil di saat ia masih mengenakan pakaian sementara aku sudah tidak dengan pakaianku.     

"Karena aku mulai jatuh cinta padamu, Daisy," ungkapnya.     

Kulepaskan ciuman itu dan menatapnya. Matanya mengatakan kejujuran. "Biarkan begini dulu," lirihku mendesah.     

Sean kemudian menuntun tanganku untuk melucuti pakaiannya. Dan dengan cepat kami benar-benar telanjang. Sean masih tidak melepas ciumannya dan ia hanya menciumiku terus menerus. Kemudian perlahan mengangkatku dan membiarkan dinding juga menahanku. Kulingkarkan kedua kakiku di pinggangnya ketika Sean mencoba memasukkan miliknya ke milikku.     

Aku mendesah kecil ketika aku merasakan miliknya secara utuh sudah berada di dalamku. "Belum pernah ada wanita yang membuatmu merasakan cinta seperti ini, Daisy," katanya. Bibirnya turun ke pangkal leherku dan ia menunduk sedikit untuk mengisap payudaraku.     

Entah kenapa aku mau merasakan ini lagi setelah tahu semuanya. Sepertinya kesempatan seperti ini memang tidak bisa kuhindari sekesal apapun aku dengannya.     

Kali ini Sean benar-benar lembut. Ia benar-benar membuat waktu bermakna bagi kami. Menyelesaikan yang harus kami selesaikan. Ia bahkan masih menggendongku dan membawaku ke berbagai sudut.     

Lalu hal yang membuatku terkejut, ia membawaku ke teras. "Sean… nanti ada yang lihat," kataku.     

"Nggak ada. Hanya kita di sini," katanya mengecupku lagi.     

Aku merasa frustrasi karena ia tidak bergerak cepat. Ia menaruhku di bagian pagar kayu. Mendudukiku di sana dan ia berdiri bergerak maju undur. Fantasinya memang liar dan membuatku merasa bahagia walau sejenak.     

"Winda bahkan nggak merasakan hal-hal yang kulakukan bersamamu," lirihnya padaku.     

Sean benar-benar tidak melepaskan miliknya saat aku sudah beberapa kali keluar. Tapi aku senang, jadi aku menikmati semua ini selagi bisa. Sekarang ia membawaku ke dalam. Ke dapur. Lagi-lagi membuatku duduk di sana.     

Kali ini Sean bergerak cepat. Membuatku tersentak dan tidak tahan. Lalu aku terkulai lemas hingga membuatnya harus melepaskan miliknya dan membopongku ke dalam kamar. Sean membaringkanku di atas ranjang. Mengecupku dan menyelimutiku lalu aku tertidur.     

Suara televisi dari ruang tamu terdengar menyala. Aku terbangun dan beranjak tanpa pakaian keluar. Hasratku kembali naik dan aku melihat Sean sedang menonton. Ia tidak memakai celana, artinya ia memang masih mau bercinta. Jadi aku mendekat dan ia terkejut melihatku sudah terbangun.     

Ketika Sean akan berdiri. Aku menahannya. "Kali ini biarkan aku," kataku padanya. Dan ia diam menurut.     

Aku terduduk di bawahnya dengan lutut bersimpuh. Kemudian aku memegang miliknya yang sudah mengeras. Dan aku membuatnya merasakan kenikmatan dengan caraku. Aku bisa melihat Sean tidak bisa menahannya. Ia menarik rambutku dengan tarikan kecil dan akhirnya ia merasakan itu.     

Nafasnya memburu dan aku tersenyum nakal. "Belum seberapa, Sean. Kamu belum pernah membiarkanku membuatmu puas dengan caraku," kataku padanya dan berdiri.     

Aku membalikkan tubuhku dan naik ke atasnya. Berjongkok di atasnya setelah memasukkan miliknya ke dalam milikku. Perlahan aku bergerak sementara kedua tangannya memegang pinggangku.     

Aku bergerak naik turun dengan cepat, secepat mungkin karena aku merasa juga akan keluar. Sean menggeram karena merasakan kehebatanku. "Daisy! Sial!" katanya dan seketika itu juga kami keluar bersama.     

"Astaga, apa yang kamu lakukan padaku, Daisy?" katanya setelah aku berbalik menghadapnya dan kini bagian ini yang kusuka. Berada di pangkuannya.     

"Dan apa… yang kamu lakukan padaku juga?" tanyaku.     

Aku memainkan peranku. Membuatnya menikmati tubuhku secara puas. Aku bergetar dengan hebat ketika entah keberapa kalinya aku merasa akan keluar. Sean benar-benar pintar dengan mulut dan tangannya.     

Setelah bermain, kami berpelukan di sofa. Tidak melepaskan milik kami satu sama lain. Aku pasti akan merindukan kebersamaan ini. Perasaan yang sebentar ini, aku rasa. "Aku mencintaimu, Daisy," ucapnya.     

"Seks membuat seseorang jatuh cinta," kataku.     

"Nggak. Sejak melihatmu dikolam, aku bohong kalau aku sudah menyukaimu," ungkapnya.     

Aku menatapnya dan mencium bibirnya. "Kenapa kamu nggak bilang?"     

"Karena saat itu kamu bilang kamu punya pacar. Dan aku nggak mau sampai menyakiti kekasihmu. Makanya aku membuat perjanjian sialan itu," jelasnya.     

Sean tidak tahu kalau saat itu aku bahkan belum resmi berpacaran dengan Jeremy. Itu hanya alasan agar ia menjauh. Well, itu juga karena Sean sangat menyebalkan saat itu.     

"Sejak saat itu, aku mencoba mencari kekasih untuk setidaknya mengalihkan pikiranku darimu," katanya. "Winda… yah, dialah orangnya yang kulihat dijalan. Tapi dia nggak bisa membuatku melupakanmu."     

Aku langsung terbangun karena tiba-tiba perutku merasa tidak enak. Langsung saja aku menuju toilet dan memuntahkan isi-isi dalam perutku. Sepertinya karena kopi tadi karena aku belum makan apa pun.     

"Daisy? Ada apa?" tanyanya mendekat.     

"Asam lambungku naik. Sepertinya. Tadi aku minum kopi dan seharian ini aku belum makan apapun," kataku.     

"Aku pesan makan dulu. Pakailah pakaianmu dan berbaring di kasur." Sean langsung keluar dari toilet dan aku menuju kamar.     

Kupakai lingerieku dan berbaring di kasur. Aku berpikir bahwa aku belum pernah merasakan ini. Biasanya aku tidak masalah jika minum kopi ketika belum makan. Apa aku terlalu stres sehingga membuat asam lambungku naik?     

Tidak lama Sean masuk sudah memakai celananya dan tetap bertelanjang dada. Ia membawa makanan ke kamar dan kami makan di kasur. Tapi nafsu makanku hilang dan aku merasa tidak lapar. Bahkan aku kembali memuntahkan makananku.     

"Perutku masih nggak enak, Sean. Mungkin aku perlu tidur lagi. Kamu nggak masalah kan kalau kita bercintanya nanti lagi saja?" tanyaku.     

"Istirahatmu lebih penting daripada seks. Jadi, tidurlah. Aku ada di ruang tamu kalau kamu butuh sesuatu," katanya dan mengecup bibirku.     

Aku melihatnya keluar kamar dan menutup pintu kamarku. Kutatap langit-langit kamar dan menghela nafas. Mencoba membiarkan mata terpejam dan tidur. Tapi aku tidak bisa. Aku selalu keluar masuk kamar mandi untuk memuntahkan segalanya seperti hingga tersisa.     

Lalu aku teringat sesuatu secara tiba-tiba. Sudah berapa lama aku melakukan ini dengannya? Kulihat kalender yang tergantung di dinding dan aku terkejut. Seharusnya masa datang bulanku sudah tiba, tapi aku telat dua minggu.     

Aku kembali ke kamar mandi dan mondar-mandir di dalam. Tidak, tidak, tidak! Aku tidak bisa hamil dalam keadaan begini. Tidak lagi seperti ini! Bahkan kalaupun aku hamil, Sean tidak boleh tahu. Tidak ada perasaan dengannya yang membuat kami lantas harus bersama. Dengan Zen, itu sudah membuktikan padaku bahwa perasaan dengan Zen hanya sementara.     

Kulihat wajahku di cermin. Pucat. Aku mencoba bersikap biasa dan tenang. Aku tidak mau hamil dengan keadaan dan kondisi seperti ini.     

Kubasuh wajahku dan sekarang aku harus pulang. Benar-benar harus pulang dan membeli alat tes kehamilan.     

"Aku mau pulang, Sean," kataku sudah lengkap dengan pakaianku.     

"Sekarang?" tanyanya.     

Aku mengangguk. Sean pun menurutiku dan ia bersiap-siap sementara aku menunggu di mobil dengan perasaan gelisah.     

"Mampir apotek, ya? Aku mau beli obat asam lambung," kataku dengan setengah berbohong.     

Sean hanya diam dan ia lalu berhenti di apotek dan menunggu di mobil. Aku masuk ke dalam apotek dengan sikap normal. Membeli alat tes kehamilan dan kembali ke dalam mobil.     

"Tiga hari lagi aku ke New York. Kalau kamu mau…"     

"Aku akan datang melihat keberangkatanmu, Daisy," katanya memotong ucapanku.     

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Mungkin ini saat itu adalah saat terakhir aku melihatnya dan hari ini adalah hari terakhirku bersamanya.     

Saat berhenti di tempat persembunyianku bertemu dengannya. Aku belum beranjak dari mobilnya. Perasaanku saat ini jadi kacau. Lalu aku langsung naik ke pangkuan Sean untuk terakhir kalinya secara tiba-tiba.     

Kucium dengan agresif bibirnya. Awalnya Sean terkejut lalu ia akhirnya membalas. Kubuka celanaku dan juga milik Sean. Dan kami bercinta kilat di mobil tidak peduli jika ada yang melihatnya.     

Nafas kami tersengal-sengal dan aku benar-benar menikmati momen terakhir ini. Kusodorkan payudaraku padanya untuk diisap, membuatku semakin tidak keruan untuk bergerak lebih cepat. Bahkan di mobil saja Sean bisa memberikan rasa puas padaku.     

"Ya… begitu," kataku padanya.     

"Bergerak cepatlah, Daisy!" katanya memerintah. Aku bergerak naik turun hingga aku bisa merasakan miliknya keluar masuk di dalamku. Kutekan kepalanya untuk semakin kencang mengisapku hingga kami benar-benar keluar secara bersamaan.     

"Aku juga mencintaimu, Sean," kataku akhirnya dengan nafasku yang memburu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.